E N A M

1320 Kata
Calla terbangun dari tidur cantiknya saat merasakan seseorang mengecupi bahunya hingga kebelakang leher. Ia kemudian berbalik dan tersenyum ketika menemukan Adam disana. Pria itu berbaring miring dengan satu tangan menyangga kepala, sementara tangan lain digunakan untuk memeluk perut Calla. "Morning," Sapa Adam lalu mencuri satu ciuman dibibir Calla, melumatnya sejenak lalu menatap wanita di depannya itu. "Bangunlah, aku akan buatkan sarapan." Ia segera turun dari ranjang, mengabaikan ketelanjangannya dan masuk ke kamar mandi untuk sekedar membersihkan diri. Sementara Calla masih terduduk diatas ranjang dengan tangan menggenggam selimut yang melilit ditubuhnya. Ia mencebik kesal saat melihat keadaan kamarnya yang berantakan dengan baju-baju berserakan di sisi ranjang dan juga selimut yang kusut diujungnya. "Kenapa ekspresimu seperti itu?" Tanya Adam yang baru saja keluar dari kamr mandi. Pria itu mendekat, duduk disisi ranjang sambil mengeringkan belakang kepalanya dengan handuk. "Seharusnya aku yang tanya! Ada apa denganmu? Kau tidak pernah mabuk sebelumnya, tapi semalam kau mendatangiku dengan keadaan kacau." Tubuh Adam menegang. Ia kemudian menatap Calla dengan pandangan serius. "Ada hal yang ingin aku katakan padamu." "Tentang apa?" "Nanti aku ceritakan. Sekarang bersihkan dirimu lalu kita sarapan." Adam langsung berdiri dan keluar kamar tanpa menunggu balasan dari Calla, membuat Calla sedikit bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Adam? *** Selesai sarapan, Adam sudah mempersiapkan diri untuk memberitahu Calla apa yang terjadi dengannya. Jadi ketika Calla sedang sibuk membereskan piring bekas sarapan dan meletakannya diwastafel, Adam hanya duduk sambil mengawasi. Begitu Calla selesai meletakan piring kotor ke wastafel, wanita itu kembali duduk di depan Adam dengan tangan terlipat di meja. Ia menatap Adam, menunggu pria itu untuk bicara. "Jadi apa yang sebenarnya terjadi?” Adam kemudian menghela nafas panjang sambil menggenggam gelas di tangan, ia lalu membasahi bibirnya sebelum mengucapkan kata yang membuat Calla ikut terdiam. "Aku akan menikah." Calla menatap Adam dengan pandangan tak mengerti, berusaha mencari maksud ucapan pria itu dari matanya, tapi tidak ia temukan apa pun di sana selain tatapan menyesal. "Maksudmu apa, Dam?" "Ibuku memaksaku menikah dengan wanita pilihannya." Adam memilih untuk tidak menceritakan tentang kehamilan Brianna pada Calla, karena menurutnya itu tidak penting. Toh, ia juga tidak yakin jika itu anaknya. "Menikah?!” Calla menggeleng pelan dengan tatapan tak terbaca. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. “Lalu bagaimana denganku, Dam? Kau akan meninggalkanku begitu saja?" Adam menggeleng, ia menarik tangan Calla dan menggenggamnya erat. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Calla." "Tapi kau tetap akan menikah dengan wanita pilihan Ibumu?" "Aku tidak bisa menolaknya, Ibuku mengancamku." Calla menarik tangannya lalu memalingkan wajahnya. "Tinggalkan aku sendiri, Dam. Aku butuh waktu." "Tidak, Calla. Dengarkan aku dulu," Adam kemudian berjongkok di depan Calla, meminta wanita itu untuk menatapnya sebentar. "Aku memang akan menikah, tapi aku sama sekali tidak mencintai wanita itu, aku hanya mencintaimu." "Jadi kau ingin bagaimana? Kau ingin membuatku menjadi seorang selingkuhan?" "Bukan seperti itu. Aku hanya ingin kau tetap disisiku, Calla. Aku akan mencari cara agar bisa bercerai dari wanita itu, dan kita bisa kembali bersama." “Tapi, Dam. Aku–” “Aku mohon, Calla. Beri aku waktu.” Sela Adam sambil menatap kedua mata Calla bergantian. Calla tidak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak untuk memikirkan semuanya. Lalu ketika ia tatap mata Adam, Calla hanya bisa mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan memberimu waktu, Dam. Dan aku harap kau akan menepati ucapanmu itu.” Adam lantas tersenyum lega. Ia kemudian menangkup kedua pipi Calla dan mencium bibir wanita itu dengan senang. **** Keadaan Brianna sudah semakin membaik dari hari ke hari setelah dirawat selama 5 hari di rumah sakit. Meski sebenarnya ia merasa bosan karena tidak boleh melakukan apa pun termasuk turun dari ranjang, Brianna tetap menuruti ucapan Ella karena ini juga demi kebaikan janin dalam kandungannya. Jadi selama itu baik untuknya, Brianna sama sekali tidak keberatan. "Kau ingin sesuatu, Brianna?" Brianna menoleh, lalu menggeleng pelan pada Suster Mezty. "Tidak, Sus. Saya baru saja sarapan tadi." Ditambah lagi ia agak sedikit mual. "Kalau kau ingin sesuatu, tekan saja tombol di samping ranjangmu ya? Maka aku akan segera datang." "Iya. Terima kasih, Sus." Ucap Brianna menurut, meski sebenarnya ia tidak akan berani menekan tombol itu. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. "Sama-sama, kalau begitu aku permisi." Begitu Suster Mezty keluar, Brianna kembali berbaring miring menghadap ke jendela, menatap cerahnya langit hari ini. Biasanya jika cerah seperti ini Brianna pasti akan mengunjungi Ayahnya dan mengajaknya duduk di taman rumah sakit sambil mengobrol ringan. Tapi karena ia dirawat, Brianna jadi tidak bisa menjenguk Ayahnya. Untungnya Ryan sudah memberitahunya untuk tidak terlalu khawatir karena Ayahnya baik-baik saja. "Ayah harus cepat sembuh ya," Gumam Brianna pelan lalu menghapus setitik sir mata yang menetes dari matanya. Ia memeluk foto Ayahnya yang ada diponsel, mendekapnya seakan-akan itu adalah Ayahnya. "Brianna?" Sentuhan pelan pada bahunya menbuat Brianna segera menghapus cepat air matanya sebelum berbalik menghadap Ella yang kini menatapnya khawatir. "Kau baik-baik saja kan? Apa ada yang sakit?" "Saya baik-baik saja." Brianna memilih untuk bangun dan duduk menyender. "Lalu kenapa menangis?" Ella mengusap pelan lengan Brianna, menatap sedih wanita itu tampak memikirkan sesuatu. "Saya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja ingin menangis," Brianna menunjukan senyum hangatnya, memberi tahu Ella jika ia baik-baik saja. Ella ikut tersenyum lalu menggenggam jemari Brianna. "Jangan sungkan untuk bilang padaku jika ada yang sakit ya?" "I-iya." Jawab Brianna canggung. Rasanya ia masih belum terbiasa dengan semua ini. Tapi ia juga tidak mungkin menolak kebaikan Ella. "Oh iya, aku mau memberitahumu jika kau sudah boleh pulang hari ini. Dokter bilang setelah cairan infusmu habis, kau boleh keluar dari rumah sakit." Diam-diam Brianna merasa bersyukur ia akan segera pulang, jadi ia bisa kembali bekerja dan menjenguk Ayahnya lagi. "Terima kasih untuk semuanya...Mom." "Tidak usah berterima kasih, sudah seharusnya aku merawat calon menantuku." Ella tersenyum lebar, tapi saat melihat reaksi Brianna yang terdiam, senyumnya pun memudar. "Brianna, tentang pernikahan itu—" "Saya bersedia." Ucap Brianna pelan. Toh ia tidak punya pilihan lain. Ia juga tidak memiliki biaya untuk membesarkan janin dalam kandungannya. Jadi mau tidak mau Brianna harus menerima pernikahan ini. Lalu ketika anaknya lahir, Brianna bisa merasa tenang karena anaknya akan berada di keluarga yang berkecukupan dan menyayanginya. "Kau serius, Brianna?" Dengan kedua tangan terpaut diatas paha, Brianna mengangguk pelan. Tak lama kemudian ia merasakan Ella memeluknya. Wanita paruh baya itu terus mengucapkan terima kasih karena Brianna bersedia menerima pernikahan ini. **** Berdiri di lobby rumah sakit bersama Ella disebelahnya, Brianna merasa agak gugup karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan Adam. Terakhir kali bertemu dengan pria itu, Adam menatapnya dengan pandangan tidak suka. Dia bahkan menyebut Brianna sebagai p*****r. Rasanya masih sakit jika mengingat bagaimana tajamnya ucapan pria itu padanya. Seburuk itukah dia dimata Adam? "Itu Adam." Ucap Ella menyadarkan Brianna dari lamunan. Kemudian sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan mereka, kaca mobil yang diturunkan membuat Brianna bisa melihat sebagian wajah pria itu dari luar. Penampilan Adan yang rapi, sangat tidak sebanding dengan Briannaa yang hanya mengenakan celana jeans biasa dan juga kaos. Oh ya ampun! Brianna merasa tidak percaya diri sekarang. "Ayo, masuk." Ella membuka pintu belakang, menyuruh Brianna masuk lalu menyusul setelahnya. Mobil pun perlahan berjalan meninggalkan rumah sakit. Selama diperjalanan, hanya Ella yang mengisinya dengan obrolan ringan. Sementara Brianna hanya menanggapinya dengan senyuman hangat. Diam-diam, Adam yang tengah menyetir mobil kadang melirik Brianna melalui kaca di atas kepalanya dan berdecih pelan ketika melihat penampilan Brianna yang terkesan biasa saja. Rasanya Adam tidak percaya jika sebentar lagi ia akan menikahi wanita itu. Ya Tuhan! Kepala Adam rasanya ingin pecah, membayangkan ia pernah tidur bersama wanita itu membuat Adam sedikit mual. Ia lantas menepikan mobilnya dan turun dari mobil hanya untuk memuntahkan isi perutnya. "Adam ada apa?" Tanya Ella yang ikut turun karena khawatir dengan keadaan Putranya. "Kau sakit?" "Tidak tahu, Mom. Tiba-tiba saja mual." Ia membuang ludah lalu mengelap bibirnya dengan sapu tangan miliknya. Ella bernafas lega dengan senyum lebarnya. Ia mendekat lalu mengusap pelan punggung Adam. "Itu hal biasa yang dialami calon Ayah." Kening Adam berkerut. "Maksud, Mommy?" "Biasanya calon Ibu yang akan mengalami mual seperti itu, tapi tak jarang calon Ayah akan mengalaminya juga, seperti yang terjadi denganmu." Adam terdiam sejenak. Ia melirik pada mobilnya seakan menatap Brianna dari sana, meski sebenarnya ia tidak melihat apa pun karena kaca mobilnya yang hitam. Benak Adam mulai dipenuhi dengan tanya. Jika ia juga merasakan mual seperti yang dialami Ibu hamil, apa itu artinya bayi yang dikandung Brianna benar-benar darah dagingnya? Adam lantas menggeleng pelan. Itu tidak mungkin! Sepertinya ini hanya kebetulan saja. Ya, ini hanya kebetulan saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN