Anya kembali mencocokkan jadwalnya pekerjaannya dengan jadwal kegiatan Yosa selama model cantik itu menjadi targetnya. Menurut agenda yang ia terima dari Seno, hari ini Yosa terbang akan ke pulau dewata untuk melakukan syuting iklan salah satu produk kecantikan ternama yang sedang naik daun di tanah air. Anya sudah memastikan hal tersebut beberapa kali, karena itulah ia juga sudah mengantongi tiket pesawat serta penginapan di pulau eksotis tersebut.
"Makan yang banyak, Anya cantik." Endang mengangsurkan lagi piring berizi gyoza ayam jamur ke hadapan sang putri.
"Nanti aku gendut bisa berabe, Ma. Gak muat dong kebaya-kebaya aku," kelakar Anya namun tak kuasa untuk menolak semua menu yang sudah dimasakkan sang ibu.
Endang terkekeh pelan melihat ekspresi sang putri yang dibuat-buat menderita. Pekerjaan Anya sebagai pembawa acara pernikahan memang mengharuskan gadis itu untuk sering menggunakan kebaya atau gaun yang sesuai tema pernikahan. Maka dari itu ia juga sangat mafhum jika putri tunggalnya selalu menjaga pola makan untuk tetap mempertahankan bentuk tubuh idealnya.
"Nambah satu atau dua potong gyoza nggak akan bikin perut kamu buncit, An," seru Endang kini mengangsurkan teh dingin yang tadi sudah disiapkan oleh asisten rumah tangganya.
Anya hanya mengangguk-anggukan kepala tak ingin menolak semua perhatian sang ibu. Setelah melewati masa-masa depresi sang ibu sangat menyiksa, mendapat perhatian seperti ini merupakan anugerah yang begitu disyukuri oleh Anya.
"Memangnya berapa hari acara di Bali?" sambung Endang setelah memastikan sang putri menghabiskan makanan dan minumannya.
"Dua tiga hari aja, Ma. Kalau acaranya udah selesai aku langsung balik kok, Mama mau nitip oleh-oleh?"
Endang memberi gelengan pelan sebagai jawaban. "Mama cuma nggak tega lihat kesibukan kamu yang padet gini, An. Kapan hari habis begadangin skripsi, eh sekarang harus ke Bali karena ngemsi, padahal sekarang akhir pekan."
Inilah salah satu alasan yang selalu membuat Anya merasa bersalah tatkala sedang menjalankan pekerjaannya sebagai stalker. Gadis cantik itu mau tak mau harus menutupi satu kebohongan dengan kebohongan yang lain pada ibunya. Seperti saat ini, saat ia akan menguntit Yosa hingga ke luar kota, Anya harus memutar otak untuk memberi rentetan alasan masuk akal pada sang ibu. Dan tentu saja pekerjaannya sebagai pembawa acara pernikahan yang ia jadikan tameng utama.
"Ma," Anya menepuk sekilas punggung tangan sang ibu setelah menenggak habis minumannya. "Aku happy banget jalanin kerjaan aku ini. Toh nggak kerja berat banget, cuma modal cuap-cuap aja terus dapet cuan."
Endang menghembuskan napas panjang tak bisa mengelak alasan sang putri. "Ya sudahlah kalau begitu, buruan minum vitaminnya terus berangkat sebelum jalanan makin macet."
"Siap, aku manasin mobil dulu." Anya bangkit lantas berlalu lewat pintu samping.
"Kenapa nggak naik taksi online aja sih, Cantik?" pekik Endang membuntuti langkah Anya hanya sampai dapur.
"Lelet mereka, Ma. Mending aku nyetir sendiri lebih satset," balas Anya terdengar setengah berteriak dari garasi rumahnya.
Tak butuh waktu lama bagi Anya untuk berpamitan pada sang ibu dan menenangkan kekhawatirannya setiap kali gadis itu keluar kota. Di sepanjang perjalanan, Anya sudah menentukan titik-titik mana saja yang akan ia ambil untuk membuntuti Yosa.
Sampai di ruang tunggu bandara, ternyata Anya tak mengalami kesulitan sama sekali untuk menemukan jejak Yosa. Berjarak beberapa meter di depannya, sepasang kekasih sedang berangkulan sebelum nantinya akan berpisah sementara. Siapa lagi kalau bukan Yosa dan Senopati?
Semalam, Seno sendiri yang memberi info tambahan kalau ia akan mengantarkan Yosa hingga ke bandara. Benar saja, meski dari jarak beberapa meter ternyata Seno juga menyadari keberadaan Anya meski gadis cantik itu sudah memakai masker hitam untuk menutupi sebagian wajahnya. Buktinya, sejak Seno menoleh padanya beberapa saat lalu, sampai detik ini pria tinggi itu tak melepaskan tatapannya dari Anya barang sebentar saja.
Dari pengamatan Anya, tak ada yang salah sama sekali dari interaksi Seno dan Yosa. Keduanya nampak nyaman satu sama lain sebagai pasangan yang serasi. Bahkan sampai waktu keberangkatan tiba, Seno dengan penuh sayang melepas Yosa setelah melabuhkan kecupan ringan di puncak kepala sang kekasih. Benar-benar akting yang luar biasa dari seorang pria yang tengah meragukan kesetiaan pasangannya.
Miris sekali bukan. Itulah mengapa sampai detik ini, Anya terlalu tak percaya dengan adanya cinta sejati seperti yang selalu digadang-gadangkan dalam drama atau n****+ romansa. Semua hanya palsu. Persis seperti dua insan yang sedang ia perhatikan dari kejauhan. Senyuman Seno tampak begitu tulus saat memeluk ringan Yosa yang akan segera masuk ke ruang keberangkatan. Pun dengan bahasa tubuh dan raut wajah Yosa yang menampilkan senyum sendu saat melambaikan tangan pada prianya. Semuanya nampak elok meski di belakangnya penuh dengan kecurigaan. Bull s**t bukan?
Anya memilih jadwal penerbangan serta maskapai yang sama persis dengan yang dipilih oleh Yosa. Mungkin hanya berbeda nomor tempat duduk saja. Itulah salah satu keuntungan menerima tawaran pekerjaan dari seorang sultan seperti Seno. Bahkan sebagian dari p********n di muka yang ia terima bisa untuk alokasi dana transportasi kelas wahid seperti saat ini.
Memilih kembali fokus pada niatan utamanya menguntit Yosa. Anya bangkit dari kursi tunggu dan mulai berjalan pelan menuju petugas bandara yang akan memeriksa kelengkapan dokumen yang ia bawa. Anya sadar beberapa meter di depannya, Seno mulai menatapnya tanpa jeda. Entah apa yang ada dalam benak pria jangkung yang siang ini nampak begitu berbeda dengan tampilan casual-nya. Namun dari cara Seno memfokuskan pandangan pada Anya, gadis itu merasa Seno ingin menyampaikan sesuatu.
Maka benar saja, ketika Anya sudah berjarak beberapa langkah dari Seno, pria tampan itu juga mulai mengayunkan langkah maju berhadapan dengannya. Namun yang tak Anya perkirakan sebelumnya adalah … Seno dengan santainya malah menahan lengan Anya yang berbalut kaos panjang hitam kebesaran.
“Jaga jarak Reva,” bisik Seno saat sedikit membungkuk dan dirasa sangat dekat dengan telinga Anya. “Hmmm, juga hati-hati di jalan,” sambung Seno lagi sukses membuat Anya tertegun lantas menyatukan kedua alis tebalnya.
Aneh sekali client-nya yang satu ini. Bertahun-tahun Anya menjalani profesi sebagai penguntit rahasia. Namun baru satu kali ini ia diingatkan bak seorang anak kecil yang baru dilepaskan bepergian sendirian untuk pertama kalinya.
“Pardon?” Anya sengaja mendramatisir keadaan dengan menelengkan kepalanya sangat pelan dan melirik lurus pada pria itu.
“Ka- kamu … hati-hati juga di perjalanan,” Seno menyunggingkan senyuman miring yang biasa ia jadikan senjata utama untuk menaklukkan para gadis. Akan tetapi sepertinya ia harus gigit jari untuk kali ini, karena seorang gadis seperti Anya ternyata tak terpengaruh sama sekali. Jauh berbeda dengan gadis-gadis yang biasanya langsung luluh hanya dalam hitungan detik.
“Saya sudah melakukan pekerjaan ini tahunan, bukan baru sekali atau dua kali saja. Bepergian untuk membuntuti target jadi hal kecil buat saya. Jadi, Mas Seno nggak perlu merasa khawatir terlalu berlebihan.” Anya sedikit berjinjit untuk balas berbisik pada Seno yang perbedaan tingginya begitu kentara dengan dirinya.
“Ahh.. anu, mak- maksud say—”
“Permisi, saya harus segera masuk, sebentar lagi terbang,” pungkas Anya dengan nada dingin juga sengaja menabrak pelan bahu tegap Seno agar sedikit bergeser dari hadapannya.
Jawaban lirih tapi syarat akan ketegasan itu sontak saja membuat Senopati tersentil dan semakin mematung di tempatnya berdiri. Hal seperti ini juga baru pertama kalinya ia alami saat berhadapan dengan seorang gadis. Biasanya, para gadis itu yang selalu belomba untuk menarik perhatiannya dengan cara apapun. Tapi Anya … astaga … tersenyum barang sesenti saja tak ia lakukan meskipun berhadapan hanya beberapa jengkal dari si pria yang sering disebut penakluk wanita itu.
‘Dingin sekali kamu, Reva,’ desis Seno setelah punggung Anya menjauh dan hilang dari pandangannya.
***