Malam, setelah semua aktivitas selesai. Sebuah mobil agya berwarna abu-abu mengkilat parkir di halaman depan ruko, aku, Gita, Lusi juga Helda terkejut.
Seorang laki-laki turun dari mobil. Aku masih sangat ingat gaya itu, itu Rahmad tamu yang pagi tadi datang berpakaian seperti kyai. Sekarang dia tampil perlente, bajunya rapi padahal waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 Wita,
“Pak Rahmad bu,” pekik Gita tertahan.
Mataku sontak melotot padanya, sudah tahu saja aku tidak terlalu suka dengan tamu ini kenapa dia harus bersuara nyaring sambil menyebutkan nama pula.
Laki-laki itu mantap melangkah menuju ruko sambil tersenyum, beberapa kurcaci disampingku ikut tersenyum.
“Ada yang bisa saya bantu, pak” seruku tegas.
“Saya hanya ingin main...” whats........????????
Main di jam semalam ini, maksudnya apa coba, aku meradang, membatin, berani sekali orang ini.
“Bu Rahma, mama ibu di dalam muntah-muntah, sepertinya beliau sakit,” cerita Lusi padaku yang sedang duduk menemui tamu yang bernama Rahmad tadi.
Aku menatap wajahnya sekilas,
“Saya tinggal ke dalam dulu ya,”
“Silahkan,”
Aku melihat mama, wajahnya begitu pucat, hari ini mobil LBB sedang di pakai Rizaldi ke Banjarmasin. Kalau menunggu dia kembali akan memakan waktu lama, aku meminta Gita memanggil mobil dari aplikasi online untuk membawa mama ke rumah sakit. Mama harus segera ditangani dokter, aku tidak mau bermain-main dalam situasi seperti ini.
“ Biar saya antar , “ Suara Rahmad mengagetkan kami yang sedang berunding.
Aku dan teman-teman berpandangan, aku tahu aku sangat benci pertolongan ini, tapi ini penting demi mamaku.
“Baiklah,” jawabku akhirnya yang membuat teman-teman sedikit lega.
Kami membopong mama ke Rumah Sakit Umum, Rahmad seorang pengemudi yang baik.
Aku duduk di belakang dengan mama, aku tahu dia sering mencuri pandang melalui kaca spion. Tapi aku sama sekali tidak perduli.
Sesampainya di Rumah Sakit.
Dokter memutuskan agar mama di rawat inap, aku menyetujui saran dokter, sekali lagi aku tidak ingin mengambil resiko untuk ini. Aku sudah tidak punya orang tua lagi selain mama, itu sebabnya mama harus selamat.
Saat aku dan Gita sibuk membantu mama pindah ruangan, aku sama sekali tak melihat Rahmad, kemana dia, mungkin dia sibuk ijin pada istrinya, batinku menggumam.
Tiba-tiba seseorang yang kufikirkan muncul masih dengan senyum.
“Biaya Rumah Sakit mama biar aku yang tanggung, aku sudah tinggalkan berkas pada dokter nanti semua ditagihkan padaku.”
Sombong sekali laki-laki ini.
“Terimakasih ya nak Rahmad” suara parau mama memecah hening.
Rahmad ijin pulang sedang aku dan Gita menjaga mama.
Selagi mama tidur aku dan Gita duduk di beranda sambil berbincang panjang lebar,
“Bu, pak Rahmad itu baik,”
“Kamu tahu darimana?”
“Buktinya baru kenal beliau sudah mau membayarkan biaya rumah sakit mama,”
“Membayar biaya rumah sakit bukan jaminan dia orang baik, Git.”
Setiap orang yang punya misi terhadap sesuatu hingga menjadikannya baik bukan berarti dia bisa langsung dikategorikan orang baik.
Aku mencoba membela diri.
Dua hari di rumah sakit membuat mama sudah nampak cukup sehat, hari ini jadwal mama pulang, kami sudah mempersiapkan semuanya dan sebelum aku siap membawa mama Rahmad sudah rapi duduk di depan kamar mama ditemani Gita.
Rahmad menjadi perbincangan sehari-hari mama, banyak hal yang mama tanyakan tentang Rahmad padaku padahal aku sendiri tak terlampau tahu banyak tentang dia.
Di mobil pun demikian, dari perbincangan mama dengan Rahmad aku baru tahu bahwa Rahmad adalah salah satu dosen di salah satu universitas di Kalimantan Selatan.
Rahmad, menjadi topik terhangat di lembaga pendidikan karena sejak saat itu ia menjadi rajin datang, tak perduli pagi, siang, sore bahkan malam.
Meskipun aku ogah-ogahan dia tetap saja datang.Dari ceritanya juga aku baru tahu bahwa dirinya telah beristri dan mempunyai beberapa anak, sejak aku tahu ia telah beristri aku lebih kuat lagi menjauh, aku tidak ingin kedekatanku dengannya justru membahayakan rumah tangganya.
"ibu, sebaiknya ibu turun, karena pak Rahmad tidak mau pulang sebelum bertemu ibu,” Aku semakin muak dengan lelaki ini kenapa dia begitu kukuh ingin dekat denganku, sebenarnya ada apa?
Saat aku mencoba berfikir, wanita cantik berbaju hitam panjang dan kerudung hitam panjang itu muncul sambil tersenyum.
Aku mulai faham
“Jangan-jangan....”
Rahmad sampai segila ini pasti karena melihat sosok wanita itu, aku mulai panik, aku memilih turun menjumpainya.
“Ada apa sih, “ suaraku meninggi.
“Kita perlu bicara, Ra”
“Bicara apa?”
“Kita ke mobil ya,” ajaknya lembut, sungguh ia sebenarnya sabar sekali menghadapiku. Kami melangkah ke mobil, aku menghempaskan tubuhku dengan kesal dan menutup pintu mobil sedikit kasar.
“Ra, aku serius ingin menikahimu?”
“Apaaa?”
“Iya Ra, semalam aku sudah bercerita dengan istriku dan kalau kamu setuju aku akan membawa mu ke rumah agar kamu mengenal dengan baik keluargaku, istriku tidak akan marah Ra, percayalah.”
“Ini bukan tentang marah atau tidak, ini tentang..” suaraku menggantung membuat bingung.
“Sudahlah Ra, kamu temui saja istriku kalau dia marah maka kamu boleh menolak permintaanku.”
Aku enggan berdebat saat ini, pikiranku berputar-putar, aku ingin menjelaskan sesuatu, ingin menjelaskan pada Rahmad bahwa yang ia lihat bukan diriku, yang mendorongnya untuk menikahi aku, sesungguhnya bukan karena kecantikanku tetapi ada hal gaib yang dia tidak tahu. Namun kenapa cerita itu tidak bisa muncul, tenggorokanku seolah tersekat, aku tak mampu bersuara apapun hingga aku hanya bisa mengangguk.
Rahmad nampak bahagia dengan keputusanku mengiyakan maunya, aku hanya menghela nafas panjang.
Keesokan harinya.
Aku merinding, meski ini bukan yang pertama aku berhasil merebut hati laki-laki yang telah beristri tapi keseriusan Rahmad untuk menikahiku dan mempertemukan aku dengan istrinya membuat aku ngeri.
Rumah megah dengan tiga buah mobil dan koleksi motor gede terparkir di halaman, Rahmad turun dan aku masih menunggu di dalam agyanya.
“Turunlah, “ ucap Rahmad dari halaman rumahnya sambil melambaikan tangan sebagai isyarat agar aku turun.
Aku melangkah gontai, dengan gamis turki berwarna biru menyala ddan paduan jilbab putih membuat aku nampak cantik luar biasa.
Seorang wanita muncul, kulit tubuhnya putih, celana ketat hitam dan baju panjang longgar menghias tubuhnya, posturnya tinggi, hanya dia kurus sekali, bibirnya lebar, giginya tak beraturan. Aku sempat terkejut, inikah istri Rahmad?.
‘Pantas saja’ suara dari dalam hatiku muncul.
Wanita itu mempersilahkan aku masuk, aku melihat rumah ini nampak kotor sekali, ada beberapa pampers berserakan, baunya juga tak sedap. Bila ini terjadi di ruko tempat kami tinggal pasti aku orang pertama yang berteriak-teriak minta teman-teman membersihkan.
Saat Rahmad tidak ada diantara kami istri Rahmad bercerita tentang kelakuan suaminya yang banyak berhubungan dengan banyak perempuan di luar sana tetapi baru denganku ia memaksa agar istrinya memberi ijin.
Sesaat aku berani mendongakkan kepala. Aku melihat ada bening di kelopak mata, sepertinya ia ingin menangis. Aku merasa iba.
Tapi apa yang bisa kulakukan, aku ingin bilang agar ia merawat diri, dengan uangnya yang banyak harusnya ia bisa lebih cantik dari saat ini, dengan uangnya yang banyak harusnya ia bisa menyewa pembantu agar rumahnya bersih.
Harusnya pemandangan ini tidak terlihat agar suaminya betah di rumah, agar suaminya tak berpindah ke lain hati. Aku hanya menjawab curhatannya dengan kalimat, ‘iya’, ‘tidak’, ‘entah’, ‘eh’, ‘oh’. Hanya itu yang kulakukan.
Seorang laki-laki itu juga sama dengan kita, dia akan mudah tertarik pada sesuatu yang lebih cantik, lebih menggoda, lebih bersih, lebih tertata.
Sehingga kemungkinannya untuk berpindah hati sangat besar dan kuat ketika kenyamanan itu tidak mereka dapatkan, sekali lagi sama juga seperti kita. Kecuali laki-laki yang benar-benar baik. Bila begitu kenyataannya berarti Rahmad bukan orang baik ?
Entah.