Band Hardcore Jullya

1457 Kata
3 hari ruangan tidak dibersihkan, karena semua penghuni dirumah terlalu sibuk dengan dunianya masing-masing. Baru saja Jullya berniat membersihkan semua ruangan tiba-tiba ponselnya berdering, ada nama Anna tertera dilayar. “halo Jull, gue udah diluar rumah, kita ke studio sekarang buruan keluar” sapa Anna begitu Jullya mengangkat telefonnya Belum sempat Jullya berbicara telefon sudah duluan terputus. Jullya memandang kesekeliling ruangan yang begitu teramat sangat berantakan, Ia merasa sedikit berdosa karena tidak jadi untuk membersihkannya. Dengan cepat Ia naik keatas tangga menuju kamarnya mengambil jaket denim andalannya yang warnanya telah memudar, lalu kembali keruang makan dan menulis secarik surat dikertas kemudian menempelkan kertas itu dilayar televisi supaya mudah terlihat, berhubung tidak ada solatip, Jullya terpaksa menggunakan nasi putih sisa kemarin untuk menempelnya, segera Jullya bergegas lari keluar rumah mengahmpiri Anna. Anna sudah menunggunya didepan rumah. Menurut Renata, penampilan Jullya sangat tidak fashionable, dengan kaos oblong, sepatu kets butut, jaket denim yang itu-itu aja, juga rambut pendek sebahunya yang kusut. Begitupun juga dengan Anna, penampilannya tidak lebih baik dari Jullya. Anna, rambutnya panjang berwarna merah terang, dengan celana robek-robek entah karena digerogoti tikus atau memang modelnya begitu, telinga kanan kirinya penuh dengan piercing, dan perokok berat. “bukannya hari ini nggak ada latihan?” tanya Jullya “teman gue Jordan dia kerja disebuah studio rekaman, dia bisa bantuin Band kita jadi terkenal daaan... go international” ujar Anna menggebu optimis dengan mimpinya yang setinggi langit “lo yakin? Kita nyoba bukan hanya sekali tapi berkali-kali toh gagal juga?” Jullya memicingkan matanya “kalau ada kesempatan pasti ada jalan kan? ayo deh makannya buruan, jangan pesimis dulu” Anna mengajak Jullya masuk ke mobilnya. Deru knalpot racing mobil Anna yang bising mengiringi mereka ke studio latihan. *** Aku melangkah gontai di koridor kelas, seperti biasanya, bagiku tak ada yang menarik, Arumi membontotiku dari belakang, Dia adalah satu-satunya sahabatku sejak kami bertemu di kelas satu, nama panggilannya Rumi. Pandangananku fokus pada smartphoneku, aku punya duniaku yang lain saat dunia nyataku tidak lagi fleksibel, dunia maya adalah tempat pelarian terbaik bagiku, semua curhatan dan keluh kesahku, ku tuangkan di twitter. “update mulu guenya dicuekin” keluh Rumi. Aku tidak peduli, karena aku sedang marah terhadapnya. Belakangan Ini Rumi sibuk dengan teman barunya dan tidak care lagi padaku. “Rumi” panggil seorang cowok mendekati kami “Rio” sapa Rumi Nah itu dia teman baru Rumi, sejak mereka dekat kami mulai berjarak “hai Ellisa” sapa Rio padaku Aku hanya membalasnya dengan senyum simpulku, menandakan Aku tidak suka Rio merebut Rumi dari diriku, karena Rumi adalah satu-satunya teman yang aku punya. “Rum, ke perpus yuk bentar, ada tugas belom kelar nih” ajak Rio Rumi tersenyum girang berniat untuk mengiyakan, tapi melihat wajahku yang sengaja kutekuk-tekuk Ia mengurungkan niatnya “lo duluan aja, ntar gue nyusul deh” balas Rumi “hmm yaudah deh, kalau begitu gue duluan ya” ujar Rio sambil berlalu pergi Angin bertiup lembut hari ini, membuat rambut rumi yang panjang dan lembut menutupi wajahnya, kami berjalan beriringan, sesekali Rumi menyibakan rambutnya dari wajah putih orientalnya. Kami masih terdiam, aku sibuk dengan gadgetku, dengan dunia mayaku, rambutku yang dikuncir kuda tidak menyibukanku seperti halnya Rumi yang disibukkan oleh rambut panjangnya karena tiupan angin. “gue salah apa sama lo, sikap lo beberapa hari ini dingin amat ke gue” Rumi membuka percakapan “harusnya lo ngerti dong kenapa” ujarku tetap fokus pada gadget “gue nggak ngerti kenapa!” lantang Rumi Aku menghentikan langkahku sejenak, pandanganku beralih pada Rumi yang masih saja belum mengerti “lo temen gue satu-satunya, tapi sekarang lo sibuk sama yang lainnya” paparku menatap matanya tajam “maksud lo Rio?” tandas Rumi Aku terdiam “El.. kita ini udah remaja, lo pasti ngerti alasannya” tandas Rumi “apa hubungannya sama keremajaan, teman akan ada untuk selamanya” ungkapku “El.. gue butuh waktu khusus sama Rio, apa lo nggak ngerti” “lo juga butuh waktu khusus sama gue” aku nggak mau kalah “ah, sahabat sama cinta sudah pasti beda quallity timenya el” tandasnya lagi “cinta?” Aku tertegun, aku memang tidak mengerti cinta, jatuh cinta, atau apapun mengenai yang namanya cinta “iya.. seseorang yang memberikan first kissnya buat kita” tandas Rumi lagi “first kiss?” aku semakin tidak mengerti “ih susah ngomong sama lo, suatu saat pasti lo bakal ngerasain apa itu cinta” ungkap Rumi Aku tetap saja tidak perduli “sekarang lo pilih, sahabat atau cinta?” tanyaku kesal “lo apa-apaan sih El, sahabat dan cinta sama-sama hal yang penting dihidup gue” tandasnya “gue nggak perduli, lo pilih salah satunya” tegasku “El.. lo jangan egois, gue juga ingin ngerasain apa yang orang lain rasain, apa lo mau ngerubah gue jadi makhluk macam lo yang sama sekali nggak ngerti akan dunia luar? gue kecewa” matanya menyala, merah, Ia berlari pergi dariku dengan air matanya yang menetes Aku terdiam, sesaat aku merasa bersalah, tapi saat medengar Rumi menyebutku ‘makhluk yang tidak mengerti dunia luar’ rasa bersalahku seketika padam. *** Dentuman musik memekakan telinga, iringan Gitar, bass, drum berpacu keras dalam irama. Sesekali Jullya menghentakan kepalanya, lagu hardcore yang dibawanya cukup memanaskan suasana di studio latihan. Anna di bagian bass tidak kalah heboh, begitu pula dengan Rudi sang drummer dan Bodis sang gitaris, mereka ingin memberikan perform terbaik pada teman Anna yang bisa membantu mereka rekaman untuk album nasional. Jullya membawakan lagu hardcore dari New Day Is Over-A gift Called Life. Jordan, teman Anna yang bekerja disebuah studio rekaman tampak menikmati aksi mereka, tapi sesekali Ia menggelengkan kepalanya pertanda bahwa Ia tidak yakin. Beberapa lagu telah Jullya rampungkan, mereka istirahat sejenak. Harapan mereka tidak begitu muluk-muluk, mereka ingin lagu hardcore mereka dinikmati oleh semua kalangan dan punya album nasional, setidaknya mereka punya penghasilan lebih dari bandnya indie-nya ini. Jullya menenggak botol air mineralnya, keringatnya bercucuran hingga kelehernya, tampak Anna tengah bercakap-cakap dengan Jordan disebuah ruangan berdinding kaca cukup jauh dari meraka “gue nggak yakin” celetuk Bodis sang gitaris saat melihat Anna dan Jordan tengah bercakap-cakap “ya nggak ada salahnya nyoba dong, ini kenapa AC nggak nyala sih gerah banget” jawab Jullya sambil kesal kegerahan “udah berkali-kali kita coba toh gagal juga” papar Bodis lagi “passion kita kan dimusik, yaudahlah tinggal perjuangin aja, hadeuh hareudang” tandas Jullya mengipas-ngipas mukanya dengan tangan “mungkin gue harus fokus sama kuliah gue dulu, bertahun-tahun kita buat Band tapi belum ada hasilnya, manggung aja bayaran kita kecil di gigs, malah habis diongkos doang, musik kita nggak bakalan disukai oleh semua kalangan, bakalan susah buat kita jadi band nasional, impian kita itu terlalu tinggi, belum ada kan band hardcore yang nongol di Tv dan menghasilkan banyak uang? Yang ada mereka pada matiin televisinya” terang Bodis lagi “udah, lihat aja nanti hasilnya apa” Rudi ikut ambil suara Beberapa saat kemudian Jordan dan Anna berpisah, Anna menuju kearah Jullya dan kawan-kawan, sedangkan Jordan pamit pulang melambaikan tangan kearah mereka “sombong banget, Dia nggak pamitan sama kita ?” sambut Rudi begitu Anna ikut bergabung duduk “Jordan ada urusan mendadak jadi nggak bisa lama-lama, Dia cuman nyampein beberapa ulasan ” papar Anna, merebut botol air mineral ditangan Jullya kemudian menenggaknya “yah dihabisin” guman Jullya “jadi gimana?” Bodis penasaran “kata Jordan sebenarnya Band kita berbakat, suara lo juga powerfull Jul, hanya saja buat rekaman nasional kita musti rubah genre, yang lembut sedikit gitu” terang Anna santai “contohnya?” Rudi ikut berkomentar “ya genre yang bisa diterima disemua lapisan dan bisa dijual, pop, slow rock, melayu” kata Anna sambil meregangkan kedua tangannya “masa iya kita dari hardcore berubah menjadi boyband” celetuk Rudi sang drummer “gue bilang juga apa, ngotot sih kalian” Bodis makin nggak mood “yaudah nggak usah dipermasalahin, yang penting kita masih eksis di gigs kan” tandas Anna “hidup butuh uang Na, kita nggak bisa ngandelin bayaran band kita yang kecil, gue juga sudah ngorbanin waktu kuliah gue” Bodis makin emosi “ya terus gimana lagi Dis? Kita sudah usaha kan?” Anna tidak mau kalah “terserah kalian ajalah” Bodis mengambil tasnya kemudian keluar dari ruangan Anna menarik nafas panjang lalu dengan keras menghembuskannya, Rudi mengacak-ngacak rambutnya, akhir-akhir ini mereka kerap berdebat “gue cabut juga deh” pamit Rudi, tos dengan Anna dan Jullya yang tampak tidak bersemangat “harusnya tadi gue nggak usah nyuruh Jordan kesini, jadi berantem lagi kan kita” celoteh Anna Jullya terdiam, Ia tidak bermimpi terlalu tinggi untuk rekaman dan masuk televisi nasional, rekaman dan eksis di panggung lokalpun meskipun bayarannya rendah dan tidak mencukupi, Ia sebenarnya sudah bahagia dan sedikit bersyukur
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN