Marah

2060 Kata
"Lo udah gila? Maksud lo apaan sih? Bikin gue malu?" Alvira berteriak marah. Mereka sedang berada di taman belakang sekolah, saling berhadapan dengan jarak 3 langkah.   Adreno hanya menatap cewek itu datar, kemudian melangkah santai ke arah kursi taman yang beberapa jam lalu pernah mereka duduki.   Cowok itu tersenyum manis, "Duduk, Alvira." katanya sambil menepuk sisi kosong di sebelahnya.   Alvira yang melihat sikap santai itu semakin geram. Ia menghentakkan kakinya meluapkan emosi. "Gak usah basa basi please? Lo cuma harus jelasin ini semua ke gue!"   "Saya tidak bisa menjelaskan jika keadaan kamu seperti ini." lelaki itu menyenderkan punggung, "setidaknya jika kamu duduk, emosimu bisa lebih sedikit terkendali."   Alvira ingin berteriak kencang, frustasi karena tingkah si ketua OSIS yang kelewat tenang. "Terserah lo aja deh! Percuma ngomong sama patung pancoran kayak lo!" cewek itu mengarahkan jari tengahnya pada Adreno sebelum berbalik menjauh.   "Alvira!" suara Adreno berteriak merdu, tapi cewek itu pura-pura tuli dan terus berjalan.   Dan, Adreno menahan tawanya. Ya Tuhan, kenapa cewek itu terlihat sangat lucu ketika sedang marah? Adreno menggelengkan kepala sebelum beranjak mengikuti Alvira.   ****   Alvira menendang setiap benda yang ditemuinya dengan marah. "Cowok g****k! Gak punya otak! Anjir emang!"   Suasana koridor tampak sepi karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore, anak-anak kelas XII tadi juga sudah pulang sejak Alvira memutuskan untuk menyeret si ketua OSIS ke taman sekolah.   Rasanya, Alvira ingin menangis saat mengingat kejadian tadi. Cewek itu masih ingat betul dengan tatapan sinis yang dilemparkan padanya terang terangan, juga bisik-bisik tentangnya. Ya, ada beberapa yang menyadari jika Alvira anak kelas 11. Alvira bisa saja memilih pergi, tapi membayangkan semua mata yang menyorot sinis kepergiannya, cewek itu mengurungkan niat.   Lagipula~rata-rata anak kelas XII itu mengidolakan Adreno, dan mengupayakan segala cara agar si ketua OSIS jomblo seumur hidup. Lalu apa jadinya jika mereka semua tahu kalau Alvira si bocah kelas XI ada di antara mereka? Apalagi diundang langsung oleh Adreno? Bukan, Alvira tidak takut pada mereka, hanya saja ia malas mendengar jeritan manja saat Alvira memilih untuk melawan mereka dengan cara keras.   Cewek bersurai sebahu mengeluarkan ponselnya saat merasakan benda itu bergetar. Ia menaikkan alis saat melihat notif grup line yang berisi Alvira bersama kedua sahabat tengilnya.   GriyaKusumadilaga : Raja g****k.   AnastasyaA : bukannya udah dari dulu?   AnastasyaA : nama lo alay banget sumpeh.   GriyaKusumadilaga : bodo amat, penting Raja padaku.   AnastasyaA : nah kan alaynya kumat.   Alvira mulai mengetikkan balasan sambil berjalan menyusuri koridor.   Alviraaa : Adreno lebih g****k! Cowok sialan itu ngerjain gue lagi hari ini.   AnastasyaA : emang sekarang lo dimana?   Alviraaa : jalan dikoridor nunggu badak lewat.   GriyaKusumadilaga : sabar Nyet, untung Adreno ganteng.   Alviraaa : cowok psyco kayak dia lo bilang ganteng? Mati aja sana.   'Bruk'   Alvira meringis saat dahinya menabrak sesuatu yang keras. Cewek itu megangkat kepala. Memekik kaget saat melihat Adreno sudah berdiri menjulang di hadapannya dengan senyuman manis.   Alvira mendengus jengkel sambil mengusap dahinya yang berdenyut."Apaan lagi sih?"   "Saya antar pulang," balas Adreno.   Cewek itu mendorong bahu Adreno dan berjalan melewatinya. "Gak sudi." ujarnya sinis.   "Itu bukan penawaran, Alvira. Itu adalah perintah, dan saya tidak menerima penolakan." Adreno berucap tegas sambil mensejajari langkah Alvira yang setengah berlari.   "Lo cowok psikopat gila!" Alvira berucap marah sambil sesekali menyenggol bahu ketua OSIS agar menjauh. Tapi bukannya menjauh, cowok itu malah mencengkram pergelangan tangan Alvira kuat-kuat sebelum menariknya.   "Lepasin, b**o! Lo apaan sih? Gue bisa pulang sendiri!" Alvira menahan tangannya agar tidak bisa cowok itu tarik.   Adreno berhenti melangkah. Ia menolehkan wajahnya ke belakang dan menatap cewek itu dingin. "Bisa tidak sehari saja tidak melawan saya?" ujarnya datar, namun terlelip nada mengancam di sana.   Alvira yang diintimidasi seperti itu menyentakkan tangannya marah. Adreno pikir dia siapa bisa memaksakan kehendaknya pada Alvira? Cowok itu pikir, dengan dia mengancam seperti itu akan membuat Alvira takut dan menurutinya? Jangan harap! Alvira punya harga diri tinggi untuk itu.   Netra arangnya balik menatap Adreno tanpa rasa takut, ia mendesis kejam sebelum berucap penuh amarah,"Jangan harap bisa perlakuin gue kayak cewek-cewek lo yang lain!" Alvira mengangkat jari telunjuknya. "gue bukan boneka yang bisa lo atur seenak jidat lo!" lanjutnya lagi sambil mendorong bahu Adreno.   Adreno bergming, tidak tepengaruh oleh dorongan Alvira. Alisnya terangkat, bibirnya menyerigai saat melihat wajah cewek itu memerah dengan napas tak beraturan meluapkan emosi. Ah, kenapa Alvira malah terlihat sangat manis? Cowok itu menggeleng, mengenyahkan pikiran konyol itu dari otaknya.   "Cewek mana yang kamu maksud?" balasnya pura-pura bingung. Sebenarnya Adreno tahu siapa yang Alvira maksud. Ah, tapi, Adreno tidak pernah meminta mereka mendekat, para cewek itu sendiri yang menyodorkan dirinya untuk Adreno suruh.   "Gak usah pura-pura g****k!" setelah mengucapkan itu dengan nada marah, Alvira segera berlalu dengan menghentak-hentakkan kakinya di sepanjang koridor.   Sedang Adreno sendiri hanya terkekeh sambil menatap punggung Alvira yang perlahan mulai mengecil. Ah, jika saja bukan karena Adreno khawatir cewek itu kenapa-napa, Adreno juga tidak sudi mengantar Alvira pulang. Masalahnya, karena kejadian dua hari yang lalu, cewek itu jadi tersangkut masalah Adreno.   Adreno merapikan lagi tas punggungnya yang melorot sebelum mengikuti Alvira dalam diam. Mungkin seperti kemarin, cowok itu akan mengawasi Alvira dari jauh, memastikannya baik-baik saja sebelum pulang ke rumah.   ***   Koridor nampak ramai di jam-jam kosong seperti sekarang. Para siswa duduk berjajar di bangku beton memanjang depan kelas masing-masing. Beberapa dari mereka ada yang duduk di emperan kelas, bersandar pada tembok dengan kaki terjulur ke depan, sengaja menghalangi jalan.   Kelas XI IPS 1 terletak tepat di samping tangga menuju kelas XI IPA. Dan sudah jadi kebiasaan jika anak-anak cowok sering duduk di rentetan tangga, menunggu mangsa mereka mendekat untuk kemudian mereka jahili.   Rafan memainkan ponselnya hikmat, tepat di tangga atasnya, Dika menyalakan musik dengan volume besar. Beberapa teman satu kelas mereka yang lain hanya duduk-duduk sambil mendengarkan musik dan bergosip.   "Eh, ada mangsa kesukaan lo tuh Fan!" Dika memberi isyarat pada Rafan dengan menepuk bahu cowok itu.   Rafan menggeram kesal sebelum mematikan ponselnya. "Kalo nepuk itu pelan-pelan, b**o! Gue jadi kalah main game." cowok dengan seragam berantakan itu menjitak kepala Dika sebelum menaiki tangga.   Bibir Rafan terangkat, menyerigai saat melihat Aji-anak kelas XI IPA 4 yang sudah satu bulan ini menjadi bahan kejailannya datang dari arah ruang BK. Cowok nakal itu segera bersembunyi di belokan tangga, menanti sang mangsa mendekat.   Suara ketukan sepatu membuat Rafan waspada, lalu setelah kepala si mangsa terlihat, dengan cepat Rafan berdiri dan mendorong bahu Aji, membuat lelaki berkacamata itu tidak siap terjatuh ke belakang tangga.   Rafan tertawa keras- hingga membuat matanya menyipit. Tapi setelah menyadari sesuatu, tawa cowok itu terhenti.   Kenapa tidak ada suara berdebum keras pertanda Aji jatuh?   Rafan membuka matanya. Tepat di depannya kini, seorang Alvira Anindya telah berdiri dengan berkacak pinggang, juga dengan maniknya yang menyorot marah.   Rafan melirik ke belakang Alvira dan mendapati Aji sedang di tuntun Ana menuruni tangga.   Cowok itu berdecak sebal. Jadi? Usahanya tadi gagal? Bagaimana bisa?   "Lo itu g****k atau gimana sih?!" Alvira membentak marah. Nyatanya, sisa kemarahan akibat perbuatan si ketua osis kemarin masih bercokol di dadanya. Dan melihat ada mangsa yang bisa ia jadikan pelampiasan, cewek itu tidak tanggung-tanggung mengeluarkannya.   Rafan mengangkat tangannya. "Santai kali."   "Gimana bisa santai? Lo baru aja mau bunuh anak orang njiir! Otak lo di mana? Hah? Gimana kalo tadi gak ada gue di bawah? Kepala si Aji pasti bocor sekarang!"   Alvira tidak suka dengan anak sok-sok'an jago di sekolah dan bertindak semaunya. Rafan pikir, dengan dia melakukan kejahilan-kejahilan yang merugikan orang lain, cowok itu akan terlihat keren dan berkuasa?   Hah, bagi Alvira, Rafan itu tidak lebih dari brandalan berkedok anak SMA. Mending kalau dia nakal tapi jenius. Lha ini, setiap ulangan enggak bisa dihitung berapa kali dia harus remidi.   Rafan melipat tangannya. "Gak usah sok pahlawan gitu ah, gue gak suka," ujarnya santai.   Alvira menggertakkan gigi. "Lo emang gak punya otak Fan, gak bisa mikir." cewek itu menendang tulang kering Rafan sebelum berbalik.   "Sialan lo!" Rafan meringis sambil menunduk-memegang kakinya yang menjadi korban. Cowok itu hendak membalas perbuatan Alvira, tapi pemandangan di depannya membuatnya tertegun.   Tepat dua anak tangga dari tempatnya berdiri, terlihat Alvira yang sedang memeluk bahu si ketua OSIS erat, sedang kedua tubuh mereka menempel, seperti sedang berpelukan.   Rafan menuruni satu anak tangga dengan hati-hati. "Kalau mau pelukan tuh di taman, bukan di tangga sekolah. Kalo b**o gak usah dipelihara."   Setelah mengatakan itu, Rafan sengaja mendorong punggung Alvira agar tidak jadi menjauh dari dekapan Adreno. Cowok itu terkekeh keras sambil menuruni tangga, merasa senang karena berhasil membuat Alvira mengumpat marah di belakangnya.   ***   Alvira buru-buru menjauhkan diri dari dekapan Adreno. Tadi, saat dirinya hendak berbalik menuruni tangga, tanpa sengaja kakinya terbelit hingga membuatnya hampir terlempar ke depan. Tapi si ketua OSIS sombong ini malah tidak sengaja menyelamatkannya--lagi.   Cewek itu menormalkan debaran jantungnya yang menggila. Rasanya masih seperti mimpi. Alvira bersyukur karena tidak jadi jatuh, tentu saja.   Tapi~ kenapa harus Adreno yang lagi-lagi menyelamatkannya? Kenapa cowok itu selalu datang di saat yang tidak tepat?   "Gimana rasanya saya peluk?" sudut bibir cowok itu menyeringai, sedang kedua jemarinya sudah ia masukkan ke dalam saku celana.   Mulut Alvira ternganga, ia berkedip dua kali sebelum melayangkan tinjuan pada bahu cowok itu. "Sialan! " "Ssshhh..." Adreno meringis sambil memegangi bahu kanannya. Pukulan Alvira tadi tidak tanggung-tanggung, bahkan kini cowok itu bisa merasakan lukanya berdenyut nyeri dan kembali mengucurkan darah.   Adreno mengerang frustasi. Kapan lukanya akan sembuh jika kini luka itu kembali terbuka?   Alvira mendadak panik saat melihat kerutan dalam pada dahi ketua OSIS. Cewek itu kemudian melihat lengan Adreno yang berbalut perban, menemukan darah segar merembes dari sana.   Cewek bersurai pendek memekik panik, refleks mendekati Adreno. "Maafin gue Ren! Gue lupa kalo lengan lo..."   Ucapan Alvira terhenti saat sang ketua OSIS mengangkat tangan kirinya. Ekspresi cowok terlihat tenang, ia memiringkan kepala sebelum berucap. "Kamu sengaja ingin membalas dendam, ya?" Adreno berkedip sekali, "ah, kamu berhasil. Terimakasih karena membuat luka saya semakin lama untuk sembuh."   Setelah mengucapkan itu dengan nada dingin, Adreno kembali menegakkan kepala. Bibirnya membentuk garis tipis, terlihat mengerikan dengan manik abunya yang menyorot tajam.   Alvira mematung di tempatnya--merasa bersalah sekaligus terimidasi oleh tatapan cowok itu. Ia siap jika Adreno akan membalas--atau mungkin memarahinya. Sungguh, ia benar-benar tidak mempunyai niat untuk membalas perbuatan si ketua OSIS dengan cara seperti ini.   "Kak Adreno tangannya berdarah!" pekikan seorang cewek dari arah belakang membuyarkan aura magis yang sedari tadi melingkupi Alvira.   Dari ekor matanya, Alvira bisa melihat dua orang cewek berkuncir kuda dan bersurai sebahu mulai menaiki tangga. Raut wajah khawatir nampak jelas di sana, sedang masing-masing tangan mereka menggenggam gulungan kertas.   Sejak kapan dua cewek itu ada di belakang Adreno? Dan kenapa Alvira baru sadar?   "Kalian tidak perlu khawatir, saya baik-baik saja." sang ketua OSIS tersenyum manis, "kalian ke atas sendiri tidak apa-apa kan? Saya harus ke UKS sebentar." lanjutnya kemudian.   Kedua cewek itu saling pandang, lalu mengangguk serempak. Setelah itu, mereka segera menaiki tangga melewati Alvira yang masih bergeming di tempatnya.   Hari ini seharusnya mereka berkeliling kelas untuk membagikan selebaran tentang dies natalis sekolah. Adreno itu, walaupun menjabat sebagai ketua OSIS, selalu ikut berpartisipasi dengan para anggotanya, tidak hanya memberi perintah dan menunggu semuanya beres.   Mungkin karena itulah Adreno menjadi bintang. Sosoknya kelewat sempurna untuk ukuran anak SMA yang mempunyai ego setinggi langit.   Adreno berbalik, menuruni tangga tanpa mempedulikan si cewek bernetra arang yang menatap kepergiaannya dengan sorot sendu.   Alvira sendiri masih mematung, menatap punggung tegap Adreno yang perlahan menjauh tanpa berkedip. Sebelumnya, Alvira tidak pernah merasa sebersalah ini ketika ia memukul seseorang.   Tapi kenapa dengan Adreno, rasanya begitu berbeda? Apa karena Alvira sering cowok itu tolong?   Perasaan ini begitu aneh, dirinya tidak suka karena cowok itu tidak marah ataupun membalas dendam dengan cara yang sama. Alvira mengacak rambutnya frustasi, kemudian duduk di anak tangga dengan kasar.   "Lo kenapa Vir? Muka lo kayak orang kebanyakan utang tau gak?" Griya datang dari belokan tangga, tidak sengaja melihat wajah kusut sahabatnya dan memutuskan untuk mendekat.   "Adreno..." cewek itu menjawab pelan, "gue gak sengaja bikin lukanya berdarah lagi Gri, dan gue..." Alvira kehilangan kata-kata.   Adreno terluka gara-gara Alvira, karena cowok itu menyelamatkan nyawanya. Tapi apa balasan Alvira? Ia malah menambah luka itu semakin parah.   Griya memekik kaget. "Kok bisa?" cewek itu segera duduk merapat di sebelah Alvira.   Alvira menggeleng. "Gue gak sengaja Gri, dan sekarang gue gak tau harus ngapain. Cowok itu emang sialan ya? Kenapa juga dia bisa bikin gue melow kayak gini?"   "Mending lo samperin dia ke UKS." Griya membalas diplomatis. Ia menepuk bahu Alvira sekilas sebelum bangkit dan menepuk pelan roknya.   "Penyesalan datangnya belakangan Vir," lanjutnya lagi. Setelah itu, Griya menuruni anak tangga menujuk kelasnya, meninggalkan Alvira yang kini menenggelamkan wajahnya pada lipatan lutut.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN