Sepulang sekolah Nicho yang malang hanya bisa mengandalkan sepedanya agar mengantarkan dirinya ke tempat sebenarnya. Tempat yang begitu ia rindukan setiap kali ia tertekan di sekolah, tempat itu adalah kamarnya yang berharga.
“eeh... Cupu bapak lo emang gak bisa nyatut gitu biar lo bisa beli mobil kayak kita gini?.” Nicho salah ia masih harus mendapatkan perundungan saat mau pulang sekolah.
“Woii... ditanya malah jalan, budek lo,yah?” hina Ben, ia menjalankan mobil sportnya perlahan, mengikuti kayuhan sepeda Nicho. Nicho memang berniat pergi, ia tak ingin menatap Ben, terlebih menatap wanita yang duduk di sebelah kursi kemudi, wanita yang berparas cantik dan menawan. Ia Sera Larasati, pertama bertemu Sera, Nicho merasa ia begitu menyukai gadis itu. Masa remaja yang dipenuhi dengan gelora asmara harus kandas sebelum sampai ketepiannya, nyatanya Sera adalah kekasih Ben. Sehari wanita itu masuk sekolah ia sudah ditembak si king of love Ben Zaid, dan dengan senang hati Sera menerima Ben, dan saat itu juga menghancurkan harapan Nicho sedalam-dalamnya.
Merebut Sera, heeeh...! Sekedar memanggil nama wanita itu saja Nicho malu, ia terlalu tahu dirinya, ia yang cupu dan kolot tak mampu menyangi Ben si master of lovers.
---
Nicho sampai di kamarnya. Kamar yang dihiasi dengan segala foto Sera yang ia gunting setiap kali menemukan tampilan wajah Sera tanpa sengaja, alasan Nicho bersedia menjadi pengurus mading salah satunya demi bisa mendapati foto Sera secara mudah.
Nicho nampak tersenyum melihat senyum Sera diberbagai foto, bahkan ia secara khusus membingkai salah satu foto yang menampilkan tanpa sengaja ia dan Sera satu frame. Bahagia... meski hanya dalam sebuah foto dan itupun jarak mereka yang cukup jauh. Tiba-tiba saja pantulan cermin menyadarkan Nicho siapa dirinya sebenarnya, pemuda gembul dengan sedikit ditumbuhi jerawat dan kaca mata tebal yang semakin mengukuhkan sisi kecupuan Nicho.
Tiba-tiba saja hatinya begitu sakit, mengapa Tuhan.. mengapa tak KAU ciptakan aku tidak sama seperti Ben yang atletis?, mengapa aku jadi orang yang cupu?, dan jika aku hanya menjadi bahan cemoohan mengapa KAU menciptakan aku?.
---
“Nicho sayang... makan dulu yuk!” ajak Mr. Edward sejak meninggalnya Layla Ibu Nicho Mr. Edward jadi lebih perhatian dengan Nicho.
“Ayah ajah.. aku males makan.” tak tahukah Mr. Edward jika anak laki-lakinya itu sedang berusaha diet mati-matian demi mengurangi perut buncitnya.
“Nicho... makan dulu nak, Ayah sudah buatkan sphageti kesukaan kamu.” teriak Mr. Edward dari dalam, tak mau menyerah. Ia sudah berusaha memasakkan makanan kesukaan Nicho.
Tapi Nicho yang masih tak peduli justru memilih duduk di depan teras memandangi ponselnya. Seolah ada seseorang ia tunggu untuk menelponnya meski tak ada satupun notifikasi yang masuk.
“Kamu udah ada janji,yah sama temen kamu ?” tanya Mr. Edward yang sudah mendekat ke samping Nicho.
“Ayah..!!” kaget Nicho, spontan ia menutupi ponselnya yang berwalpapperkan wajah Sera.
Mr. Edward semakin tersenyum mendapati tingkah Nicho, ia berfikir Nicho sedang backstreet darinya untuk pacaran, mata hazelnya berhasil menangkap sosok wanita di ponsel Nicho, meski ia tak tahu siapa wanita itu, baginya wajar jika anak seusia Nicho mulai merasakan cinta bahkan akan banyak teman yang mungkin datang dan mulai mengobrol tak jelas sepanjang hari, sama seperti dirinya saat remaja. Tapi satu yang Mr. Edward sadari... tak pernah ada teman Nicho yang datang ke rumah mereka.
“Oh... yah ayah perhatiin temen kamu belum ada yang main kesini kok?” tanya laki-laki yang belum terlihat tua itu. Pandangannya ke depan seolah membenarkan pertanyaannya tadi. Nicho mendengarnya dengan kesal, ‘Ayah tuh lagi ngeldek aku,yah’ runtuknya dalam hati. Jelas-jelas di sekolah ia tak pernah ada kawan.
Nicho yang kesal segera masuk kembali ke kamarnya, lebih baik ia merebahkan dirinya daripada harus mendengarkan perkataan ayahnya.
Nicho pergi meninggalkan Edward yang bingung. Apa tadi ia salah bicara sampai reaksi Nicho padanya seolah seperti sedang marah, tak bisa Edward lupakan bagaimana cara Nicho menatap dirinya tadi.
---
ke esokkan harinya.
“Sesampai di gerbang sekolah Nicho hanya mendesah pasrah. Kali ini bullyan seperti apa lagi yang akan ia terima dengan “lapang d**a” oh... aku tahu! Mungkin dengan memasukkan sampah ke dalam tasnya? Ahk.. itukan bullyan minggu lalu. Yah.. paling-paling Nicho harus kembali mencuci tasnya.
Emm... atau dengan menakut-nakuti Nicho dengan kecoa karet karena Ben and genk tahu Nicho jijik dengan binatang itu. Ahkk... memikirkannya saja sudah membuat Nicho bergidik kengerian. Hanya satu hal yang membuat Nicho kuat berlama-lama di sekolah. Apalagi kalau bukan menatap Sera dalam diam.
Sesampainya di kelas Nicho mendengar suara ribut-ribut dari arah bangku belakang, meski sangat penasaran tapi ia tak mungkin menengok ke arah sana, semua itu sudah menjadi perintah tak tertulis bagi Nicho. Jika ia si cupu dilarang keras untuk masuk area sana, bahkan sekedar melirikpun. Tapi Nicho bahagia setidaknya pagi ini ia tak akan diganggu dengan Ben dan kawan-kawannya. Perasaan tidak dianggap jauh lebih baik ketimbang ia harus menjadi pusat perhatian ketika menjadi korban bully Ben dan genk.
“Bbrraaggkkk...” suara hentakan di meja Nicho, ia masih belum mau menatap siapa orang yang telah menggebrak mejanya, matanya masih berpura-pura menatap jejeran tulisan di buku. Meski tak ada satu katapun yang menyangkut ke otaknya.
"Cupu... beliin gue cimol dong!” perintah Vino, ‘ternyata pemuda bajing*n itu yang membuat aku takut setengah mati, kalau mau makan cimol kenapa tidak beli saja sendiri ?’ gerutu Nicho membatin, ingin sekali ia punya kekuatan agar bisa mengeluarkan ketidak sukaannya hingga nyaring keluar seluruh penjuru kelas, tapi Nicho sadar. Jika ia mau “baik-baik saja” di dalam kelas Maka ia harus menuruti semua perintah Ben dan kawan-kawannya. Ia bukannya spiderman yang tiba-tiba mendapat bantuan kekuatan ajaib sehingga bisa melawan musuhnya dan mendapatkan wanita yang ia cintai.
Nicho hanyalah pemuda cupu yang entah sampai kapan ia dapat menanggung semua penghinaan yang ditujukan untuk dirinya.
“Gak jawab lagi!” kembali Vino membentak Nicho, ia bahkan menarik kerah baju Nicho.
“Plakkk...!” tamparan keras Nicho terima di pipi kanannya, tak ada yang peduli. meski perih jelas terlihat di pipinya yang berwarna putih.
“itu balasan buat lo yang gak jawab panggilan gue!” ‘balasan? apa benar ini balasan yang adil untuk seseorang yang tak menjawab sapaan temannya ? dan bahkan Nicho berhak menolak menjalankan perintah Vino.
“Maaf..” lagi-lagi kata pengecut keluar dari sudut bibirnya, menambah daftar sesak di relung hati Nicho.
“Jangan minta maaf doang, sebagai gantinya lo kudu teraktir se-isi kelas ini buat makan cimol, punya duitkan lo, Bapak lo,kan abis ngemis”
Sakit! Segala penghinaan Vino tentunya menimbulkan rasa sakit yang terdalam bagi Nicho, bahkan ia sampai sering terbangun di malam hari karena terlalu seringnya bermimpi buruk.
“ada kok Vin..” sahut Nicho lemah, Ia mengeluarkan uang 20 ribuan dua lembar, cukup untuk menjajani se-isi kelas pikirnya.
“ya ampun, lihat! Duitnya ajah kucel gini, sama kayak lo! Vino mengambil uang di tangan Nicho dan menempelkannya ke wajah Nicho, se-isi kelas hanya bersorak kegirangan akan diteraktir Nicho, tanpa mereka tahu jika itu adalah uang Nicho yang terakhir. Hari ini ia bahkan tak membawa sepeda bututnya karena masih diservice.
Nicho kembali ke kelas dengan tentengan Cimol di tangannya Ia mendesah pasrah memikirkan bagiamana caranya ia pulang nanti.