Bab 4 : Permulaan

1134 Kata
Alea merebahkan tubuh di atas tempat tidur empuk sebuah kamar hotel yang telah disulap menjadi kamar pengantin yang indah dengan banyak taburan bunga mawar merah. Dia sendiri yang menata kamar itu hingga menjadi kamar dengan suasana romantis. Kamar yang ia siapkan untuk bos dan calon istri. Tapi lucu, justru kamar itu menjadi kamar pengantinnya Gadis itu bangkit dari posisi tidur berjalan gontai ke arah kamar mandi, ingin membersihkan diri lalu tidur. Ia sudah lelah seharian berdiri menerima tamu undangan. Alea hanya istirahat dari lelahnya menyambut tamu undangan, saat memasuki waktu shalat saja. Setelah menunaikan kewajiban, Seno merias kembali wajahnya untuk tersenyum di depan para tamu yang seperti tidak habis-habis. "Aku capek banget, deh, Mas. Boleh gak sih aku tidur bentar aja?" keluh Alea pada Seno siang tadi, saat ia masuk kamar untuk istirahat shalat dan makan. "Sabar, Al. Nanti kalau udah selesai yey bisa tidur nyenyak," ujar Seno menenangkan gadis itu dari keluh kesahnya. "Tau gak, Mas? Aku ini sebulan lebih, bahkan hampir dua bulan, kurang istirahat karena menyiapkan acara pernikahan si bos sama tunangannya ini. Eh sekarang, malah ditambah dengan drama jadi mempelai pengganti buat CEO gadungan itu. Capek aku, Mas." Wajah cantik itu sudah memerah. Emosi yang selalu berusaha ia tahan rasanya sudah tak mampu lagi ia bendung. Alea pun menangis meluapkan segala sesak yang ada. Lelah, kesal, jengkel, sedih, semua berubah rupa menjadi bulir bening yang meluncur dari netranya. "Sabar, Al. Eike tau ini berat buat yey. Tapi apa mau dikata. Nasi sudah jadi bubur. Yey juga udah jadi menantu Mahendra. Sudah, mending yey wudhu, gih. Abis itu eike kasih waktu yey tidur tiga puluh menit. Biar eike bilang nanti sama Tante Ranti. Oke?!" Seno menatap lekat ke arah Alea. Gadis itu pun menurut tanpa banyak bicara. Pria setengah matang itu tahu pasti, Alea harus melewati semua ini seorang diri. Tak ada yang memeluknya saat dia seperti ini. Karena yang orang lain tahu, Alea sedang bahagia sebab menikah dengan pria kaya raya, tampan yang ia cintai. Termasuk orang tua gadis itu. Tak ada yang tahu tentang kebenaran di balik meriahnya acara pernikahan mereka. Ingin rasanya Seno merengkuh tubuh mungil gadis yang terlihat sangat tertekan itu. Tapi Seno tahu, Alea akan menolak. Gadis ajaib itu bakan meminta dia merias wajah tanpa menyentuh kulit sang gadis sedikit pun. "Ada-ada saja. Mana bisa eike merias wajah yey tanpa menyentuh kulit yey, Al. Jangan ngarang, deh," protes Seno pagi tadi. "Gak mau tau. 'Kan katanya Mas seorang make-up artist profesional. Harus bisa dong," tegas Alea, tak mau dibantah. "Oke. Eike coba. Tapi, jangan banyak protes. Intinya di sini yang penting eike tak menyentuh kulit yey. Jadi diam saja," ucap Seno pada akhirnya. Ia tak punya waktu banyak, hanya sekedar untuk berdebat dengan gadis keras kepala itu. Untung saja, ia dibayar mahal oleh Ranti untuk merias calon menantunya. Demi uang, bakatnya pun ia kerahkan agar bisa merias Alea sesuai permintaan aneh gadis itu. Kini setelah rangkaian acara pesta pernikahan yang melelahkan itu selesai, Alea hanya ingin mengistirahatkan tubuh lelahnya. Untuk itu dia berjalan menuju ke kamar mandi guna membersihkan diri agar ia bisa istirahat dengan nyaman. Saat sudah sampai di ambang pintu, tiba-tiba saja ada yang menyerobot hendak masuk lebih dulu. Alhasil, satu lubang pintu dimasuki dua orang, jelas tak akan cukup. "Bapak apa-apaan sih? Maen menyeruduk aja, saya mau ke kamar mandi, Pak," bentak Alea pada pria yang hendak menyerobot masuk. "Eh, kamu pikir saya mau ke lapangan bola? Saya juga mau ke kamar mandi," sahut Fahry tak mau kalah. "Tapi saya yang lebih dulu, bukan Bapak," kilah Alea. "'Kan kamu juga baru mau masuk, bukannya sudah masuk," sergah Fahry. "Pokoknya saya lebih dulu!" tegas Alea "Enggak bisa. Saya yang lebih dulu sampai." "Saya, Pak." "Saya, Lea." "Saya mau mandi, Bapak. Gak kuat gerah. Saya capek, mau tidur." "Saya juga kebelet, Alea." "Tapi saya duluan." "Saya dulu." "Saya dulu, Pak." "Oke. Fine. Kita bareng aja." "Enak aja. Bapak jangan sembarangan. Bapak pikir saya ini apaan? Pakai diajak ke kamar mandi bar—" "Sssttt, cerewet. Diam!" Fahry menyentil pelan bibit cerewet Alea yang terus saja berceloteh, sementara panggilan alam pada tubuhnya tidak bisa lagi menunggu. "Sakit, Pak. Kok Bapak KDRT sih sama saya?!" Bibir Alea mengerucut, seraya menatap jengkel pada suaminya. "Sekarang pilihannya, biarkan saya masuk lebih dulu, atau kita masuk bersama. Saya udah gak kuat, kebelet, memang kamu mau, kalau saya buang aer di sini?" putus Fahry. Alea berdecak kesal seraya menghentakkan kaki. Setelah melihat tidak ada lagi perlawanan dari Alea, Fahry pun masuk ke kamar mandi tanpa menunggu lagi. Alea berbalik kembali menuju tempat tidur. Gadis itu duduk menunggu Fahry sambil menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Hembusan napas dari tubuh lelah itu pun perlahan mulai teratur. Dia terlelap dengan posisi duduk bersandar. Tak berselang lama, Fahry keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, sambil menggosok rambut basah dengan handuk. Setelah menunaikan hajat, dia langsung membersihkan diri. Pria itu tertegun sesaat dengan posisi tangan masih di atas kepala. Matanya menangkap sosok gadis yang terlihat cantik saat sedang menutup mata. Perlahan, Fahry menurunkan tangan dan menyimpan handuk basah pada tempatnya, ia berjalan mendekati Alea yang sedang terlelap. Setelah menimbang cukup lama, akhirnya Fahry berinisiatif membenarkan posisi tidur Alea. "Kalau kamu tidur seperti ini, yang ada leher kamu sakit dan kamu akan menyalahkan saya karena hal itu," gumam Fahry. Ia mengangkat tubuh kecil istrinya dan merebahkan wanita itu dengan benar. Lalu menyelimuti tubuh sang gadis yang masih terbalut gaun pengantin. Begitu lelap ia tidur, sampai gerakan Fahry yang memindahkan tubuhnya, tak juga membuat gadis itu terbangun. Tapi itu lebih baik, karena jika dia bangun, justru keributan yang akan terjadi. Alea pasti berpikir Fahry sedang berniat macam-macam padanya. Pria dua puluh delapan tahun itu duduk perlahan di samping gadis cerewet yang sudah resmi menjadi istrinya itu. Lama dia memandang paras ayu sang gadis. Kedua sudut bibir pria itu terangkat membentuk bulan sabit. "Cantik, tapi cerewetnya gak ketulungan," gumam Fahry sambil menatap lekat wajah sang gadis. Perlahan pandangan matanya turun pada bibir tipis yang selalu saja mengeluarkan kata-kata pedas dan tak segan membantah perintahnya. Entah kenapa, tapi bibit yang tertutup itu justru terlihat menggoda di mata Fahry saat ini. Laki-laki dewasa itu mendekatkan wajah ke arah paras cantik Alea. Saat jarak wajah mereka hanya berjarak satu centimeter, Fahry segera menjauhkan diri Fahry apa yang ada di otakmu? Kalau dia tahu bagaimana? rutuk hati Fahry pada diri sendiri. Tapi dia istriku. Tidak masalah dong, kilah hatinya lagi, masih pada diri sendiri. Tapi kamu juga harus ingat, dia mau menikah sama kamu karena kamu memaksanya dan ingin menyelamatkan nama baik keluarga kamu, harusnya kamu berterima kasih. Lagi pula kamu sudah berjanji tidak akan menyentuhnya, ujar suara hati Fahry lagi. "Argh ...!" geram Fahry. "Lama-lama aku bisa gila kalau begini terus." ia mengerang frustrasi lalu bangkit dari posisi duduk dan keluar dari kamar itu, meninggalkan Alea yang masih tertidur dengan lelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN