Seperti yang Nicho bayangkan ia harus berjalan ke rumahnya dengan berjalan kaki. Kebetulan ayahnya memang jarang sekali datang sekolah karena itu, laki-laki itu tak tahu jika Nicho jadi korban bully.
"Ceplaakkk..." Ban mobil Ben dengan sengaja menggilas genangan air di jalan, menyiramkan tepat ke dekat tubuh Nicho. Kali ini pemuda itu sudah basah kuyup.
"Ben.." teriak Sera tak suka, ia merasa kali ini Ben keterlaluan.
"Kenapa sayang?" tanya Ben seakan tak tahu apa salahnya. Kemudian Sera keluar dari mobil, ia memperhatikan Nicho yang basah kuyup. Meski tampilannya amburadul Nicho masih berusaha tersenyum ramah ke arah Sera. Ini pertama kalinya ia begitu dekat dengan gadis itu. Apalagi saat ini wanita itu sedang menatapnya.
"Lo bau! cepet gih pulang mandi! Nih buat lo" pekik Sera tangannya menenteng pecahan 10 ribu memberikan ke Nicho. Ia hanya berniat menghina Nicho dengan cara merendahkan laki-laki itu, tapi Nicho yang hatinya telah dibutakan cinta merasa apa yang dilakukan Sera bentuk perhatian kecil kepadanya.
Bahkan pemuda itu terus berjalan kaki, ia menggenggam erat uang pemberian Sera, Aesekali menciumi uang itu. Ia memang layaknya psikopat sejati.
---
Sesampainya di dalam kamar Nicho bahkan membingkai uang tersebut, menjadikannya seolah benda pusaka peninggalan sejarah. Ia benar-benar telah dilanda rasa kekaguman yang mendalam pada Sera.
Sementara di luar sana Edward sedang sibuk makan siang dengan seorang wanita, wanita yang ia yakini bisa menjadi pengganti Layla, Ibu Nicho.
"Apa kau yakin Nicho tak akan keberatan dengan hubungan kita?" tanya Sharon ragu, ia adalah guru BK di sekolah Nicho. Cinta antara Ia dan Edward bersemi karena terlalu seringnya mereka bertemu di yayasan.
"Aku yakin Nicho akan mengerti, perlahan aku akan membicarakan hal ini dengannya" sahut Edward mantap.
Edward pulang larut malam setelah dirinya mengantarkan Sharon ke kostan wanita itu. Ia mengintip dari ambang pintu melihat anak laki-laki satu-satunya sudah tertidur pulas. Edward memberanikan diri melangkah lebih dalam masuk ke kamar anaknya itu, banyak foto wanita pikirnya... Ketika melihat jejeran foto yang tertata rapi. Senyum mengembang di sudut bibirnya. 'Nicho sudah dewasa!' tambahnya, tak bisa Edward pungkiri jika ia juga merasa bahagia karena Nicho yang mulai masuk masa pubernya.
Edward hanya membelai ujung rambut Nicho, ia yakin suatu hari nanti Nicho juga akan setuju hubungannya dengan Sharon. Terlebih anaknya kini sudah mulai tumbuh jadi seorang pria sejati.
Pagi harinya Edward sengaja mengundang Sharon untuk sarapan bersamanya juga Nicho.
"Miss Sharon..!" gumam Nicho, ia kaget sendiri melihat Sharon berada di rumahnya sepagi ini, Apalagi ia nampak akrab dengan Edward.
"Hai chubby..." aapa Sharon ramah, ia bahkan mengacak rambut Nicho yang memang masih berantakan.
"Tunggu.. apa semua ini?!" Nicho tak ingin menunggu ia perlu jawaban atas kebingungannya.
"Tidak apa-apakan kalau ayah mengundang teman makan bersama ?" Bukannya menjawab Edward justru kembali bertanya ke Nicho, dan nampak Sharon yang mengangguk senang. Nicho hanya diam, meski di hati kecilnya merasa ada hubungan khusus antara ayahnya dan Sharon.
Tak mau ambil pusing, Nicho segera pergi ke kamarnya untuk mandi, pagi ini ia akan mendapat kesempatan mengambil foto anak-anak yang ikut lomba volly, dan tentu saja Nicho hanya akan memfokuskan kameranya ke Sera seorang.
"Terima kasih, yah" ucap Nicho setelah diantar ke sekolah dengan Edward, Sekalian laki-laki itu ikut mengantar Sharon, sebenarnya Nicho risih bertiga di dalam mobil tadi. Tapi ia pikir lagi tak ada salahnya toh... Sharon memang satu tujuan dengannya.
"Ayok masuk...!" ajak Sharon sambil menggandeng tangan Nicho. Wanita itu ingin memberitahu murid lainnya untuk tak selalu mengerjai Nicho.
"Saya sampai sini saja, Miss!" tolak Nicho halus. Ia perlahan melepas tangan Sharon di lengannya, Mengerti tak ingin diikuti lagi, Sharon ikut melepas pegangannya. Ia mempersilahkan Nicho pergi dengan isyarat senyum di bibirnya.
"Huuh.. untung ajah!" Jika Sharon menganggap kedekatannya dengan Nicho suatu hal yang baik, tapi tidak bagi Nicho. Ia justru takut dikira mengadu dengan Miss Sharon sebagai guru BK.
Nicho mulai mencari spot tempatnya mengabadikan gerak gerik Sera, ia sudah membayangkan sebentar lagi koleksi fotonya akan bertambah seiring jepretannya hari ini.
Baru saja kamera DSRnya membidik wajah Sera yang tengah tertawa, Ben sudah menariknya paksa dari leher Nicho.
"Apa-apaan ini!" pekiknya kasar, Ia begitu tak suka kekasihnya dijepret oleh sembarang orang..
"Praanngggg..." tanpa perasaan Ben membuat kamera itu hingga jatuh berserakkan. Membuat si empunya mendelik kaget, masih segar di ingatan Nicho dirinya yang harus tahan tak jajan selama enam bulan demi dapat membeli kamera itu. Tangannya spontan menggapai sisa-sisa kamera berharap masih bisa diperbaiki.
"Aahhhkkkk...." teriak Nicho karena Ben dengan sengaja menggilas tangan Nicho keras. Ia masih belum puas karena baginya Nicho telah melecehkan harga dirinya.
"Ada apa ini?!" pekik Sera, ia langsung memarani Nicho juga Ben saat melihat raut wajah Ben yang marah.
"Bocah ini sudah memfotomu tanpa ijin" balas Ben dingin.
"Haaahhh..." Sera masih tak percaya, dan lebih tak percaya lagi dengan reaksi Ben.
"Apa karena itu kamu membuang kameranya?" Ia menatap Ben dalam mencoba mencari jawaban dari mata kekasihnya.
"Iyah... karena aku tak suka ada orang yang mengambil fotomu diam-diam" sahut Ben. Sementara Nicho masih terjongkok di bawah, posisinya benar-benar meyakinkan Nicho jika dirinya memang bukan siapa-siapa.
"Tapi seharusnya kamu tidak berlebihan, Ben... lihat kasihan Nicho..." Yah... Nicho sadar ia tak ubahnya seperti pengemis jalanan, yang hanya pantas dikasihani. Dan parahnya ia bersyukur atas hal itu. Ia telah kehilangan separuh harga dirinya sebagai lelaki sejati.
"Hahahaaa... kasihan? sekarang jelaskan! kenapa kau malah hanya mengambil foto Sera?" tanya Ben, ia berniat mengubah pandangan Sera ke Nicho. Ditentengnya kerah baju Nicho agar lelaki itu berdiri menyamani tinggi mereka. Sera semakin menatap Nicho yang masih tertunduk dalam.
Yah... inilah kesempatan untuk Nicho mengutarakan cintanya, mungkin kali ini ia bisa bohong. Tapi ia tak ingin selamanya menjadi pecundang, sekali saja... ia ingin mengaungkan isi hatinya. sekali saja... ia ingin seseorang yang selama ini mengisi relung hatinya tahu, meski Nicho sadar tak mungkin cintanya terbalas. Hanya saja, kali ini ijinkan ia untuk bicara... betapa cinta telah bergelora pada gadis manis bermata jeli itu.
"Karena...a-aku aku... aku mencintaimu, Sera" suara yang selama ini tercekat di tenggorokkan akhirnya keluar meski dengan dorongan keterpaksaan, lega? tentu tidak! Ia belum mendengar jawaban dari bibir Sera, Meski ia tahu hanya akan ada penolakkan disana, tapi bolehkan Nicho berharap seinci saja cintanya terbalas.
"Bbbuuugggghhh...bbuugghhh..." dengan membabi buta Ben memukuli perut Nicho, ia hanya mampu mengadu kesakitan sambil memegangi perutnya, tangannya terlalu keluh untuk membalas pukulan Ben, meski darah mudanya sudah memanas mendapati perlakuan tak mengenakkan... Pengaruh kekuatan Ben terlalu besar mengacaukan sisi otaknya. Ia yakin dirinya tak akan mungkin menang, Bahkan sebelum berusaha. Hemmm... dan Nicho benci dengan dirinya yang seperti itu.