8 – Pria Itu Lagi

1411 Kata
Anya langsung mengurung diri begitu selesai dengan makan malamnya. Tentu saja setelah memastikan sang ibu sudah beristirahat di kamarnya, juga asisten rumah tangganya sudah pulang. Gadis itu tak ingin ambil resiko jika meninggalkan lantai satu rumahnya dalam keadaan belum terkunci rapat semua. Begitu selesai membersihkan diri, Anya beralih ke balkon di samping kamarnya. Memandangi langit malam yang berhias petir dari kejauhan. Sesekali matanya memindai hasil jepretan di kamera yang ia ambil tadi siang. Saat membuntuti Yosanna Adriani tentu saja. Ada perasaan yang berbeda saat Anya menyetujui pekerjaannya sebagai stalker kali ini. Bukan karena clientnya yang seorang crazy rich kenamaan, atau karena Yosa yang seorang model papan atas tanah air. Bukan sama sekali. Gundah tanpa nama itu selalu saja mengiringi sejak Anya mulai mengikuti pergerakan Yosa sejak tadi pagi. Getar ponsel yang diletakkan asal di meja rotan dekat jendela membuyarkan lamunan Anya. Nama Senopati berkedip beberapa kali ingin segera mendapat respon dari si empunya gawai. Mengerjap beberapa kali, Anya segera menjatuhkan pandangan pada benda pipih tersebut dan menggeser tombol berwarna hijau untuk mengangkat panggilan dari Seno. "Ya hallo, Mas?" sapa Anya kikuk. “Ha- hal- hallo, Reva.” Andai saja Anya tahu bahwa pria yang sedang berbicara di seberang sana jauh lebih kikuk daripada dirinya. “Iya, kenapa Mas?” mundur beberapa langkah, Anya mengambil tas slempangnya di atas meja rotan di sebelah pintu geser menuju balkon kamarnya. “Tentang pengintaian Yosa hari ini, hmm—” “Ah, yang itu,” sela Anya mulai paham dengan arah pembicaraan lawan bicaranya. “Memang belum saya laporkan, Mas. Mau saya kumpulin dulu sampai akhir bulan ini. Nanti kalau sudah selesai akan saya kirimkan ke email Mas Seno,” lanjut gadis itu sembari mengeluarkan kameranya. Memeriksa hasil jepretannya sambil menyalakan laptop di atas meja. “Ahh, iya … saya paham soal itu. Tapi,” Seno menggantung kalimatnya. “Bukan itu yang ingin saya bicarakan.” Pria rupawan itu menambahkan lagi “Lalu?” “Untuk laporan pertama nanti, bisakah kita bertemu secara langsung saja? Seperti kemarin lusa?” Selama tiga bulan pekerjaan Anya, gadis itu memang menjanjikan dua hingga tiga kali memberi laporan perkembangan pada Seno. Namun bukan dengan cara bertemu langsung, melainkan secara daring melalui email yang akan Anya kirimkan langsung pada pria itu. “Tapi, bukannya kemarin lusa kita sudah sepakat dengan email saja ya, Mas?” Anya mencoba mengingatkan. Bisa saja pria dengan segudang kesibukan itu lupa dengan kesepakatan mereka berdua kan? “Hmm, iya benar, iya.” Seno mengangguk kecil dari tempat tinggalnya. “Hanya saja … saya rasa akan lebih efektif jika kita berdua bertemu secara langsung. Mengingat pekerjaan kamu kali ini menyangkut masa depan saya. Juga menyangkut nama besar keluarga yang saya emban.” Anya mengerutkan kening. Gerakan jemarinya yang sedang memindai beberapa hasil jepretannya ke laptop terhenti beberapa saat. “Tapi, Mas—” “Oke, itu aja yang mau saya kasih tau. Sampai ketemu akhir bulan ini ya? Selamat malam, Reva,” pungkas Seno bahkan sebelum mendengarkan jawaban dari gadis manis yang masih tertegun di ujung telepon. “Selamat malam,” lirih Anya sembari memandangi layar ponselnya yang sudah kembali gelap. Tak mau ambil pusing dengan permintaan Seno, Anya kembali meletakkan dengan asal ponselnya di meja kecil sebelah laptopnya. Akan lebih baik melanjutkan pekerjaannya saja daripada memikirkan titah Seno yang ingin menemuinya lagi secara langsung. Anggap saja Anya akan memenuhi permintaan tersebut sebagai profesionalismenya dalam bekerja. Apalagi ia berniat ‘berhenti’ dari pekerjaannya sebagai penguntit setelah menyelesaikan misi dari trah Dwisastro ini. Komisi sepuluh kali lipat yang dijanjikan Seno, rasanya sudah lebih dari cukup untuk menyokong kehidupannya berdua dengan ibu. Juga untuk membawa sang ibu menjalani terapi terakhirnya di Singapura yang sudah dijadwalkan akhir tahun nanti. Aah, berbicara mengenai sang ibu, selalu saja membuat semangat Anya kembali berkobar. Beberapa tahun ke belakang, Anya sengaja mengambil pekerjaan sebagai MC di Bliss Wedding juga tetap menjalani profesi rahasianya sebagai penguntit, semuanya tentu saja demi pengobatan Endang, sang ibu tercinta. Endang, ibu kandung Anya menjadi pribadi yang kian rapuh dan semakin terpuruk sejak perceraiannya dengan Ruben. Mungkin karena rasa cinta beliau yang terlalu besar pada sang mantan suami, hingga membuat mentalnya terganggu sejak tragedi perselingkuhan Ruben yang berujung perpisahan keduanya. Anya yakin ibunya tidaklah mengalami gangguan jiwa atau gila seperti yang dituduhkan ayahnya. Tidak, tidak sejauh itu. Hanya saja, pengkhianatan dan luka pernikahan yang dialami Endang memang membuat pribadinya berubah seratus delapan puluh derajat. Endang berubah jadi lebih pendiam sejak dinyatakan depresi, sering gugup secara berlebih juga terkadang mengalami serangan panik jika berada di keramaian. Oleh karena itu, melakukan terapi serta mengkonsumsi obat secara rutin sangat membantu beliau untuk pulih meskipun belum sepenuhnya. Memasak aneka menu khas negeri gingseng juga makanan ringan menjadi pengalihan Endang selama ini. Dan Anya sangat bersyukur dengan kesibukan sang ibu di dapur yang ternyata sangat membantu pemulihan perempuan paruh baya itu. Setiap Anya pulang dari kegiatannya di kampus atau Bliss Wedding, sang ibu selalu menyambut dengan rekahan senyum sambil membawa sepiring menu baru yang berhasil beliau buat. Namun tak jarang juga, Anya disambut dengan lekukan di wajah saat masakannya tak sesuai ekspektasi atau rasa yang jauh dari seharusnya. Karena itulah, Anya tak segan-segan menguras isi dompet untuk memenuhi dapur rumahnya dengan segala peralatan lengkap memasak keluara terbaru. Semua gadis itu lakukan untuk mendukung kesibukan dan kesembuhan sang ibu tercinta. Tak peduli jika ia harus berjibaku dengan dua pekerjaannya sekaligus, melihat senyum yang tersungging di wajah sang ibu sudah mampu membakar semangat gadis itu lagi. "An, kamu kok belum tidur, Cantik?" Anya sontak menoleh dengan mengukir senyum manisnya. Hanya sang ibu yang selalu memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Cantik. "Bentar lagi, Ma. Nanggung kerjaannya." Anya bangkit untuk menggeser pintu kacanyabagar lebih lebar. Juga menarik satu lagi kursi rotan yang menjadi favoritnya dan sang ibu untuk bersantai bersama. “Mama lihat lampu kamar kamu masih menyala, juga tadi dengar suara kamu yang menelpon. Dan ternyata benar kalau kamu belum tidur. Masih ngebut ngerjain skripsi? Atau kerjaan dari Nak Reno?" tanya sang ibu yang sudah duduk mensejajarkan diri dengan putri tunggalnya. Anya menggigit bibir bawahnya. Untung saja layar laptopnya gelap karna langsung ia pasang mode 'sleep'. Sehingga Endang tak sampai memergokinya sedang mentransfer banyak hasil bidikan kameranya seharian ini membuntuti Yosa. Elusan di punggung tangan Anya membuat gadis utu mendongak seketika. Ternyata benaknya tersandera lamun untuk sepersekian detik lamanya. "Eh, iya, Ma. Skripsi tinggal seuprit doang kok, kan udah dapet jadwal sidang juga. Kalau kerjaan MC nggak begitu banyak bulan ini karena gantian sama yang lain." Anya meringis lebar menutupi kalimat dustanya. Menyelesaikan kuliah adalah salah satu keinginan Endang untuk sang putri. Karenanya, meski Anya sudah terlanjur malas kembali ke bangku kuliah, ia rela-rela saja mengeluarkan uang hasil keringatnya untuk membayar juniornya mengerjakan skripsi. Anya hanya akan fokus pada pekerjaan saja demi menggemukkan saldo di dalam rekeningnya. "Baguslah kalau begitu, mama udah nggak sabar lihat kamu wisuda, Cantik." "Tapi aku nggak mau juga kalau wisuda nanti sendirian tanpa ditemenin Mama." Anya berlagak merajuk, tapi memang itulah yang dirasakannya. Beberapa kali Anya mencoba mengajak sang ibu keluar rumah, untuk sekadar berjalan-jalan dan melihat keramaian. Berkali-kali itu pula sang ibu belum mampu mengendalikan serangan paniknya. Jadi ia belum punya bayangan jika nanti ia wisuda dan mengajak sang ibu turut serta. "Akan mama coba," Endang kembali mengusap tangan Anya setelah menghembuskan napas panjang. "Jangan tolak ajakanku ke Singapura kalau gitu. Mama pasti bisa melawan semua trauma itu dan kembali seperti semula. Itu kan yang dikatakan terapis mama terakhir kali." "Ta- tapi biaya ke san—“ "Nggak usah mikir masalah biaya, aku udah atur semuanya. Tabungan kita sangat cukup, gajiku juga naik. Apalagi belakangan ini aku juga ada kerjaan lain di luar Bliss Wedding. Yang penting Mama mau pergi ke sana ya? Sekaliiii aja, Ma." Telapak tangan Anya ganti meremas pelan kedua tangan ibunya. "Iya deh iya... iya.., apa sih yang enggak buat kamu, Nak Cantik." Endang akhirnya memberi satu anggukan sebagai jawaban. Jawab singkat yang langsung meletuskan binar bahagia dalam netra putrinya. "Makasih Mama, aku pastikan selesai sidang nggak terlalu banyak revisi. Jadi aku bisa ikut wisuda gelombang pertama sepulang dari Singapura." Anya bangkit lantas memeluk tubuh kurus sang ibu. “An, itu siapa si Senopati?” seru Endang tiba-tiba dari balik punggung Anya yang memeluknya. “Eh?” Anya mengerjap beberapa kali saat mengurai pelukannya. “Ponselmu getar-getar tuh ada telpon masuk, dari … Senopati.” Endak mengendikkan dagu ke arah ponsel Anya yang tergeletak begitu saja di atas meja. Anya mengerutkan kening ikut menoleh ke arah yang ditunjuk sang ibu. Astaga pria itu lagi! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN