Alvira menormalkan debaran jantungnya yang menderu. Menoleh, si cowok yang menjadi parthernya itu sedang memandang ke arah lain. Alvira hanya bisa melihat setengah wajah cowok itu; hidung putihnya yang mancung, bulu mata lentik yang tersorot lampu, dan juga... bibir kemerahan yang terbelah di bagian bawahnya.
Alvira mengerjab-ngerjab. Sepertinya dia mengenal cowok ini deh... Dan, benar saja. Ketika cowok itu berbalik dan membuka tudung jaketnya, bola mata Alvira terbelalak lebar.
"Elo?!"
Adreno mengukir senyuman. Ia mengangguk singkat dan menaruh tangannya ke depan d**a, bersikap bak seorang butler yang baru saja bertemu nonanya.
"Selamat malam."
Astaga.
Dan, bukannya membalas sapaan cowok itu, Alvira malah melayangkan sorot sinis, "Ngapain lo di sini?"
Sebelah alis Adreno terangkat. "Memangnya kenapa? Seingat saya, saya masih jadi anggota klub ini."
Dan, Alvira menyesal karena sudah menghkhawatirkan keadaan cowok itu. Nyatanya, Adreno baik-baik saja--sangat baik malah. Dan, jangan lupa tambahkan--masih sangat menyebalkan semenjak pertemuan terakhir mereka kemarin malam.
Alvira mendengus kesal dan mengambil skateboardnya, memilih buat berjalan dan menghampiri Reyhan di sisi kanan lapangan. Sebab, Alvira tahu bahwa memancing perdebatan sama Adreno itu enggak ada gunanya. Bikin capek saja.
Maka, Alvira sengaja menulikan telingannya ketika tawa geli Adreno terdengar di belakang.
***
Cowok bernetra kelabu itu tersenyum manis, sesekali balik menyapa saat beberapa siswi mengucapkan selamat pagi padanya. Langkahnya santai namun tegas, perban yang membebat lengan kanannya sama sekali tidak memudarkan pesona seorang Adreno.
Adreno tidak masuk sekolah hanya satu hari. Itu pun karena ia diancam oleh kakeknya agar istirahat di rumah--yang Adreno pikir itu sama sekali tidak perlu. Lukanya tidak terlalu parah, hanya tergores saja dan tidak sampai koyak. Tujuh jahitan tidak seberapa, cowok itu pernah mendapatkan luka yang lebih parah.
Adreno menggelengkan kepala saat mengingat Alvira mengahadapi laki-laki yang tubuhnya dua kali lipat darinya. Ia jadi ragu jika Alvira itu seorang perempuan. Tenaganya terlalu kuat dan tangguh. Pantas saja ia selalu menyabet medali emas saat kejuaraan taekwondo.
Dan tentang kejadian semalam, Adreno memilih buat mengikuti Alvira dalam diam, memastikan cewek itu aman sebelum pulang ke rumahnya sendiri.
Kenapa para penjahat itu juga mengincar Alvira?
"Kak Adreno!"
Cowok itu menghentikan langkah. Dari kejauhan, seorang siswi berkuncir kuda sedang melambai ke arahnya. Ah, salah satu penggemarnya lagi ya? Adreno menghembuskan napas sebelum memasang kembali topeng ramahnya.
****
Jam kosong.
Itu artinya adalah surga untuk seluruh warga XI IPS 1. Para siswa mulai sibuk berceloteh ria sambil bermain gadget dan musikan.
Rafan yang menjadi biang rusuh di kelas ini mulai melayangkan aksinya. Cowok itu tadi membawa gitar ke sekolah. Dan sekarang, saat ada kesempatan, cowok nakal itu mulai memetik gitarnya sambil duduk di atas meja.
Jreng...
Rafan menunduk, memasang ekspresi seolah sedang menghayati. "Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama, tak bisa bersatu."
"Kita--"
"Alah. Gak pantes lo, monyet." si gempal Dika menyuarakan protes. Seketika menghentikan petikan gitar milik Rafan.
"Diem lo, badak. Ganggu konsentrasi gue aja." Rafan melemparkan bungkus kacang ke arah Dika sebelum kembali sibuk pada gitarnya.
Saat hendak memetik gitar lagi, suara pintu terbuka membuatnya berhenti. Ia menoleh, lalu turun dari meja saat mendapati Alvira masuk kelas bersama Ana dan Griya di sampingnya. Sudut bibirnya terangkat saat belihat satu cup es sirup menggoda di tangan Alvira.
Disambarnya cup itu cepat sambil menyerigai. "Thanks Vir, lo emang sahabat terbaik gue. Tau aja kalau gue lagi haus." cowok itu mulai meminum esnya tanpa rasa bersalah.
Alvira memukul punggung Rafan dan membuat cowok itu tersedak. "Sahabat dari lobang kelinci? Kalau ada maunya aja baru ngaku-ngaku lo!"
Rafan berdehem untuk melegakan tenggorokannya. Wajahnya terlihat merah padam. "Jahat banget sih lo Vir, jadi pengen nyium," balasnya gak nyambung.
Cewek itu melotot. "Lo berani sama gue? Mau di mana? Lapangan utama atau gang samping rumah gue?"
Rafan mengangkat tangannya tanda menyerah. Cowok itu lebih sayang nyawa daripada satu cup es sirup.
"Nih, gue balikin," Rafan menyodorkan cup es sirup yang tinggal tersisa setengah.
"Udah basi, bekas lo. Najis gue."
"Njiirr...bekas orang ganteng kayak gue gak bakalan bikin lo mati kali." Rafan kembali meminum esnya hingga tandas.
Alvira berkacak pinggang. "Hah? Lo ganteng? Dari segi apa coba? Modal hidung gedhe aja bangga."
Rafan hendak protes sebelum suara deheman seseorang menginterupsi.
Dari ambang pintu, terlihat Adreno dengan senyum menawannya. Tepat di belakangnya, ada dua orang anggota OSIS lain yang mengikuti.
"Hai Kak Adreno." Suara cempreng Griya menyapa ceria setelah hening beberapa saat.
Alvira mengalihkan pandangan dan pura-pura tidak melihat cowok itu.
Adreno balas menatap Griya dengan senyum ramah. "Hai juga."
Aura yang terpancar dari seorang Adreno seperti medan magnet yang mampu menarik semua orang mendekat. Pria itu dengan segala pesonanya mampu membuat cewek manapun bertekuk lutut.
"Kak Adreno tangannya kenapa?" Griya yang menyadari ada yang janggal dari lengan Adreno langsung bertanya.
Adreno hanya tersenyum tipis menanggapi. Ia berjalan semakin ke dalam dan berdiri di depan kelas dengan aura seorang pemimpin yang langsung menguar.
"Bisakah saya minta perhatian rekan-rekan sebentar?"
Suara tegas Adreno langsung membuat kelas seketika hening. Semua aktivitas yang sedang mereka kerjakan langsung berhenti dan memusatkan semua perhatiannya pada sang ketua OSIS, begitu pun dengan Alvira.
Ah, selain tampan dan manis, kharisma seorang pemimpin dari Adreno mampu membuat semua orang mendadak patuh. Pantas saja cowok itu terpilih sebagai ketua OSIS.
"Baiklah. Untuk menyambut acara dies natalis SMA Pandhawa yang ke 52, kami pengurus OSIS akan mengadakan pentas seni. Masing-masing kelas mengirimkan satu orang untuk mewakili kegiatan tersebut." Adreno mengedarkan pandangan, menatap satu per satu murid XI IPS 1.
"Jadi... Siapa yang bersedia?" lanjutnya kemudian.
"Loh Kak, acaranya sekitar 10 hari lagi kan? Kenapa dadakan gini? Apa cukup waktunya buat latihan?" cewek berkuncir kuda mengangkat tangan bertanya.
Adreno mengerutkan kening sebelum menjawab. "Nah, pertanyaan bagus. Karena pentas ini memang baru terpikirkan kemarin, jadi semuanya serba mendadak. " jeda sejenak, lelaki itu melirik Alvira sebelum kembali berucap. "Dan saya...butuh seseorang yang tangguh untuk itu."
Semua murid langsung menunjuk Alvira serempak. Sudut bibir Adreno terangkat, menyerigai. Rencananya berhasil untuk memasukkan Alvira dalam kegiatan ini.
****
"Lengan lo gimana?" Alvira melirik perban yang membebat lengan Adreno, berbasa-basi sambil menunggu latihan pentas seni yang dilakukan langsung hari ini.
Sebenarnya Alvira enggak sudi berada dalam posisi kayak gini--jadi korban teman-teman satu kelasnya. Tapi ya, mau gimana lagi? Alvira enggak dikasih pilihan buat nolak. Jadi ya, jalani saja meski setengah hati.
Mereka sedang berada di halaman belakang sekolah. Duduk bersebelahan di bangku kayu memanjang yang berada tepat di bawah pohon mangga, memberi mereka perlindungan dari sinar matahari sore yang cukup menyengat.
Adreno mengangkat sebelah alis,"Saya tidak selemah itu. Luka ini tidak seberapa."
"Sombong," Alvira membalas sinis. Luka tusukan pisau ia anggap tidak seberapa? Alvira melihat sendiri luka itu menganga lebar dan mengucurkan darah. Lelaki ini masih normal kan?
Adreno hanya terkekeh dan menyandarkan punggungnya. "Saya pernah punya luka yang lebih parah. Dan luka gores kayak gini enggak ada apa-apanya buat saya." cowok itu mendongakkan kepala, menerawang ke masa lalu.
Alvira melipat tangannya di depan d**a. Matanya meniyipit. "Lo curhat?"
Tawa renyah Adreno terdengar. "Anggap aja kayak gitu."
Dan, Alvira mendesah. Menyandarkan punggung, ia menatap beberapa daun yang jatuh dari pohon kamboja di depan mereka. "Gue ngerasa bersalah tau,"
"Sejak kapan seorang Alvira peduli?" Adreno membalas datar.
Alvira memutar bola mata. "Serah lo deh, serah. Nanya salah, ntar gak nanya juga salah, Alvira mah apa atuh." ujarnya sinis.
Adreno menaikkan alis, sudut bibirnya berkedut-menahan tawa. Dilihatnya Alvira yang sedang menggembungkan pipinya dengan bibir mengerucut.
"Kamu pikir, kamu terlihat menggemaskan dengan ekspresi seperti itu?" tanya Reno sengaja ingin membuat cewek itu marah. Menurutnya, Alvira terlihat manis jika sedang marah.
Alvira menegakkan tubuh. Ia melemparkan kulit kuaci ke arah cowok itu sambil mendengus jengkel,kemudian ia teringat sesuatu. "Eh, maksud lo apaan bilang sama anak-anak kalau gue dapet medali emas kemarin?"
Adreno mengerutkan kening, lalu teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Ah, soal selebaran tentang Alvira itu ya?
Cowok itu tersenyum tipis sebelum menjawab, "Dewan guru ingin memamerkan salah satu siswi terbaiknya. Dan saya hanya mengabulkan permintaan mereka," balasnya tenang.
Alvira berdecak. "Gue gak suka jadi pusat perhatian! Dan dengan lo nyebarin semua itu, gue ngerasa gak tenang dan diawasi," ucapnya tajam.
Cowok itu hanya mengangkat alis, "Oh ya? Saya enggak peduli," jawabnya kalem, ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Dan saya enggak punya banyak waktu," lanjutnya sambil berdiri.
Adreno mengulurkan tangannya. "Ayo, kita ada jadwal latihan hari ini," ajaknya.
Alvira memutar bola mata, kemudian menampik uluran tangan Adreno. "Gak sudi gue megang tangan lo," ujarnya sinis sebelum berjalan mendahului cowok itu.
Jika saja cewek-cewek lain yang mendapat perlakuan seperti itu dari seorang Adreno, bisa dipastikan mereka akan salah tingkah dan menerimanya dengan senang hati. Tapi bukan Alvira namanya jika tidak sok jual mahal dan menolak semua kebaikan Adreno padanya.
Adreno menaikkan sudut bibirnya sebelum mengikuti langkah si cewek bernetra arang. Ah, tunggu saja, cowok itu akan membalas perbuatan Alvira nanti.
***
"Jadi, pentas seni kali ini tidak diketahui oleh dewan guru. Saya dan pengurus OSIS lain ingin memberikan kejutan dengan sebuah pementasan seni." netra kelabu itu menatap menyeluruh pada semua murid yang berhasil ia kumpulkan di aula sekolah.
Semuanya di d******i oleh siswa kelas dua belas. Dan Alvira merasa salah tempat di sini karena hanya dia saja yang kelas sebelas. Ketua OSIS gila itu sengaja menjebak Alvira ya?
"Dan karena ini adalah tugas terakhir saya sebagai ketua OSIS di sini, saya ingin segalanya terlihat sempurna. Dan itu tidak akan terwujud tanpa bantuan kalian," lanjutnya sambil tersenyum.
Ya, karena Adreno sudah kelas dua belas, maka jabatannya sebentar lagi akan berakhir. Dan cowok itu ingin semuanya nampak sempurna sebelum ia menyerahkan tampuk kepemimpinannya pada calon ketua OSIS yang baru.
Pentas ini sebenarnya khusus untuk anak kelas dua belas, sebagai kenang-kenangan mereka selama tiga tahun sekolah di sini sebelum ujian nasional 6 bulan lagi. Dan Adreno sengaja menjebak Alvira untuk mengikuti permainannya.
Cowok itu tersenyum menyerigai saat tatapannya bertemu dengan manik arang Alvira yang berkilat marah. Sepertinya cewek itu sudah sadar dengan situasi di sekelilingnya.
"Nah, kalau begitu, saya akan membagi kalian dalam beberapa kelompok," lanjutnya tanpa rasa bersalah.
Alvira yang melihat itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Adreno pikir, dia siapa bisa memperlakukan Alvira seperti ini?
****