Bab 3 : Menikah

1099 Kata
"Syarat? Apa itu? Katakan saja, Nak," tanya Bakti seraya menatap Alea. "Kamu sama saja seperti yang lain, cari keuntungan sendiri," sindir Fahry dengan ketus. Tapi tak ada yang mempedulikan ocehannya. "Kamu mau apa, Sayang? Mobil? Rumah mewah? Villa? Kapal pesiar? Jet pribadi? Atau pulau pribadi? Oh, atau kamu jadikan Fahry suami pertama dan menikah lagi dengan keponakan mama yang baik dan ganteng itu. Dia sudah lama suka sama kamu. Gimana?" tanya Ranti, bicara tanpa jeda. "Ma, jangan ngaco deh," protes Fahry. tapi lagi-lagi tak ada yang peduli padanya. Alea menatap heran wanita yang sebentar lagi akan menjadi ibu mertuanya. Bagaimana bisa wanita itu bicara hanya dalam satu tarikan napas saja? "Saya hanya minta, tolong rahasiakan semua ini dari orang tua saya. Saya tidak mau mereka sedih saat tau anak gadisnya dijadikan tumbal oleh atasannya," ucap Alea dengan sarkas dan menekan kata tumbal, tanpa peduli tatapan tajam seorang Fahry. Pria itu mengeraskan rahang dengan kesal. "Awas kamu, Alea," gumamnya pelan. Dia geram saat Alea memposisikan diri sebagai tumbal dirinya. Apa tidak ada pemilihan kata yang lebih baik? "Baiklah, jika itu yang kamu mau." Bakti lalu merogoh ponsel dari saku celana dan menghubungi seseorang. "Halo. Tolong ajak kedua orang tua Alea masuk ke kamar hotel. Terima kasih," perintahnya pada seseorang di seberang sana. Mereka semua menunggu dalam diam. Tak berselang lama, dua orang paruh baya masuk ke dalam kamar tersebut. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." "Mari, Pak. Bu. Silakan duduk. Ada yang mau kami bicarakan." Bakti mempersilakan kedua orang tua Alea untuk duduk di sofa yang ada di kamar hotel tersebut. Alea menghampiri kedua orang tuanya dan duduk di samping sang ibu. Begitu pun dengan Ranti dan Fahry. Mereka semua berkumpul di sofa. Hanya Seno yang tetap duduk di kursi rias. "Begini, Pak, Bu. Mohon maaf sebelumnya, sudah mengganggu waktu Ibu dan Bapak. Kami di sini selaku orang tua Fahry, meminta izin ingin melamar Alea, Putri Bapak, untuk saya nikahkan dengan Fahry, putra kami." Bakti tanpa basa basi langsung bicara pada intinya, karena memang tak ada waktu lagi untuk berbasa-basi. "Lho? Bukannya Pak Fahry ini hari ini akan menikah dengan calon istrinya? Kenapa Bapak melamar putri kami untuk dinikahkan dengan Pak Fahry?" tanya ayah Alea. "Benar, seharusnya Fahry menikah dengan wanita lain hari ini, tapi ...." Bakti tak meneruskan kalimatnya. Dia menatap Alea. Bingung harus menyampaikan alasan apa. "Ibu, Ayah, sebenarnya, aku dan Pak Fahry saling mencintai," ujar Alea berbohong, sudah kepalang basah, ya sudah, berenang saja sekalian. "Karena itu, kami memutuskan untuk menikah, calon istri Pak Fahry pun sudah mengerti, dia dengan berlapang dda melepaskan Pak Fahry untuk menikahi sama aku," imbuh Alea, menambah porsi kebohongannya. "Kamu yakin, Sayang?" tanya bu Alea. "Iya, Bu. Aku yakin," jawab Alea tanpa ragu. "Bukannya kamu sering bilang, kalau bos kamu itu menyebalkan. Gimana bisa sekarang kamu bilang kalian saling mencintai?" tanya Ibu Alea, bicara tanpa berpikir terlebih dahulu. Fahry yang mendengar itu langsung melotot ke arah Alea. Dasar gadis stres, bisa-bisanya dia menjelekkan aku di depan orang tuanya, rutuk Fahry dalam hati sembari menatap tajam sang gadis yang menurutnya tidak waras itu. "Iya, Bu. Dulu Pak Fahry memang menyebalkan, ngeselin juga, tiap hari bikin tekanan darah aku naik. Tapi sekarang udah nggak, Bu. Dia udah bucin, Bu, sama aku," ujar Alea, menjelaskan sembari tersenyum. Lebih tepat, senyum mengejek Fahry yang wajahnya sudah merah padam. Sementara kedua orang tua Fahry, hanya mengulum senyum. Bahkan Seno sampai terkekeh, membuat semua orang yang ada di sana menoleh ke arah pria kemayu itu. "Maaf," ujar Seno, merasa tak nyaman saat pandangan semua orang beralih padanya. "Jadi bagaimana, Pak, Bu, apakah Bapak dan Ibu mengizinkan Fahry menikahi Alea?" Bakti kembali bertanya. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul delapan lebih empat puluh menit. Itu artinya, dua puluh menit lagi acara ijab kabul akan dimulai. "Jika itu sudah menjadi keputusan anak-anak kita, saya tidak masalah. Yang penting tak ada paksaan." Semua yang Ada di kamar itu menelan saliva dengan susah payah kecuali orang tua Alea. Bakti berusaha mengendalikan diri sebelum berbicara. "Alhamdulillah. Terima kasih, Pak, Bu. Sudah mempercayakan putri Bapak dan Ibu kepada Fahry, putra kami," ujarnya. "Kalau begitu, mari kita ke depan. Kita tunggu di sana. Alea harus disulap jadi lebih cantik dari sekarang," ajak Bakti seraya terkekeh, mengajak kedua orang tua Alea keluar dari kamar. Mereka pun berjalan bersama, tidak terkecuali Fahry, pria itu mengekor di belakang kedua orang tua dan calon mertua dadakannya. Tinggallah Alea dan Seno. Gadis itu berjalan gontai mendekati Seno. Duduk di depan cermin. Menunggu Seno mulai merias wajahnya. "Sabar, ya, Al." Seno menatap prihatin pada Alea yang menatap kosong pantulan wajah di cermin. Seno pun mulai merias wajah cantik Alea. Tak butuh waktu lama, karena Alea memang sudah cantik. Gadis itu bukan wanita yang senang bersolek. Hingga riasan tipis pun mampu mengubah wajahnya menjadi berkali-kali lipat lebih cantik. "Saya terima nikah dan kawinnya Alea Mutiara binti Singgih Purnomo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Fahry menjabat tangan Singgih, ayah kandung Alea. "Bagaimana para saksi? Sah?" "Sah." "Sah." "Alhamdulillah." Doa panjang pun terdengar mengiringi ijab kabul yang diucapkan dengan lantang oleh Fahry. Alea menatap nanar layar televisi yang menampilkan sebuah proses yang merubah statusnya menjadi seorang istri. Istri dari Fahry Arsenio Mahendra. Bos paling menyebalkan yang pernah ia miliki. "Al, kamu ...." Seno tak melanjutkan ucapannya saat melihat Alea seperti sedang melamun. "Al ...." Ia menepuk pundak Alea, membuat gadis itu terperanjat. "I-iya. Kenapa? Ada apa?" tanya Alea, terbata, sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Lalu setelah berhasil mengendalikan kesadaran, ia menghela napas panjang. "Ngelamun, ya?'' Alea hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Seno. "Terima nasib aja, Al. Sekarang yey udah jadi menantu seorang Mahendra." "Iya, aku tau," sahut Alea, lirih. "Ya sudah, jangan sedih lagi. Ganti wajah cantik yey ke mode bahagia. Yey gak mau, 'kan, orang tua yey tau yang sebenarnya?" Alea kembali mengangguki ucapan Seno, kemudian menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Iya, benar. Aku tak boleh sedih. Lihat saja nanti. Aku akan balas bos tidak waras itu," gumam Alea membuat Seno terkekeh mendengar ucapan sang gadis. "Kenapa cengar-cengir?" tanya Alea lagi. Seno pun hanya menggeleng sebagai tanggapan "Siap-siap, deh. Sebentar lagi pasti akan ada yang jemput ke sini," ujar Seno dan diangguki Alea. Meski ini pernikahan tanpa cinta, tetap saja hatinya berdebar. Rasanya masih terlalu sulit dipercaya, dia kini jadi istri dari seorang Fahry Arsenio Mahendra. Lucu sekali. Ternyata selama ini ia sibuk mempersiapkan pernikahannya sendiri. Alea terkekeh sendiri mengingat nasibnya yang ... entahlah harus ia sebut beruntung atau malah sebaliknya. "Al, yey baik-baik aja, 'kan?" tanya Seno. Ia merinding sendiri melihat Alea tiba-tiba terkekeh dengan wajah sendu. Menurutnya, itu mirip seperti hantu balas dendam dalam sebuah film horor.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN