9. Satu Sama

1307 Kata
“Lo tadi lihat nggak tampangnya si Abi? Udah kaya anak TK nggak dapat jajan,” ucap Dhia seraya tertawa puas. Disambut dengan suara tawa tiga temannya. Kanaya yang masih terisak pun jadi menjeda sejenak isakannya. Hanya untuk menertawakan wajah Abimanyu yang diingatnya. Keempatnya sedang berada di kos Dhia dan Allura. Tepatnya di kamar Dhia. Kanaya masih sesekali terisak di pelukan Allura yang setia menepuk bahunya lembut. Sementara Dhia dan Virgi sejak tadi terus berceloteh ria. Menjelek-jelekkan Abimanyu cs yang tidak bisa berkutik setelah Kanaya mengeluarkan petuah supernya. Mungkin efek dari ajaran agung yang disampaikan kedua orang tua Kanaya. Allura saja sampai keheranan. Kanaya hanya mengucapkan beberapa kalimat dengan nada tenang, tapi mampu membuat Abimanyu cs yang super menyebalkan diam tidak berkutik. Sementara Allura yang cerewet, sudah menyampaikan rentetan kalimat panjang lebar dengan segala macam u*****n dan ancaman, tidak mampu membuat siapa pun bungkam. Kalau sudah seperti ini, Allura jadi menyesal tidak melakukan les tambahan yang ditawarkan Kanjeng Ibu di hari Sabtu dan Minggu, sebelum menikah dulu. Jika saja dulu Allura rutin mengikuti kelas tambahan dari Kanjeng Ibu, mungkin suaranya akan sedikit ditakuti seperti Kanaya. “Gue ngeliat Abi udah kaya ngeliat dia di zaman dulu. Bocah ingusan yang b**o segala hal.” Tambahan dari Virgi yang membuat tawa itu kian keras. “Eh tapi sumpah gue lemes banget tadi,” ucap Allura. Meluruskan kakinya yang masih sedikit bergetar. “Beneran, Ra? Gue kira cuma gue yang sok berani. Lo sampai ngatain si Abi banci loh.” Virgi menimpali. Membantu memijat kaki Allura yang terasa getarannya. “Bukan lo berdua aja. Gue juga anjir. Kalau aja tadi Yaya nggak maju dan geplak pipi Abi udah pingsan gue. Sialan banget emang Abimanyu,” curhat Dhia yang lagi-lagi disambut suara tawa dari teman-temannya. “Maaf ya gara-gara aku kalian jadi ikut kena imbasnya.” Kanaya yang mulai tenang menegakkan tubuhnya. Menghapus air matanya dengan tisu yang Dhia sediakan. Merasa tidak enak hati. Karena kampus yang seharusnya menjadi tempat nyaman untuk menuntut ilmu. Justru kini menjadi salah satu tempat mengerikan bagi keempatnya. Pasalnya kehadiran Abimanyu cs masih menjadi ancaman utama untuk waktu-waktu ini. “Nggak masalah Yaya. Kita ini ‘kan sahabat, emang udah seharusnya saling membantu. Waktu gue butuh kalian juga, kalian ada di samping gue. Jangan merasa nggak enak begitu.” Allura berucap lembut. Menimbulkan senyuman manis bagi Kanaya dan dua lainnya. “Kamu makin dewasa setelah menikah ya, Ra,” komentar Kanaya yang membuat pipi Allura bersemu merah. Kalau berbicara mengenai pernikahan, Allura jadi langsung terbayang wajah suaminya yang jauh di sana. Ingin segera lulus agar tidak tinggal jauh dari Elang. Namun Allura juga masih menikmati masa perkuliahannya bersama sahabat terbaiknya. “Ngebucin mulu tuh si oncom. Gue merana tiap Sabtu Minggu, ditinggal Lura ke hotel,” celetuk Dhia menyebalkan. Allura semakin bersemu dibuatnya. Satu hal lumrah, melemparkan bantal ke arah Dhia yang berada dalam jangkauannya. “Produksi ya, Ra.” Virgi ikut menimpali. “Wah anjir. Mulut lo, Gi. Nggak nyangka gue,” komentar Dhia memasang wajah terkejut yang dibuat-buat. Seolah kaget dengan pembawaan Virgi yang berubah banyak semenjak bergaul dengan Dhia dan Allura. Mungkin sebentar lagi Kanaya akan tertular juga. “Eh by the way, lo tadi keren banget loh, Ya.” Allura yang terancam digoda mulai mengambil topik lain. Tidak ingin membiarkan dirinya sebagai bahan candaan di sini. Karena sejak awal, Abimanyu cs adalah topik utama pembicaraan mereka. “Iya setuju gue. Si Abi sampai kicep begitu nggak bisa nangkis omongan lo. Mukanya yang sebelumnya songong langsung nggak bisa apa-apa.” Dhia menimpali dengan semangat. Memang sudah menjadi tabiat seorang Sheryl Dhianara. Sangat senang membicarakan orang lain. Terutama Abimanyu cs yang dalam keadaan menggenaskan. “Nggak cuma Abimanyu kali, dua temannya juga kicep. Gue aja sampai bisa lepas dari Yonathan.” Allura menimpali lagi. Membuat pembicaraan mereka kembali pada pembahasan awal. Tak apalah, untuk sejenak melepas lelah. Sembari menghibur diri masing-masing yang terancam. Sebelum nantinya mereka harus kembali memutar otak untuk melawan Abimanyu cs di hari-hari berikutnya. Karena setelah aksi Kanaya tadi, Abimanyu tidak akan semudah itu untuk mengalah. *** Jika Kanaya cs sedang dalam masa kejayaannya sembari menjelek-jelekkan Abimanyu. Kondisi berbanding terbalik di kubu Abimanyu. Tiga lelaki itu, lagi-lagi tanpa Guntur, sedang berkumpul di apartemen Abimanyu. Dicky dan Yonathan sejak tadi hanya diam, memakan camilan, sembari memperhatikan raut Abimanyu yang mengerikan. Rahangnya masih mengeras, kedua tangannya sibuk terkepal, dengan tatapan tajam yang mematikan. Keduanya tidak berani untuk sekadar menghentikan sejenak aksi kemarahan itu. Sudah sadari betul, Abimanyu adalah lelaki dengan harga diri yang melambung tinggi. Perlakuan Kanaya cs tentu saja membuat harga dirinya tersentil dan terperosok jauh ke bawah. Membuat kemarahan itu masih menjadi rasa utama yang melingkupi. Dan juga, kalimat Dhia di akhir peperangan tadi. Masih terngiang sangat jelas di telinga Abimanyu. Seolah menambah hawa permusuhan yang semakin meluap-luap dalam diri Abimanyu. Sejauh ini, skor di kedua belah pihak berada dalam angka satu sama. Abimanyu cs melempar ancaman, dan Kanaya cs menangkis dengan sangat baik. “Apa nggak sebaiknya gue batalin aja perjanjiannya, Bro?” Dicky membuka suara. Melihat kemarahan dari Kanaya dan Abimanyu, Dicky merasa cukup sadar untuk memangkas cerita dalam pertengahan. Tidak mau membuat keduanya kian membara dan berkobar-kobar tidak jelas. Bagaimanapun ini semua berawal dari idenya yang sedikit berlebihan. “Gue udah terima tantangan lo. Gue bukan pengecut yang asal mangkir dari janji.” Jawaban yang terlampau tegas membuat Yonathan dan Dicky menghela napas lelah. Ini dia masalahnya. Keduanya salah dalam memperkirakan. Tidak pernah menyangka jika apa yang direncanakan akan berjalan melalui rute buruk semacam ini. Membuat kondisi menjadi rumit, karena kemarahan Abimanyu sudah turut serta. “Abi, yang lo incar ini anak orang. Bukan cuma soal lo yang berhasil ngajak Kanaya ngedrink. Tapi lo harus pikirin orang tuanya juga, keluarganya, kakak laki-lakinya.” Yonathan mencoba membuka jalan. Karena memang sejak awal, Yonathan yang paling menentang. Tapi nyatanya, tidak semudah itu meruntuhkan pertahanan Abimanyu yang sudah dibangun dengan bumbu kemarahan. Bukannya mendapat respon baik, Abimanyu justru menyorotnya dengan tatapan tajam. “Tanyain sama teman lo yang punya ide,” jawab Abimanyu datar. Lagi-lagi membuat Dicky merasa bersalah. “Ya makanya itu, kita selesai aja sampai di sini. Nggak usah dilanjutin. Gue anggap kita nggak pernah main game apapun dengan Kanaya sebagai hukumannya. Gimana?” Sudah ditolak mentah-mentah, tapi tidak ada salahnya mencoba lagi. Abimanyu bukan lelaki bodoh yang hanya mengandalkan tampang. Ia adalah penerus keluarga Patra, sudah pasti memiliki otak yang masih bisa diajak bernegosiasi. Apalagi ini menyangkut perempuan. Yang mana Abimanyu memiliki prinsip untuk tidak mempermainkan kaum mereka. Abimanyu menggeleng tegas. “Ini bukan sekadar gue menjalankan tantangan lo, Dik. Ini soal harga diri kita sebagai laki-laki. Lo nggak lihat tadi gimana mereka seenaknya nginjek-injek gue?” Inti dari segala inti. Yang tidak mampu lagi ditembus oleh saran dari Yonathan dan Dicky. Kanaya cs sudah berhasil melepaskan anak panah dan mengenai sasaran yang tepat, harga diri. Abimanyu tidak pernah main-main untuk hal itu. Tidak lagi memandang, dia siapa, lelaki atau perempuan. Siapa pun yang sudah menyentuh harga dirinya, akan dikejar sampai dapat. “Mleber ke mana-mana makin parah, anjir,” umpat Yonathan kesal. Menatap Dicky dengan mata tajamnya. Membuat si pencetus ide semakin terpojok. “Jangan berpikir lo berdua bisa lepas dari hal ini gitu aja,” ucap Abimanyu tajam. “Dan lo,” tunjuknya pada Dicky. “Lo harus ada sampai semua berakhir.” Setelahnya beranjak dari duduknya. Melenggang menuju kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Dan juga meredam emosi yang sudah terlanjur mencuat keluar, karena satu makhluk bertubuh pendek, berwajah polos tanpa dosa seperti Kanaya. Abimanyu bersumpah akan membuat Kanaya menyesal sudah meneriakinya dengan kalimat tadi. Ia juga akan menunjukkan pada Dhia, siapa pecundang yang sesungguhnya di sini. “Gue yang memulai, gue bakalan ikutin sampai akhir,” janji Dicky untuk menjawab pelototan tajam dari Yonathan. Menandakan jika hari ini, semenjak harga diri Abimanyu tersentil dengan sengaja oleh Kanaya, peperangan antara keduanya dimulai. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN