MENUJU CINTA

1077 Kata
Udara dingin menyeruak, menyentuh kulit. Membuat jurang terjal antara rasa hangat dan rasa dingin. Aku menyudahi makan malam ku sejak tadi. Andi masih juga tidur di kamar. Ia mengeluh sakit. Sepertinya gula darahnya naik. Seluruh keluarga Andi penderita diabetes . Andi pun mengidap penyakit yang sama. Terlebih akhir-akhir ini ia kurang menata pola makan. Rasa ngilu yang menggerogoti tubuhnya. Kasihan, sudah beberapa dokter kami datangi namun apa yang mereka katakan tetap saja sama. Diabetes hanya tentang pola makan dan cara berfikir, itu saja. Aku melihat Andi dari tempat ku duduk. Memandangi setiap gerak geriknya. Anak-anak asik bermain di depan rumah. Aku pun keluar hendak mengingatkan mereka. "Anak-anak, jangan ramai ayah kalian sedang sakit." Suara ku agak kencang mengingatkan mereka. Saat aku masuk ke kamar aku melihat Andi sudah membuka matanya. "Biar saja mereka bermain jangan dilarang." Ucap Andi pada ku. "Mainnya terlalu ribut." suaraku menimpali. "Namanya juga anak-anak." "Bagaimana rasa sakitnya?" tanyaku. "Sudah baik, rasa sakitnya udah hilang." Andi menjawab. Dan aku tahu ia berbohong demi menutupinya dari ku. Kami pun berbincang hingga senja datang. Usai melaksanakan aktivitas hingga petang kami pun bersiap untuk tidur. "Jangan lupa cuci kaki nya." Perintahku pada anak-anak kami. " Aku ke kamar mandi dulu ya, "ujar Andi cepat. " Mas bisa ke kamar mandi sendiri? " Tanyaku pada Andi. " Bisa aku kuat kok " Andi pun bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi, aku sibuk dengan aktifitas ku membersihkan kamar tidur. Sampai lima belas menit Andi tidak juga keluar kamar. Aku bermaksud menyusulnya hingga aku di kaget kan oleh sebuah suara 'Brak!' Suara yang sangat keras berasal dari kamar mandi, aku bergegas bangkit. Ya Allah, Andi tergeletak tepat di depan kamar mandi dengan wajah tengkurap menyentuh lantai. Serta merta aku berteriak, anak-anak ku pun terbangun melihat ayah nya dalam kondisi seperti itu serta merta mereka bergerak untuk menolong. Susah payah kami membawa Andi menuju ke kamar tidur, membersihkan badan nya dan mengganti pakaian nya yang basah. Nafas Andi terlihat sangat berat. Aku bangkit hendak memanggil bidan setidak nya untuk memberikan pertolongan pertama, tapi Andi mencekal lengan ku. " Kemana? " Tanyanya dengan suara berat. " Ke bu bidan. " Jawab ku cepat. " Untuk apa " Tanyanya lagi, aku jadi semakin gemas. " Untuk dilamar, " Jawab ku ketus. Andi tersenyum, meraba pipiku lembut. Untuk pertama kalinya Andi bersikap lembut pada ku. Biasanya kami biasa-biasa saja. " Kamu disini saja, ndak usah kemana-mana, aku ndak papa " "Tapi mas ?" aku mencoba protes. Aku akhir nya menurut saja dengan permintaan nya. Andi terlelap namun entah mengapa aku demikian sulit tidur, aku membalik-balikkan badan ku padahal cuaca sangat sejuk. Ku lihat Andi masih juga tidur, sama sekali tidak terusik dengan gerakan ku, biasanya bila sedikit saja ranjang ini bergerak maka ia akan terbangun, tapi kali ini ia demikian terlelap. Hingga aku pun terlelap dengan sendirinya. Pagi tiba, Aku terbangun hendak melaksanakan sholat subuh, membangunkan anak-anak kemudian menuju ke musholla kecil di samping kamar. Lama aku hanyut dalam pembicaraan ku bersama Tuhan, entah mengapa aku demikian merasa hanyut pada bacaan-bacaan yang ku lantunkan sendiri. Ku lepas mukena, hendak bersandar sejenak tapi aku merasa heran, Andi belum bangun. Segera aku menuju kamar melihat Andi masih juga tidur. Ku sentuh lengan nya, dingin, ku sentuh kening nya juga dingin. Aku merasa tidak nyaman, aku meminta anak pertamaku menjemput bu bidan yang rumah nya berada di ujung gang perumahan kami. Sulung ku berlari menjemput bu bidan, tak berapa lama bu bidan berwajah teduh itu tersenyum. Beliau duduk di samping ranjang kami, mengeluarkan stetoskop juga memeriksa tekanan darah Andi. Wajah bu bidan memerah, aku dan anak-anak menunggu keputusan beliau. Beliau menarik nafas panjang seraya berucap "Innalillahi WA innaillaihi rojiun " Kami semua tercengang. Anak-anak kecil ku memandang wajah ayah nya sambil tercengang. Aku juga tercengang, rasa terkejut ku belum hilang. Andi, laki-laki yang telah sebelas tahun berumah tangga dengan wanita jadi-jadian seperti aku. Andi yang telah memberiku kesempatan melahirkan sembilan kali dengan riwayat kehamilan yang beraneka ragam. Andi yang dengan telaten menikmati setiap perselingkuhan ku, saat ia tahu atau pun tidak. Andi memang bukan lelaki yang sempurna, bukan lelaki yang sepenuh nya baik, tapi terlalu banyak cerita melewati perjalanan hidup kami. Dan kini Andi pergi di usianya yang masih empat puluh lima tahun. Andi yang sering kewalahan dengan gairah bercintaku. Andi yang... " Rahma, " Panggil mama. Aku memandang mama kemudian mencium lembut lengan beliau. Mama memandangku iba. Andi masih terbaring dengan wajah kuyu nya ranjang kami. Beberapa tetangga menyiapkan tempat untuk mayat Andi di ruang tamu, setelah Siap mereka membopong tubuh Andi ke ruang tamu. Anak-anak duduk berjajar, suasana baru menyelimuti kami. Semua prosesi berjalan lancar, mulai dari memandikan, mengkafani hingga menyolatkan. Wajah Andi di tutup kain kafan putih. Anak-anak saling berpandangan. Aku berdiri di ujung pintu kamar sambil memandang Andi yang sudah terbujur kaku dan jadi mayat. Tak ada air mata yang turun di mata ku, tapi jelas hati ku hancur. Aku masih ingat kepada kelakuan Andi yang menyembunyikan lima kunci jadi satu, membawanya ke mana-mana. Kunci-kunci itu lebih dekat keberadaan nya dengan Andi dari pada dirinya, hingga suatu ketika kunci itu tertinggal di kamar mandi saat ia berangkat kerja. Aku menemukan kunci itu dan membuka pintu almari kamar kami. Aku temukan lembaran uang seratus ribuan tersusun rapi di almari. Aku marah dan menghamburkan seluruh uang itu. Berawal dari itu Andi akhirnya mau tidak mau menuruti kemauan ku untuk berbelanja. Andi juga yang mengunci pintu pagar rumah kami sebelum berangkat kerja, mengunci aku dan anak-anak dari luar. Andi yang antik. Hari ini Andi telah pergi mendahului kami menyisakan kami kenangan yang akan menemani hari-hari kami. Kalimat tahlil berkumandang bersahutan mengiringi proses pemakaman Andi. Aku masih termangu menatap keranda yang membawa Andi menuju peristirahatan terakhirnya. Beberapa pelayat berpamitan padaku aku hanya menjabat lengan mereka erat sembari berucap. " Mohon maaf untuk semua kesalahan mas Andi ya " Hanya itu kalimat yang ku ucap berulang-ulang. Mama mendekat, memintaku beristirahat aku pun memberikan isyarat mengangguk, meski berat. Di dalam kamar. Aku termenung, malam tadi usai terjatuh dari kamar mandi Andi masih berbincang denganku. Masih mencandai ku, menjelang detik-detik ke matian nya mas Andi memang banyak berubah menjelang detik-detik kematian nya. Hidup akhirnya akan sampai pada suatu titik dimana kita harus berpasrah pada taqdir dan satu-satunya jalan pulang hanya menuju Allah saja. Semilir senja masih menyeruak melalui kaca jendela. Aku terpana menatap nanar pada ranjang kosong di samping ku. Andi telah pergi dan Rahma kini menjadi janda. Andi telah pergi menuju cinta, menuju kesejatian cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN