Sembilan

988 Kata
"Om...," panggil Kia saat Wisnu hendak membuka pintu mobilnya, dan wisnu langsung menoleh. "Ada yang mau aku bicarain sama Om." Wisnu mengangguk, dan memberi isyarat agar Kia ikut masuk ke dalam mobilnya. "Ada apa, Kia?" tanya Wisnu penasaran. Kia menghela napas pelan. "Om kenal dengan bunda saya? Dan saya yakin Om juga ingat kalau Om pernah melakukan hubungan dalam tanda kutip dengan bunda saya." Wisnu mengernyit dan pikirannya melayang saat belasan tahun yang lalu. Flashback on. Wisnu dan Dian —istrinya— sedang menjalani LDR Jakarta-Bandung, hanya bertemu setiap weekend karena pekerjaan masing-masing. Wisnu yang merasa kesepian, mencoba kebahagiaan di luar sana. Dia main ke club dan bertemu dengan seorang pelayan yang kalem dan cantik di sana. Dari situ mereka berkenalan dan sering jalan bareng, tapi tidak mempunyai status yang resmi. Lambat laun, karena sering jalan bareng, Ayu mulai jatuh hati dengan Wisnu, tapi dia sadar kalau Wisnu sudah mempunyai keluarga, dia nggak mau menjadi perusak. Rumah Wisnu sepi, asisten rumah sudah pulang kampung, jadinya Ayu sering datang untuk memasaki pria itu, termasuk saat ini mereka baru saja selesai makan malam. "Ay, aku mau kamu." "Maksud Mas?" Wisnu mendekatkan bibirnya ke telinga Ayu. "Melakukan 'itu' dengan kamu." Ayu menggeleng. "Jangan, Mas. Ingat anak dan istri Mas yang lagi hamil muda." "Aku pengin melampiaskan, Ay. Tapi istriku lagi jauh. Malam ini aja, Ay." "Tapi, Mas?" Wisnu langsung menggendong Ayu ke kamarnya. "Aku tahu kamu nggak akan nolak." Flashback off. "Hasil perbuatan kalian waktu itu adalah saya, seorang anak yang diterlantarkan oleh ayahnya sendiri." "Apa buktinya? Setelah malam itu aja Ayu langsung menghilang." "Karena bunda nggak mau ngacauin rumah tangga Om Wisnu dengan keluarga." Wisnu masih belum yakin atas apa yang Kia lontarkan, tidak semudah itu dia percaya. "Apa buktinya?" "Saya berani tes DNA." "Oke. Kalau hasilnya positif apa yang kamu inginkan dari saya?" "Saya mau Om tinggalin keluarga Om yang sekarang dan nikah sama bunda saya, setidaknya ini bentuk pertanggungjawaban Om karena udah terlantarin saya dan bunda." Wisnu tersenyum tipis. "Kia, kalau kamu benar anak saya, saya akan bertanggung jawab dengan manafkahi kamu, tapi kalau untuk menikah dengan bunda kamu dan ninggalin keluarga saya, maaf saya nggak bisa." "Tapi, Om?" "Saya nggak mungkin mengorbankan pernikahan yang sudah berjalan 22 tahun, dan saya sudah bahagia dengan istri saya, Alex, dan Senja, jadi saya nggak akan ninggalin kebahagiaan saya itu." Sial. "Udah selesai, kan? Saya mau pulang," ujar Wisnu akhirnya. Setelah itu Kia keluar dari mobil Wisnu. ••• Saat ini Bintang dan Senja sedang berada di rooftop sekolah, dengan angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut keduanya. Mata mereka menatap langit cerah yang dihiasi oleh awan putih, embusan napas berat dari Senja sesekali terdengar, seperti ada yang tengah mengganggu pikirannya. Senja menoleh ke arah Bintang, sehingga keduanya bertemu pandang. "Ntang, gue udah tahu semuanya, Kia udah cerita ke gue." Bintang melototkan matanya. "Tentang apa?" "Semuanya. Sekarang gue tanya, lo pilih gue atau Kia? Kalau lo milih Kia berarti lo harus lepasin gue." "Gue nggak tahu." "Lo sayang sama gue atau Kia?" Bintang menghela napas pelan. "Jujur gue sayang sama Kia tapi gue nyaman sama lo." "B G S T!" Senja mengeja huruf itu satu persatu. "Gue nggak bisa milih." Senja menatap kesal. "Dari awal gue dan Kia memang adalah sebuah pilihan." "Tapi?" "Lo tinggal pilih gue atau Kia yang mau lo pertahankan?" Bintang terdiam, dia benar-benar bingung harus memilih siapa, di satu sisi Bintang menyayangi Kia, bahkan sampai sekarang rasa rindunya ke gadis itu begitu besar, tapi di sisi lain Senja juga bikin nyaman. "Karena lo diam, gue tahu jawabannya. Jadi, biar gue yang mundur." Senja langsung beranjak dari tempat itu, hingga menghilang dari balik pintu, bahkan Bintang pun tidak mengejarnya. ••• Kia menatap fotonya bersama Senja yang ada di ponselnya, senyuman miring terukir di wajah Kia, rasa bencinya semakin menggebu setelah mendapat penolakan dari Wisnu. "Lo dari lahir udah hidup enak, punya orang tua lengkap, punya abang yang sayang sama lo, punya materi yang berlimpah, sementara gue? Haha." Kia menertawakan dirinya sendiri. Terkadang rasa iri mampu membuat orang yang sebenarnya baik bisa terlihat buruk, padahal semua orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, karena terlalu sering melihat kelebihan orang lain sehingga lupa bahwa diri sendiri juga mempunyai kelebihan. "Gue dari kecil, cuma tinggal berdua sama nyokap, lo nggak tahu kan rasanya dikucilkan sama orang-orang gimana? Lo nggak tahu kan, gimana masa kecil gue yang sering di-bully karena lahir tanpa ayah?" Kia mulai menghapus air matanya yang berjatuhan. "Lo nggak tahu kan gimana perjuangan nyokap gue untuk memenuhi kebutuhan? Lo nggak akan tahu itu, Senja. Karena hidup lo udah enak." Kia berbicara seperti itu, seolah-olah Senja bisa mendengarnya. "Gue bahagia saat gue tahu lo suka Bintang tapi Bintang malah suka gue, dari situ gue punya ide buat balas semua rasa sakit hati gue, walaupun itu belum seberapa." Tanpa disangka dari kejauhan ada Bian yang sedang mendengarkan monolog-nya Kia sedari tadi, kemudian cowok itu menghampirinya. "Kia..." Kia mendongak, lalu menyeka sisa air matanya. "Lo nggak pernah cerita apa pun ke gue, lo nganggap gue sahabat nggak, sih?" Suara Bian naik satu oktav. "Nggak semua hal bisa kita ceritakan ke orang lain, nggak semua hal orang lain harus tahu, terkadang mereka hanya ingin tahu bukan peduli." "Gue peduli sama lo, Ki. Kita udah sama-sama dari kecil, dan lo belum bisa terbuka sepenuhnya sama gue. Gue kecewa, Ki." "Gue nggak butuh pendengar, gue nggak mau orang lain ikut pusing karena masalah hidup gue, cukup gue yang tahu, lo cuma sahabat gue." Bian maju satu langkah, dan memegang pundak Kia. "Itu gunanya sahabat, ada di saat susah maupun senang." Kia melepas tangan Bian dari pundaknya. "Gue tahu mana yang harus gue lakuin, tanpa harus gue cerita ke lo atau siapa pun all about my life." Sori, Bi. Gue nggak bisa cerita ke lo untuk sekarang, karena gue belum butuh pendengar. "Yaudah, daripada lo galau mending lo jalan-jalan sama gue." "Ke mana?" "Ke mana aja, makan kek, shopping kek, gue yang traktir, tapi jangan mahal-mahal ya." Tanpa aba-aba Bian langsung menggandeng Kia ke motornya. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN