Tidur nyenyak Anya terganggu. Lagi dan lagi. Bukan karena mimpi seram yang mengejarnya dalam kelam. Melainkan karena suara berisik yang berasal dari ponsel yang ia letakkan begitu saja di atas nakas sebelah tempat tidur.
Mencoba abai pada menit-menit awal, telinga Anya kembali berdengung ketika benda pipih itu kembali menjerit minta perhatian. Siapapun pemanggil di seberang sana, Anya benar-benar ingin mengutuknya sekarang juga. Gadis itu baru berhasil memejamkan mata beberapa jam lalu, lalu sekarang harus kembali terganggu dengan panggilan sialan itu.
"Sat!! siapa sih pagi-pagi gini? Nggak tau orang ngantuk apa?!" omel Anya seorang diri setelah memastikan waktu.
Umpatan tadi memang tepat untuk siapapun yang sedang menghubunginya. Masih pukul empat dini hari, waktu yang melenakan untuk berpelukan dengan alam mimpi. Siapapun di seberang sana, jika saja apa yang akan ia bicarakan bukanlah hal penting. Anya akan mengutuknya seumur hidup.
Masih terpejam malas, Anya menempelkan ponsel di telinga.
"Siapa?"
"Anyaaaa, ayangku cintaku. Sudah bangun, hmm??" pekik suara tak asing mengalun dari ujung sana. Anya sangat hapal siapa pemilik suara itu. The one and only, Reno.
"s**t!! Astaga Reno, lo tau kan ini jam berapa?"
"Hmmm, jam empat maybe? Atau lima ya? Entahlah, semua sama aja. Karena semua waktuku habis buat mikirin kamu," balas Reno tak jauh dari tebakan Anya. Melantur semua.
"Dan elo ganggu jam tidur gue, sialan!"
"Ssstthh... language baby." Reno mengingatkan. "Elo di mana, An?"
"Di Pluto!" geram Anya kembali menyamankan posisi tidurnya.
"Gue serius, Sayang." Reno berdecak pelan.
"Tapi gue nggak mau elo seriusin."
Tergelak gelak tawa kecil dari seberang sana. Dalam sekejap saja Anya sudah bisa membayangkan wajah tengil Reno yang sedang menahan gelak tawa.
"Elo di mana?"
"Gue kan udah bilang kalau gue ada kerjaan di Bali selama tiga atau empat hari," gertak Anya mengingatkan.
"Maksud gue, di Bali, elo stay di mana, hotel mana, Dindaku Sayang? Mau gue samper—"
Percuma mengelak dari atasannya ini. Jadi Anya memilih langsung memotong singkat saja. "The Trans Trinity Hotel, Celebrity suite tiga. Udah kan? Bye.. gue lanjut tidur," pungkas Anya langsung memutus panggilan dan kembali menutupi wajah dengan bantal. Berharap bisa menjemput tidur lagi sebelum Reno atau siapa aja kembali mengusik ketenangannya.
Entah sudah berapa jam berlalu sejak Anya berhasil memeluk mimpi indahnya. Kali ini ia terbangun bukan karena deringan ponsel yang memekakkan telinga. Karena benda pipih itu sengaja ia senyapkan sejak subuh tadi. Namun, penyebab telinganya berdengung kali ini adalah suara tak asing dari atasannya, yang secara ajaib sudah menjajah kamar hotelnya.
“Anya ayang, bangun dong princess!” Suara Reno kembali memenuhi ruangan. Tak hanya membangunkan Anya dengan panggilan, pria jangkung itu juga menyipratkan air dari telapak tangannya yang basah.
“An—”
“Haduh berisik!!” gerutu Anya akhirnya bangun dan menegakkan duduknya di tengah tempat tidur.
“Makanya bangun dul—”
“Ini gue udah bangun gara-gara suara cempreng lo, Pak Boss!!” gertak Anya sambil mengusap kedua matanya yang masih berat untuk terbuka.
“Eh … bentar deh,” sambung Anya memicingkan mata penuh curiga. “Elo kok di Bali juga? Terus kok bisa masuk kamar gue sih, Ren? Waaah pelanggaran privasi nih. Gue laporin manager hotel lo ya, gue bikin viral lo ya!” Anya mengulurkan tangan untuk mengancam atasannya yang kini duduk di sofa panjang dekat jendela.
Pria yang ditanya gadis itu malah dengan santainya terkekeh pelan sebelum menanggapi rasa penasaran Anya. “Laporin aja sono, gue seneng keributan kok!” tantang Reno balik seraya mengendikkan dagu.
“Gue serius Reno!!”
“Gue juga serius, Anya!” balas Reno lantas bangkit berdiri hanya untuk menarik pergelangan Anya agar gadis itu beranjak dari tempat tidur dan ikut duduk di sofa sebelahnya.
“Gue masih ngantuk!” protes Anya mengibaskan tangan Reno dari pergelangan tangannya.
“Pamali anak perawan bangun siang, ini udah jam sembilan lebih, An.” Tak peduli dengan gerutuan Anya, Reno kembali menarik lengan Anya hingga gadis itu terduduk malas di sofa. “Sarapan dulu hayuk, temenin gue.”
Anya berdecak sekali. “Bawel! Elo tadi belum jawab pertanyaan gue. Gimana caranya elo bisa masuk kamar gue, hah?”
“Gampil banget dong, Reno gitu loh!” Reno menepuk dadanya bangga. Namun sedetik kemudian ia justru meringis karena Anya sudah melabuhkan cubitan kecil di lengan atas pria parlente itu.
“Duuuh, sakit, An!” keluhnya mengusap bekas cubitan Anya yang terasa memanas.
“Makanya jawab yang bener!”
“Manager hotel ini kan, adik iparnya Renata. Gue tinggal bilang kalau calon istri gue ngambek terus kabur dari gue. Dan, taraaaa … Im here baby,” jawab Reno santai sambil mengerlingkan sebelah mata.
“Diih, kampret banget alasannya pake bilang calon istri segala!” dengkus Anya lantas menaikkan kedua kakinya unutk bersila di atas sofa. Reno dan segala pikiran super anehnya selalu saja bisa membuat Anya menggelengkan kepala keheranan.
“Amiin, gitu dong, An. Kenapa malah dikampret-kampretin sih doa gue.”
Meski mencebik sebal, Reno tetap dengan tenang membuka satu persatu piring berisi sarapan mewah yang ia pesan dari restoran hotel. Walaupun terkesan cablak dan menyebalkan, Reno tetaplah Reno, sahabat sekaligus atasan Anya yang selalu memberikan perhatian penuh padanya.
“Doa yang bener makanya, biar gue aminin.” Masih mencoba mengumpulkan nyawa, Anya mengumpulkan rambutnya dalam satu genggaman lantas mengikatnya tinggi membentuk cepolan di atas cepolan. “Gue, cuci muka dulu deh biar sadar,” ucapnya lantas bangkit menuju wastafel di kamar mandi.
Anya sengaja berlama-lama saat mencuci muka. Bayangan semalam saat ia melihat dengan mata kepala langsung bagaimana kemesraan sang ayah dan Yosa masih saja menari-nari dalam benaknya. Menjijikkan! Bahkan tidur sepanjang malam belum bisa menghapus bayangan itu. Katakanlah Anya cemburu karena sikap sang ayah yang dulu begitu ia cintai dan kagumi ternyata bertolak belakang, mungkin memang seperti itu. Tapi sekarang, rasa cemburu itu sudah beralih menjadi sakit hati yang harus segera ia tuntaskan dengan cara membalas dendam pada sepasang sejoli itu.
“An, nih gue pesenin Grilled tasmanian salmon, elo nggak begitu suka ayam kan? makanya gue pesenin salmon," seru Reno begitu melihat Anya sudah kembali dengan wajah segar setelah mencuci muka.
"Thanks a lot, Ren," balas Anya mulai tergugah dengan beberapa menu mewah yabg tersaji rapi di mejanya. Mulai dari sepiring potongan semangka, dua gelas capucino, dua porsi prawn curry, dua porsi sushi juga Yang Zhao fried rice yang berada tepat di depan Reno.
"Cuma thanks aja nih?"
Anya menaikkan satu alisnya menatap Reno. "Terus elo mintanya apa Pak Reno bin Haji Lukito?"
"Hatimu doong, Revanya Yeslyn binti Ruben Subrata," balas Reno lantas tergelak kencana.
Mendengar nama sang ayah disebut, langsung berubah datarlah wajah Anya. Binar yang tadi nampak karena rasa lapar, kini kembali redup karena ketidaktahuan Reno.
“Ckk, nggak usah sebut-sebut nama dia deh?”
“Siapa?” tanya Reno sambil mengunyah nasi gorengnya.
“Ruban Ruben tuh, alergi telinga gue. Langsung panas!” Anya mencebikkan bibir bawahnya.
“Bokap kandung lo sendiri, An. Jangan jadi anak durha—”
“Iya tau.. tau, pak uztad. Nggak usah ceramah pagi-pagi deh!”
Melihat raut wajah kesal Anya, Reno paham kalau gadis itu benar-benar serius sedang tak ingin mendengar nama sang ayah. Reno tahu benar alasan kenapa Anya begitu benci dengan ayahnya sendiri, tapi itupun sebatas tahu karena hancurnya rumah tangga kedua orang tuanya. Masalah sepak terjang Ruben dengan banyak wanita muda tentu saja Reno tak mengetahuinya secara detail sampai sana.
“Hmmm, by the way, An. Elo jadi ambil kerjaan dari si Seno Seno itu ya?” Reno mengalihkan pembicaraan di tengah-tengah acara sarapan kesiangan mereka berdua.
Anya mengangguk pelan karena masih fokus memotong salmon yang rasanya begitu cocok di lidahnya. “Sayang kalau nggak diambil Ren, tangkapan besar. Lagian gue pernah bilang kan, gue ambil pekerjaan stalker dari Seno ini buat terakhir kalinya, sebelum gue fokus bawa nyokap ke Singapura buat berobat.”
Reno mengangguk berkali-kali, ia kembali ingat bagaimana ibu Anya yang mengalami depresi perlahan-lahan bangkit dari keterpurukan. Meski beberapa tahun belakangan ini kondisinya semakin membaik, sebagai anak yang berbakti, Anya tetap ingin memastikan kesembuhan beliau hingga 100% dengan cara membawa sang ibu ke Singapura sesuai dengan rekomendasi terapis sebelumnya.
“Dan pekerjaan itu yang sekarang sedang elo kejar sampai Bali?”
Anya mengangguk lagi.
“Emangnya Seno minta elo nguntit siapa sih? Yosa bukan?” tebak Reno membuat Anya menegakkan kepala demi menatap lurus ke arah Reno.
“Kalo elo diem, berarti jawabannya ‘iya’,” sambung Reno karena tak mendengar jawaban Anya.
“Kok tau?” Anya akhirnya bersuara setelah menghembuskan napas panjang.
“Gue lihat ada banner gede yang masang foto Yosa di lobby hotel, jadi kayaknya bukan kebetulan juga kalau elo milih menginap di hotel yang sama dengan calon tunangan Seno itu.” Reno menjelaskan lebih rinci lagi.
Anya tersenyum miring meremehkan. “Calon tunangan kampret juga, bentar lagi juga jadi mantan,” lirih Anya tanpa sadar mengepalkan tangan. Hatinya kembali dibuat dongkol saat mendengar nama Yosa, perempuan yang ternyata satu frekuensi dengan ayahnya. Sama-sama pengkhianat pasangan.
“Maksudnya?”
***