Pagi itu Brianna terbangun dari tidurnya karena terganggu dengan suara berisik yang berasal dari kamar mandi. Wanita itu lantas segera turun dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi dan berhenti di depannya. Tangannya yang sudah terangkat untuk mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak jadi ia lakukan ketika pintu sudah lebih dulu terbuka. Adam muncul dari sana dengan wajah lemas dan sedikit pucat, lalu berjalan melewati Brianna begitu saja.
Adam berdiri di tengah ruangan dengan ponsel ditelinga. Wajahnya terlihat kesal sekali, mungkin karena tidak mendapat jawaban dari seseorang yang ia telpon. Pria itu lantas berdecak sebelum melempar ponselnya ke sofa dan menyusul duduk di sana sambil menenangkan perutnya yang bergejolak sejak tadi. Ketika hendak berbaring di sofa, ia akhirnya menyadari jika Brianna masih berdiri di depan kamar mandi dengan tangan memilin baju tidur, sementara mata bulatnya itu menatap Adam.
"Apa yang kau lihat?" Tanya Adam dengan kening berkerut dalam. Entah kenapa ia merasa kesal melihat Brianna yang hanya diam saja sejak tadi. Sial! Kenapa ia jadi sensitif seperti ini?!
"Um...kau baik-baik saja?" dengan langkah ragu, Brianna pun mendekat dan berdiri di samping sofa dengan jarak dua langkah.
"Apa menurutmu aku terlihat baik-baik saja?" Adam mendengus sebelum memilih berbaring menghadap pada sofa dan memejamkan matanya.
Brianna berdiri diam di tempatnya, mendadak bingung harus melakukan apa. Jadi dari pada terlihat bodoh, ia lantas memilih masuk kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
***
Usai mandi dan berganti pakaian, Brianna melongokan kepalanya ke kamar guna mencari keberadaan Adam. Tapi ternyata pria itu tidak ada di mana-mana, padahal sebelumnya Adam tertidur di sofa. Brianna kemudian melangkah keluar, duduk di depan meja rias yang entah sejak kapan penuh dengan peralatan make up mahal dan mewah.
Brianna pun mencoba membuka salah satu make up itu, mencium aromanya yang terasa segar lalu memakaikannya ke wajah sedikit demi sedikit. Meski tidak terlalu pandai berdandan, setidaknya Brianna merasa sedikit bangga memakai make up itu walaupun hasilnya tidak membuat wajahnya berubah jadi cantik seperti wanita kebanyakan. Kadang Brianna iri dengan wanita diluar sana yang bisa dengan lihai memakai make up, tidak seperti dirinya yang bahkan memakai eyeliner saja tidak bisa.
Setelah selesai mengoleskan lipstik dibibirnya, Brianna lantas tersenyum tipis ketika melihat pantulan dirinya yang terlihat lebih segar, tidak sepucat tadi. Ia kemudian merapikan semuanya sambil sesekali menatap pantulan dirinya yang terlihat lebih berisi dari beberapa hari yang lalu. Ini semua juga berkat Ella yang selalu memaksanya untuk terus makan agar kandungannya sehat. Dan Brianna merasa sangat berterima kasih sekali, karena meski Adam tidak bisa menerima kehadirannya, masih ada Ella dan Mark yang mau menerimanya.
Ketukan pelan pada pintu kamar membuat Brianna tersadar dan segera berjalan ke arah pintu. Ketika menemukan Ella berdiri di sana dengan senyum hangatnya, mau tak mau Brianna jadi ikut tersenyum, apa lagi saat Ella memeluknya singkat dan mengajaknya turun ke restoran untuk sarapan.
Para tamu undangan yang juga menginap di hotel ini tampak menyambut Brianna dengan hangat. Beberapa dari tamu itu merupakan keluarga besar Adam, mereka semua mengucapkan selamat atas pernikahannya bersama Adam disertai pelukan hangat dan sedikit nasihat. Brianna hanya membalasnya dengan senyuman sopan. Lalu pandangannya terhenti pada Adam yang duduk diam diujung meja dengan tatapan tajamnya.
Pria itu tampak tidak suka melihat Brianna yang tampak begitu akrab dengan keluarganya meski baru saja saling mengenal. Apa lagi saat Brianna dengan polosnya tersenyum sambil mengucapkan terima kasihnya. Adam seketika mendengus sebelum mengalihkan pandangan untuk membalas pesan dari Calla yang baru saja masuk ke ponselnya.
***
Bediri canggung di depan rumah asing bersama Ella di sebelahnya, Brianna hanya bisa menurut ketika digandeng begitu saja untuk memasuki rumah yang tak kalah mewah dari rumah keluarga Chaiden waktu itu. Berada di ruang tamunya, Brianna mengedarkan pandangannya menatap setiap sudut rumah yang dihiasi oleh perabotan mewah dan indah—yang lagi-lagi membuat Brianna begitu terkagum.
"Kau suka dengan rumahnya, Bri?" Tanya Ella disertai senyuman hangatnya.
"I-iya, Mom." jawab Brianna gugup. Bagaimana bisa ia tidak menyukainya, jika setiap sudut dari rumah terlihat begitu cantik? Brianna bahkan menemukan foto pernikahannya yang entah sejak kapan sudah terpajang di ruang tamu. Difoto itu Brianna terlihat begitu cantik, meskipun Adam memasang wajah cemberutnya. Tapi tidak apa-apa, karena Brianna tahu jika pernikahan ini tidak akan—
"Nah, Brianna. Mulai sekarang, ini akan menjadi rumahmu dan Adam. Rumah ini adalah kado pernikahan dariku dan Mark."
Brianna seketika menoleh cepat dengan mata yang sedikit terbelalak. Demi Tuhan! Bagaimana bisa orang-orang ini memberikan rumah mewah untuk kado pernikahan?! Brianna benar-benar tidak habis pikir dengan cara berpikir orang kaya.
"Di sini sudah ada Eva sebagai kepala pelayan," Ella menunjuk seorang wanita paruh baya yang berdiri di pinggir ruangan. "Dan juga Pablo sebagai kepala keaman di sini." Lalu ganti menunjuk pria berbadan tegap yang berdiri di depan pintu masuk. Pria itu tampak menunduk hormat pada Ella. "Jika kau ingin keluar rumah, kau bisa meminta Adam untuk mengantarmu. Atau jika Adam sibuk, kau bisa meminta antar Pablo."
Brianna terdiam, memikirkan semua hal yang disiapkan Ella untuknya. Ia sebenarnya merasa keberatan dengan apa yang disiapkan Ella untuknya. Brianna merasa ini semua sia-sia karena pada akhirnya ia akan segera pergi dari sini. "Ap-apa ini...tidak terlalu berlebihan, Mom?"
“Berlebihan?” Ella tersenyum tipis. “Ini sama sekali tidak berlebihan, sayang. Hal ini sudah biasa di keluarga kami, Bri. Tidak perlu merasa canggung atau pun takut ya?"
Pada akhirnya Brianna lagi-lagi hanya bisa mengangguk karena tidak bisa menolak.
"Ayo, kita lihat kamarmu dan Adam." Lagi, Ella menggandeng Brianna yang hanya bisa diam, mengajaknya ke kamar yang sudah ia dekor senyaman dan seaman mungkin agar Brianna merasa nyaman di sana.
Sampai di kamar, Brianna semakin merasa tidak enak hati lantaran Ella yang sudah menyiapkan semuanya dengan baik. Bahkan Brianna melihat ada ranjang bayi di samping ranjang tidurnya.
Brianna lantas berjalan menyusuri kamar yang didominasi warna biru laut itu, menatap semua interior mewah dengan perasaan bersalah. Dan ia semakin ingin menangis saat tangannya menyentuh ranjang bayi. Ya Tuhan! Kenapa rasanya sakit sekali, membayangkan jika nantinya ia tidak akan bisa melihat bayinya tertidur di ranjang bayi itu.
“Brianna?” Sentuhan dan panggilan pelan dari Ella, memaksa Brianna untuk segera mengerjap pelan dan menunjukan senyumannya.
“Ya, Mom?”
“Kau baik-baik saja ‘kan?” tanya Ella khawatir. Apa lagi ketika melihat kedua mata Brianna yang sedikit merah.
“Aku baik-baik saja, Mom. Aku hanya merasa terlalu senang.”
Ella lantas menunjukan senyum hangatnya. “Syukurlah jika kau senang. Tadinya aku pikir—”
Ucapan Ella terpotong ketika ponselnya berbunyi, ia lantas segera memgeluarkan ponsel dari dalam tas untuk melihat siapa yang menelpon. Dan ternyata itu dari Mark.
“Brianna aku keluar sebentar untuk menjawab telpon. Kau tunggu di sini dulu ya.”
“Ah iya, Mom.” ucap Brianna sebelum Ella keluar dari kamar.
Setelah itu Brianna pun memilih untuk melihat isi kamar. Ia lantas berjalan menuju salah satu ruangan di kamar itu, dan menemukan walk in closet yang ternyata sudah terisi dengan pakaian, tas dan juga sepatu mewah yang bahkan tidak berani Brianna bayangkan harganya. Cepat-cepat ia pun keluar dari sana dan berjalan pelan menuju balkon kamar yang sejak tadi mencuri perhatiannya.
Perlahan Brianna membuka pintu balkon kamar dan langsung takjub kolam renang dan juga taman bunga tulip yang ada di bawah sana. Bahkan udara yang berhembus mengenai wajahnya, membuat Brianna otomatis memejamkan matanya disertai senyuman tipis.
"Ekhem!"
Deheman keras tepat di belakang tubuhnya itu sontak membuat Brianna membuka matanya dan sedikit terkejut menemukan Adam bersandar di pintu balkon. "Ad-Adam?"
Adam mengangkat satu alisnya sebelum melangkah mendekat dan berdiri disebelah Brianna. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“H-hanya melihat taman bunga.” ucap Brianna pelan.
Adam hanya mengangguk-angguk pelan, kemudian memberikan sebuah map kepada Briann.
“Ini apa?” tanya Brianna bingung, namun tetap menerima map yang diberikan oleh Adam itu.
“Bacalah. Setelah itu tanda tangani.”
Akhirnya tanpa bertanya lagi, Brianna pun membuka map itu, lalu membaca isinya dengan kening berkerut. Ternyata itu adalah surat perjanjian yang dibuat oleh Adam. Pria itu hanya memberikan dua syarat saja, yang pertama untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing, sementara perjanjian yang kedua...adalah berpisah setelah bayi dikandungan Brianna lahir.
“Sudah kau baca ‘kan? Kalau begitu cepat kau tanda tangani.” ucap Adam tak berperasaan. Pria itu bahkan tidak tahu jika Brianna mati-matian menahan tangisannya.
“Ap-apa setelah bayinya lahir, aku tetap boleh menemuinya?” tanya Brianna pelan. Ia kemudian menerima pulpen yang diberikan Adam, lalu mulai menuliskan tanda tangannya dengan perasaan ragu.
“Lihat saja nanti.” Ucap Adam, lalu setelah itu ia mengambil kembali surat perjanjian itu dengan senyuman miring. Dan tanpa mengucapkan apa-apa, pria itu langsung keluar kamar begitu saja.
Sedangkan Brianna hanya bisa terdiam sambil menghapus air matanya yang menetes