Tujuh

545 Kata
Enaknya jadi anak sekolahan itu adalah jam kosong, guru rapat, guru sakit, pulang cepat, dan tidak ada tugas. Mungkin hal-hal seperti ini akan dirindukan saat seragam putih abu-abu bukan lagi kebanggaan. Kelas sebelas ipa dua saat ini sedang ricuh-ricuhnya karena sedang jam kosong, ada yang sudah ke toilet, ngacir ke kantin, atau ke mana saja. Berbeda dengan ke empat orang itu, Senja, Bintang, Kia, dan Bian, mereka lebih memilih duduk di kelas sambil main ABC 5 dasar. "Guys, sekarang nama hewan, ya," ujar Bian. "ABC 5 dasar," ujarnya sambil memasang tiga jari, Bintang dua jari, Senja dua jari, sedangkan Kia satu jari. "H," lanjut Bian setelah dia menghitung alfabet. "Hiu," ujar Senja. "Harimau," lanjut Kia. Sementara Bintang dan Bian masih memikirkan kira-kira hewan apalagi yang berinisal H. "Humba-humba," ujar keduanya secara bersamaan yang membuat Senja dan Kia spontan tertawa ngakak, tak dipungkiri Bintang dan Bian menertawakan kerecehan mereka yang terjadi secara tiba-tiba itu. "Astaga, udah ah, gue capek ketawa, mending gue keluar, mau rokok," ujar Bian sambil melirik Bintang. "Ayo ke belakang rokok bareng," ajaknya. Sebelum menjawab, Bintang melirik Senja terlebih dahulu, "Nggak, Yan. Ntar gue dimarahin sama Senja kalau ngerokok." Spontan Bian dan Kia langsung kaget mendengar ucapan Bintang. "Serius? Terus lo kuat?" Bintang mengangguk. "Paling kalau mulut gue nggak enak, gue emut permen." "Salut gue, Bro." Bian menepuk pundak Bintang. "Yaudah, gue ke belakang dulu." "Gue ikut, Bi," ujar Kia yang langsung mengikuti langkah Bian. Setelah keduanya keluar, Bintang langsung menggandeng Senja ke kantin, mereka duduk di tengah, sambil menunggu dua mangkuk mie ayam dan dua es jeruk meluncur ke meja mereka. "Ntang, lo berhenti ngerokok karena gue?" "Iya, selama ini belum pernah ada cewek yang larang gue rokok, bahkan Kia pun nggak pernah. Gue dulu pernah bertekad sama diri gue sendiri, kalau ada cewek yang larang gue rokok, gue bakal berhenti. Lagian, setelah gue pikir-pikir harga permen lebih murah dari rokok, dan rokok juga nggak ada faedahnya. Thanks ya, lo udah larang gue rokok." Senja mengangguk. "Iya, gue cuma nggak mau sih, orang yang gue sayang menyakiti tubuhnya dengan asap rokok." "Hmmm, Senja. Lo sejak kapan sayang sama gue?" "Dari lama, tapi lo kan nggak pernah peka, dan pas tahu lo jadian sama sahabat gue rasanya sakit banget." Gue masih bimbang, harus kah gue lanjut kisah kita? Atau gue balik ke Kia? ••• Bian dan Kia sedang duduk di bangku taman belakang sekolah, dengan sesekali Bian menghisap rokok yang ada di jarinya, dan ekspresi Kia yang sedari tadi kesal. "Ki, ini permainan lo, kenapa lo sendiri yang kesal?" "Gue pikir Bintang bakal cuekin Senja, dan itu bisa buat Senja sakit hati, tapi nyatanya Bintang kayaknya nyaman sama Senja, mana dia benar-benar asingin gue di hidupnya." "Makanya jangan main api kalau nggak mau terbakar, lo yang niat permainin Senja, malah semesta yang permainin lo." Kayaknya gue harus akhiri permainan ini, kalau gue nunggu sampai sebulan, yang ada Bintang benar-benar milih Senja dan bakal ninggalin gue, itu nggak boleh terjadi, yang tersakiti di sini harus Senja, bukan Kia. "Lo punya rencana apa lagi?" tanya Bian yang melihat Kia tengah memikirkan sesuatu. "Gue harus akhiri permainan ini, Bi." Kia merogoh ponsel dari saku roknya. Dia mengetikkan pesan untuk Senja. Senja Sebentar lagi kebenaran akan terungkap, siapin ember buat nampung air mata lo, puas-puasin dulu bahagianya sekarang •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN