Chapter 7

1634 Kata
“Maaf saya bertanya, tapi ke mana kita akan pergi, Tuan Edward? Tuan dan Nyonya pasti akan marah jika Anda pergi tanpa mengajak pengawal lain,” tanya Ruby. Selesai sarapan pagi hari ini, Edward langsung menariknya masuk ke dalam mobil tanpa menjelaskan apa-apa. “Jangan berisik. Mereka tidak akan marah karena aku mengajakmu. Bicara santai padaku, tidak perlu terlalu formal,” jawab Edward menjelaskan sambil mengemudikan mobilnya sendiri. “Bukan begitu Tuan Edward, tapi kejadian dua hari lalu sudah membuat saya tidak enak dengan orangtua Anda.” Edward mengabaikan semua perkataan Ruby. Dia fokus mengemudikan mobil mewahnya daripada menanggapi Ruby. Sepanjang perjalanan menempuh waktu hampir setengah jam, hanya ada lagu country classic yang menemani keheningan mereka. Ruby tidak berani membahas apa pun karena Edward diam tak bersuara. Ruby terkesiap ketika Edward menggendong tubuhnya tanpa mengatakan apa-apa saat mereka tiba. Matanya memelototi Edward. “Saya bisa jalan sendiri, jadi tolong turunkan saya, Tuan Edward,” pinta Ruby dengan kilat mata seriusnya. Seperti sebelumnya, Edward kembali mengabaikan semua kata-katanya. Terpaksa Ruby melingkarkan tangannya di leher Edward karena takut jatuh. Setelah langkah semakin masuk ke dalam, Ruby baru menyadari jika mereka berada di rumah sakit. “Aku ingin memastikan apakah kakimu terkilir biasa atau lebih dari itu. Jangan bicara terus.” Edward menjelaskan. Ruby terpaksa menutup mulutnya rapat-rapat sesuai permintaan Edward. Sesampainya di suatu ruangan, Ruby melihat Edward begitu akrab menyapa seorang dokter. Kemudian dokter berparas cantik itu memeriksakan kakinya yang masih terasa sakit. “Kaki Ruby tidak apa-apa, Ed. Semua baik-baik saja, ini hanya terkilir biasa dan butuh istirahat sebentar sebelum benar-benar sembuh. Tidak perlu khawatir,” jelas dokter itu sambil tersenyum. “Bisakah kau memberinya vitamin?” tanya Edward. “Tentu saja bisa. Aku akan memberikan resep vitamin untuk daya tahan tubuhnya,” jawab perempuan itu, yang kemudian menuliskan resep untuk Ruby. Edward mengambil resepnya lalu keluar sambil menggendong Ruby seperti sebelumnya. Ruby kembali protes tapi Edward tetap mengabaikan. Ruby terpaksa diam, sementara Edward membawanya ke suatu ruangan yang tidak dia ketahui. Sesaat memasuki ruangan tersebut, Ruby diturunkan tepat di depan seorang gadis kecil berumur sekitar delapan tahun yang tengah duduk di atas tempat tidur rumah sakit. “Uncle Edward!” sapa gadis kecil itu kemudian segera memeluk Edward dengan erat. “Hey, little fighter! Aku merindukanmu,” balas Edward sambil mengecup puncak kepala gadis kecil itu. “Kupikir kau tidak akan datang setelah insiden pertunangan itu, Ed.” Suara itu membuat Ruby menoleh, mendapati seorang perempuan cantik yang berjalan mendekat. Edward kemudian melepas pelukan dari gadis itu lalu bergantian memeluk perempuan yang lebih dewasa. “Bagaimana bisa aku tidak datang ke sini? Aku merindukan Ruby,” balas Edward. Detik berikutnya dia melepas pelukan lalu melihat Ruby. “Ruby, dia Nadya, sementara yang kecil itu Ruby.” “Namanya sama seperti namaku, Uncle? Halo, Aunty. Kau sangat cantik,” ucap Ruby kecil sambil tersenyum. Ruby berjalan mendekat dan tersenyum lebar di depan gadis itu. Dia tidak tahu siapa gadis itu namun rasanya Edward sangat akrab dengannya. “Hey, Ruby! Senang berkenalan denganmu. Bagaimana keadaanmu?” “Aku sangat baik Aunty. Bagaimana dengan Aunty? Kenapa datang ke rumah sakit? Apa Aunty datang karena Uncle menyakiti Aunty seperti yang dilakukan Dad pada Mom?” tanya gadis itu dengan polosnya. Ruby menoleh ke samping, menatap Edward yang berdiri bersampingan dengan Nadya. Kedua orang itu tersenyum. Ada sorot sedih yang tersirat dengan jelas dari mata Nadya. Mungkin perkataan putri kecilnya itu mengingatkannya kembali akan luka yang membekas. “Tidak, Ruby. Uncle tidak menyakitinya. Kaki Aunty Ruby terluka sehingga perlu memeriksakan ke dokter untuk memastikan apakah parah atau tidak,” sahut Edward sembari mengusap kepala gadis kecil itu. “Baguslah kalau Aunty hanya terluka pada bagian kaki. Jangan sampai sepertiku, harus menjalani banyak perawatan. Aku lelah,” cerita Ruby kecil. Kalimatnya mengubah air muka Nadya yang awalnya tersenyum menjadi sedih meredup. Ruby penasaran ingin bertanya sebenarnya gadis itu sakit apa tapi bukan saat yang tepat. Yang bisa dia lakukan hanya tersenyum sambil mengusap kepala Ruby kecil untuk sementara ini. Dia akan menunggu sampai Edward memberitahunya. Beberapa saat kemudian Edward menggendong Ruby kecil supaya turun dari tempat tidurnya. “Ayo, kita pergi menemui semua teman-temanmu.” Edward mengajak gadis itu keluar lalu melihat ke belakang. “Kau tunggu di sini saja. Aku hanya sebentar, Rubicorn.” Belum sempat menanggapi, tubuh keduanya sudah menghilang dari pandangan. “Kau teman atau kekasihnya Edward?” tanya Nadya tiba-tiba memecah keheningan mereka. Ruby menjawab, “Ah, aku hanya pengawal pribadinya. Bukan siapa-siapa.” “Pengawalnya? Akhirnya keluarga Constantine bersedia menyewa pengawal perempuan juga. Kau terlalu cantik untuk mengurus semuanya, terutama Edward,” kekeh Nadya sambil menepuk pundak Ruby. Detik berikutnya dia melanjutkan, “Kau ingin tahu ke mana mereka pergi? Karena kurasa kau tidak betah hanya menunggu di sini.” Nadya membuka pintu lalu berkata, “Ikuti aku.” Ruby mengikuti Nadya dari belakang. Perempuan itu melambatkan langkahnya demi mengimbangi langkahnya yang lambat supaya tidak kewalahan menyusul. Beberapa menit kemudian Ruby tiba di depan sebuah ruangan. Dari jendela serba kaca Ruby melihat ada banyak anak kecil berlarian menghampiri Edward yang sedang duduk bersama Ruby kecil. “Putriku mengidap leukimia. Semua anak yang berada di sana mengidap penyakit yang sama. Setiap dua atau tiga bulan sekali, Edward datang  ke sini untuk menghibur mereka,” cerita Nadya. “Sebagian dari mereka kehilangan harapan, tapi Edward memberikan harapan itu. Aku tidak mampu membayar semua perawatan, dan bagiku biayanya terlalu mahal. Tapi Edward membantuku sampai sekarang. Dia menyokong semua biaya yang anak-anak itu butuhkan. Kebaikan hatinya menjadikannya pahlawan sampai anak-anak itu menyebutnya Mr. Giver.” Ruby tidak percaya atas apa yang dia dengar namun menyadari adanya raut wajah sedih bercampur senang yang tercetak di wajah Nadya, dia baru mempercayainya. “Keluarga Constantine memiliki yayasan amal tersendiri. Selain menyumbang uangnya, Edward turut datang menemui semua orang yang sakit. Penderita leukimia, kanker, busung lapar, he is like an angel. Berbeda dengan semua adiknya yang hanya menyumbang.” Nadya membeberkan. Ada senyum yang terukir lebar saat menyebutkan cerita itu. Bertepatan dengan itu, Edward melihat ke arah jendela. Tangannya naik ke udara memanggil kedua perempuan yang berada di depan untuk masuk ke dalam. Keduanya masuk ke dalam memenuhi permintaan Edward. “Uncle, terima kasih atas makanan yang kau berikan padaku hari ini. Rasanya enak!” ucap seorang bocah lelaki sambil tersenyum menampilkan gigi kecilnya. “Uncle, ayo bernyanyi! Seperti waktu itu!” sambung yang lainnya. “Uncle bernyanyi!” pinta yang lainnya. “Bernyanyilah Edward supaya Ruby dapat mendengar suaramu yang jelek itu,” sela Nadya dengan kekehannya. Edward memutar bola matanya malas. Nadya memang paling bisa meledeknya. “Ayolah, Uncle. Kau harus menyanyikan lagu. Aku ingin mendengarnya lagi.” Ruby kecil memohon dengan tatapan menggemaskan. “Baiklah, baiklah, Uncle akan bernyanyi. Siap-siap tutup telinga kalian,” kata Edward dengan kekehannya. Edward mengambil gitar yang berada di sampingnya. Ada sekitar sepuluh anak kecil termasuk Ruby kecil duduk mengitari Edward yang duduk di lantai beralas karpet berwarna merah. Mereka semua memandangi Edward yang mulai memetik senar gitarnya. “I used to bite my tongue and hold my breath Scared to rock the boat and make a mess So I sat quietly, agreed politely I guess that I forgot I had a choice I let you push me past the breaking point…” Ruby terkejut mendapati fakta bahwa suara Edward tidak buruk seperti ledekan Nadya. Suara Edward begitu merdu, bahkan seirama dengan petikan gitarnya. Lelaki itu menyanyikan lagu Roar milik Katy Perry dengan versi akustik. Pada bagian ‘hey’ dan ‘roar’ semua anak-anak itu berteriak dan ikut menyanyikan dengan wajah gembira. Mereka semua seolah lupa bahwa sakit dalam tubuh mereka terlalu menyakitkan. Sesekali Edward melihat Ruby yang terpaku memandanginya. Ada senyum yang Edward tunjukkan saat memandangi semua anak kecil yang begitu bersemangat ikut bernyanyi bersamanya. “Bagaimana kalau kita suruh Aunty Ruby menyanyikan lagu?” Edward berucap seusai menyanyikan lagu selama beberapa menit. Ruby menggelengkan kepala dengan cepat ketika semua anak itu menatapnya. “Tidak, aku tidak bisa bernyanyi,” tolak Ruby. “Ayo, Aunty. Kita bernyanyi bersama!” Seorang gadis kecil menggenggam tangan Ruby. Wajah polos serta senyum tanpa dosa itu berhasil menggoyahkan hati Ruby. Mau tidak mau, Ruby mengikutinya sampai terduduk di samping Edward. Ruby berbisik melayangkan protes keras. “Anda sudah gila, Tuan Edward? Saya tidak bisa bernyanyi. Suara saya fals.” “Lupakan bagaimana jeleknya suaramu. Pikirkan bagaimana kau bisa menghibur mereka hanya dengan nyanyian, Ruby. Dengan begitu kau sudah membuat mereka senang setelah sakit yang mereka lalui,” balas Edward berbisik. Ruby terdiam. Kalimat itu sangat mengena di hati. Matanya beralih menatap semua anak kecil yang memamerkan senyum tidak sabar. Wajah ceria menahan sakit itu berhasil meruntuhkan kerasnya hati. Dia tidak tega menolak permintaan mereka. “Aunty Ruby mengatakan dia akan menyanyikan lagu untuk kalian,” kata Edward yang kemudian berbisik mengatakan pada Ruby perihal lagu yang akan mereka nyanyikan bersama. Ruby menganggukkan kepala walau sebenarnya tidak hafal lagu itu. “Do you ever feel like a plastic bag Drifting thought the wind Wanting to start again Do you ever feel, feel so paper thin Like a house of cards One blow from caving in…” Edward memetik senar gitarnya untuk mengiringi Ruby menyanyikan lagu Katy Perry yang berjudul Firework. Beberapa saat kemudian Ruby mulai bernyanyi, mengeluarkan suaranya yang sumbang. Dengan teriakan semangat yang anak-anak itu berikan, Ruby jadi sedikit lebih percaya diri. Mata Ruby tertuju melihat Edward yang kini menyanyikan lagu itu sepenuhnya. Dia melihat sisi lain dari Edward yang tidak pernah dirinya duga. Dia pikir Edward manusia paling seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain, ternyata tidak. Lelaki itu sangat dermawan dan berbaik hati memberikan harapan kepada orang yang kehilangan harapan tersebut. Sampai detik ini, Ruby masih bertanya-tanya. Kenapa semua sikap dan sifat putra Fred banyak yang berbeda dari dugaannya? Semuanya melenceng dari prediksi awal pertemuan mereka, terkecuali Roger. * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN