12 – Tinggal Menunggu Waktu

1415 Kata
"Anak cantiknya papa, duuuh cantiknya makin berlipat kalau pakai seragam baru gini. Beneran udah jadi anak gadis." Ruben Subrata memeluk tubuh kecil Anya remaja sambil menggoyangkannya ke kanan dan kiri. Nampak begitu menyayangi putri ketiganya ini. Iya, meskipun Anya adalah anak pertama Ruben dari Endang, gadis yang beranjak remaja itu adalah putri ketiga Ruben jika dihitung dari semua anak kandungnya. Karena dari istri pertama, Ruben sudah memiliki dua putra nan tampan rupawan. Affan dan Dimas. Anya yang saat itu belum mengerti konsep keluarga besarnya yang menganut poligami, tak terlalu ambil pusing dengan silsilah pohon keluarganya. Karena yang ia pahami hanya, betapa beruntungnya ia lantaran memiliki keluarga luar biasa. Seorang ayah, dua orang ibu, juga dua orang abang yang sama-sama menyayanginya. "Cantik dong, kan anak Papa Ruben," sahut Anya tertawa lebar saat mengurai pelukannya dari sang ayah. "Papa baru datang? Nanti malam nginep sini kan? Aku dibawain oleh-oleh apa dari India?" rentetan pertanyaan dari Anya membuat Ruben tergelak. Lantas mencubit pipi kemerahan putrinha dengan gemas. "Papa udah datang dari semalem, pas kamu udah tidur. Iya nanti malam papa nginap sini kok sampai tiga hari ke depan. Kan kangen sama kamu." Ruben merangkul putrinya ke arah meja makan. Duduk bersebelahan seraya menunggu sabar Endang dan asisten rumah tangganya menyiapkan sarapan. "Kalau kangen mana oleh-olehnya?" Anya mengulurkan kedua tangannya. "Ada, masih belum dibongkar di kamar mama. Nanti buka sama-sama bareng mama ya, kamu pasti suka hadiah dari papa," jawab Ruben mengusap pelan rambut panjang berwarna hitam legam milik putrinya. Anya kembali menyunggingkan senyum lebar. Merasa begitu bersyukur karena memiliki ayah yang begitu ia sayang dan banggakan pada semua orang. "Terima kasih banyak, Papa. I love you to the moon and back," ungkap remaja cantik yang baru saja merasakan bangku putih biru itu. Kecupan manis ia sarangkan pada kedua sisi pipi sang ayah, demi menunjukkan betapa ia menyayangi pria tersebut. "Sama-sama, Sayang. I love you to the moon and never back," balas Ruben lantas mengecup puncak kepala sang putri. Sayangnya itu dulu, bertahun-tahun silam sebelum mata dan hati Anya terbuka dan menyadari betapa bobroknya sifat asli sang ayah. Pengkhiatan demi pengkhiatan, lari dari satu perselingkuhan ke perselingkuhan yang lain, b******u dengan wanita cantik yang satu lantas tak lama kemudian berpindah ke wanita yang lain. Yaa ... seliar itulah Ruben di balik topeng ayah kesayangan Anya. Lalu begitu Anya menyadari hal tersebut, rasa sayang, cinta juga peluk bangganya lesap begitu saja. Semua doa dan puja yang pernah ia timbun untuk pria berkharisma yang ia panggil 'papa' menguap sudah. Apalagi rasa percaya, Anya sudah tak mengenal kata itu dalam kamus hidupnya sejak sang ayah terang-terangan murka pada sang ibu lantaran memilih berpisah dari pada harus bertahan dalam sangkar bernama derita rumah tangga. "Dasar tua bangka b*****t!!!" geram Anya tertahan dengan tangan terkepal kuat di atas meja. Mengumpulkan lagi tenaga yang sempat lunglai karena keterkejutan tadi, Anya mulai mengatur napasnya satu-satu. Gadis itu kembali memakai sweater cokelat muda yang tadi ia sampirkan asal di sandaran kursi. Dengan tangan masih bergetar ia utak-atik lagi kamera kesayangannya. Mengatur jarak hingga cahaya karena ia akan mulai membidik pasangan memuakkan itu dari kejauhan. Anya tetaplah seorang Anya, yang akan menomorsatukan pekerjaannya. Apalagi untuk targetnya kali ini ia sudah menerima separuh p********n yang nominalnya tak main-main. Jadi setelah selesai mengatur kameranya sedemikian rupa, ia segera menghabiskan Hawaiian Pizza yang sedari tadi tersaji di depannya. Meskipun sudah tak berselera, Anya sadar ia tetap harus mengisi perutnya yang sedari siang ia biarkan kosong tanpa diisi. Dengan mata berpendar merah menahan amarah, Anya berpindah tempat duduk di mana ia bisa mendapatkan angle foto terbaik untuk bidikan besarnya malam ini. Bidikan yang mendadak saja akan ia gunakan untuk menghancurkan karir besar Ruben, ayahnya sendiri. Biarlah sudah jika banyak yang mengira Anya tega pada ayah kandungnya sendiri. Padahal ayahnya sendiri yang tanpa sadar sudah menurunkan sikap ‘raja tega’ itu padanya. “Hancur kau Ruben, hancur!!” desis Anya sambil menaikkan lagi masker wajahnya. Lensa kamera sudah ia dekatkan di depan mata. “Kau juga Yosa, kau akan menerima karmamu karena tak setia pada kekasih kayamu,” sambungnya lagi sembari menahan lelehan air mata yang mulai mendesak keluar dari netra beningnya. Ternyata sesakit ini rasanya ketika mengetahui pria yang menjadi cinta pertamanya membagi kasih dengan perempuan lain. Mendadak saja muncul rasa salut di hati Anya untuk Bunda Leni (istri pertama Ruben), juga iba pada ibu kandungnya sendiri. Karena dua perempuan hebat itu begitu kuat menghadapi sikap Ruben Subrata. Sambil bersembunyi si balik pilar besar restoran, gadis itu mulai mengambil banyak gambar yang menunjukkan kemesraan sepasang insan beda usia yang tengah dimabuk asmara itu. Anya sangat yakin keduanya memang sedang dimabuk asmara. Kedekatan antara Yosa dan Ruben bukan kedekatan biasa yang terjalin antara seorang pemilik agency dengan modelnya sendiri. Keintiman juga kemesraan mereka selama makan malam benar-benar menunjukkan adanya jalinan asmara. Apalagi ketika beberapa kali Anya hampir muntah ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Ruben mengecup mesra pipi dan leher jenjang Yosa. *** Anya sengaja berlama-lama berendam dalam bath up kamar hotelnya. Ditemani banyak lilin aromatherapy, niatnya melepas penat setelah ditampar kenyataan pahit tentang kelakukan ayah durjananya. Namun apa daya, suara dari ponselnya sedari tadi melengking meminta perhatian penuh darinya. Anya masih malas untuk merespon, karena ia tahu siapa pemanggil di balik suara berisik itu. Siapa lagi kalau bukan Senopati, client yang rajin sekali mengiriminya puluhan pesan sejak siang tadi. Melangkah malas setelah mengenakan bathrobe, Anya tak tahan juga untuk membungkam ponselnya yang begitu berisik malam ini. “Apaan!!” sentak Anya tanpa beramah tamah pada penelponnya di ujung sana. Tak peduli jika Senopati, client cerewetnya ini akan terkejut dengan pekikan suaranya. Kepala Anya terlalu pening malam ini, jadi ia tak punya tenaga untuk berbasa-basi dengan nada lembut pada siapapun. “Astagfirullah, i- ini Reva kan?” Di seberang sana, Seno menarik ponselnya sesaat demi memastikan ia tak salah menekan nomor di daftar kontaknya. Suaranya memang mirip, tapi kenapa gertakannya seperti bukan seorang Reva yang ia tau sebagai pribadi yang dingin dan lebih banyak diam. “Ya siapa lagi? situ tadi nekan nomor saya kan?” Memejam sejenak, akhirnya Anya mulai bisa mengendalikan nada bicaranya. “Ahh, iya iya … maaf. Saya ganggu kegiatan kamu ya?” kembali suara Seno yang mengalun di telinga Anya. “Ya iyalah, saya ke Bali buat ngerjain tugas dari Mas Seno kan?!” “Oke, oke. Sekali lagi, maaf.” terdengar hempusan napas panjang dari seberang saja. Seno memang sedikit menyesal karena mengganggu Anya, tapi di sisi lain ia juga ingin tersenyum sepanjang malam karena bisa mendengar suara Anya. Aarrghh, sebenarnya apa yang terjadi pada hatinya belakangan ini? Kenapa selalu saja otaknya dipenuhi oleh sosok Anya, padahal jelas-jelas gadis itu hanyalah orang asing yang baru ia kenal lantaran pekerjaan singkat semata. “Ada apa Mas Seno nelpon malam-malam?” tanya Anya setelah memicingkan mata demi menatap jelas waktu yang diproyeksikan jam dinding di depan sana. Gadis itu memilih duduk di tepian ranjang dari pada kakinya pegal jika harus berdiri terlalu lama. “Anu, itu.. yang tadi siang. Apa maksudnya kamu nanyain Yosa punya ayah sambung atau ayah angkat?” Anya menghembuskan napas kasar. Pesan-pesan dari Seno memang tak ada yang ia balas. Jadi karena itulah pemuda tampan itu akhirnya memutuskan untuk menghubungi Anya secara langsung. “Nggak kenapa-kenapa, hanya ingin mencocokkan sesuatu.” “Sesuatu apa?” kejar Seno terus saja penasaran. Penasaran sekaligus ingin memperpanjang perbincangannya dengan Anya sebenarnya. Anya memutar bola matanya menatap langit-langit kamar. Llau merebahkan kepala peningnya ke atas bantal empuk di pinggir tempat tidur. “Sesuatu yang berkaitan dengan apa yang saya dapatkan hari ini terkait calon tunangan Mas Seno tentu saja.” “Kenapa lagi Yosa? gimana dengan hasil hari ini?” Anya berdecak pelan. Tuh kan… Seno ini setaksabaran itu ternyata. “Masih saya kumpulkan, biar lebih pasti dan nggak setengah-setengah. Tolong sabar sebentar saja,” jawab Anya sekenanya sambil memijat pelipis. Gadis itu mengulurkan tangan ke atas nakas demi meraih kameranya. Sambil merebahkan diri dengan posisi miring ia kembali membuka hasil jepretannya tadi. Anya sengaja mengambil foto dari sisi belakang Ruben, sehingga hasilnya tentu saja tak menampilkan wajah ayahnya secara gamblang. Belum saatnya. Nanti, Anya akan mencari momen yang paling krusial untuk membidik ayahnya secara langsung. Jika hanya berbekal foto makan malam seperti ini, tentulah Ruben dan Yosa masih bisa mengelak dengan mudah. Jadi sekarang Anya hanya bisa bersabar sampai saat itu tiba. Saat di mana ia akan memergoki Ruben dengan wanita barunya, dan akan Anya kemas sedemikian rupa agar menjadi skandal memalukan sepanjang tahun. Skandal yang ia harapkan akan menjadi titik jatuhnya seorang Ruben Subrata. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN