Bab 11. Tangan Kanan Yang Setia

1093 Kata
Hendri Lao merupakan tangan kanan yang setia pada Anthony Lin semenjak bosnya diangkat menjadi pemimpin kelompok preman Lin atau Golden Dragon. Ia juga salah satu mantan atlet bela diri yang kecewa dengan sistem sehingga membuatnya bergabung dengan kelompok preman dari pada berusaha baik-baik. Hari ini ia memperoleh perintah dari Anthony untuk mengantarkan Tantria Purnama, istri kedua bosnya untuk membeli pakaian baru. Sesungguhnya Hendri tidak tahu pasti seperti apa pakaian yang ingin dibelikannya. Itulah mengapa ia kembali ke rumah Lin. “Nyonya Tantria?” panggil Hendri dengan sopan. Tantria yang sedang berada di dapur untuk belajar tata cara memasak di rumah Lin. Tantria menoleh ke belakang dengan Halim juga melakukan yang sama. Hendri tersenyum dengan kedua tangan di belakang tubuhnya mendekati sopan. Halim sedikit membungkukkan memberi salam pada Hendri yang mengangguk sekali. “Maaf, Halim. Saya diperintahkan oleh Tuan Muda Anthony untuk mengantarkan Nyonya Tantria ke butik,” ujar Hendri meminta ijin pada Halim. Halim sedikit tersenyum dan mengangguk. “Silakan. Saya permisi dulu Nyonya.” Halim pun pamit meninggalkan Tantria dan Hendri. Tantria sedikit kebingungan. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. “Memangnya kita mau ke mana?” tanya Tantria pelan dan lembut. “Kita akan ke butik, Nyonya.” Tantria mengernyitkan keningnya. “Itu tempat untuk membeli pakaian.” Hendri menambahkan. Tantria tertegun lalu melihat pada dirinya sendiri. “Memangnya ada apa dengan pakaian Tantri?” Hendri tersenyum lalu menggeleng. “Tidak ada. Tuan Muda hanya ingin membelikan pakaian baru untuk Nyonya.” Tantria masih tertegun dengan raut polosnya yang cantik. Hendri harus menundukkan pandangannya sebelum ada yang melihat dan mengira tidak sopan. “Silakan, Nyonya,” ajak Hendri menyampingkan tubuhnya. “Sekarang?” Hendri mengangguk lagi. “Tantri ganti pakaian dulu ....” “Tidak usah, Nyonya. Nyonya bisa menggantinya nanti di butik saja. Silakan, mobilnya ada di samping.” Tantria masih belum melangkah. Ia sedikit meringis tak enak dan itu membuat Hendri tidak bisa bergerak pergi. “Tapi ... apa boleh Tantri mengajak teman?” kedua alis Hendri naik bersamaan. Ia berpikir sejenak. Mungkin Tantria memang tidak nyaman jika berjalan hanya berdua saja dengannya. “Begini saja, Nyonya bisa mengajak salah satu pelayan untuk menemani.” Hendri mengusulkan hal yang membuat senyuman cantik Tantria menguar lebar. “Terima kasih. Sebentar!” Hendri mengangguk dan membiarkan Tantria masuk ke dalam. Ia menarik napas panjang lalu melepaskannya perlahan. Seperti ada yang mengganjal tapi Hendri tidak tahu apa. Baru kali ini ada perempuan yang membuatnya merasa aneh. Setelah kurang dari 10 menit, Tantria keluar bersama seorang pelayan yang telah mengganti seragamnya dengan pakaian biasa. Keduanya naik mobil mewah yang dibawa oleh Hendri bersama seorang sopir yang siap mengantar ke mana pun. Tantria dan pelayan itu tampak kaget karena mereka duduk di belakang layaknya majikan. “Pak Hendri, kita mau ke mana?” tanya pelayan bernama Erna yang diminta oleh Tantria menemaninya. “Nyonya mau ke mal atau ke butik dulu?” tanya Hendri sedikit berbalik ke belakang. Tantria mengernyitkan keningnya. Ia hanya mendengar nama Mal dan bahkan tidak mengetahui seperti apa bangunannya. Dengan malu, Tantria menunduk tak menjawab. Erna yang melihat langsung berinisiatif menjawab. “Kalau kita butik yang ada di dalam Mal, boleh gak, Pak? Sekalian jalan-jalan,” pinta Erna dengan senyuman lebar. Hendri tersenyum lalu mengangguk. Sedangkan Tantria sedikit menyikut pelan Erna yang malah meminta jalan-jalan. “Gak apa, Nyonya. Nanti Nyonya bisa lihat banyak toko-toko bagus di Mal,” celetuk Erna dengan keriangannya. Tantria hanya melepaskan napas panjang. Ia merasa tidak enak karena malah berjalan-jalan di hari pertamanya tinggal di rumah Lin. Pikiran Tantria kembali melayang pada keadaan ibunya di rumah sakit. Jika saja ia berani meminta, Tantria lebih ingin pergi ke rumah sakit daripada berbelanja. Tantria dan Erna melangkahkan kaki mereka ke salah satu mal terbesar di Jakarta. Ditemani oleh Hendri yang mendampingi dua perempuan itu melangkahkan kaki mereka di tempat seluas dan semegah itu. Tantria sampai tertegun membuka mulutnya menengadah melihat ke atas. “Nyonya.” Tantria tersentak pada panggilan Hendri. Tantria sampai merona malu karena ketahuan seperti orang udik. “Maaf,” ucapnya pelan. Hendri masih tersenyum dan menggeleng. “Nikmati saja jalan-jalannya. Nanti jika ada pakaian yang ingin dibeli kita bisa berhenti,” ujar Hendri berusaha membuat Tantria tidak merasa canggung maupun asing. Tantria hanya tersenyum lalu mengangguk. Erna adalah pihak yang paling senang saat ini karena ia bisa terbebas dari tugas membersihkan kamar dan bisa berjalan-jalan. Terlebih Tantria terlihat begitu polos dan lugu. Matanya melihat semuanya dengan perasaan takjub. Ia bahkan nyaris melupakan jika harus membeli pakaian. “Kita ke supermarket saja, Pak!” ucap Erna mengusulkan pada Hendri. Hendri mengatupkan bibirnya dan menggeleng. “Jangan, kamu jangan lupa kalau itu Nyonya Muda. Dia tidak seharusnya membeli pakaian di supermarket!” balas Hendri separuh berbisik menegaskan. Erna terkekeh aneh dan mengangguk paham. “Saya bawa kamu untuk menemani Nyonya Tantria bukan untuk bersenang-senang,” imbuh Hendri lagi. Erna jadi sedikit cemberut tapi mengangguk juga. “Kalau begitu kita ke butik itu saja!” Erna menunjuk salah satu outlet pakaian jadi yang cukup terkenal. Hendri tersenyum lalu mengangguk. “Nah, kalau itu boleh. Tidak perlu terlalu mahal tapi sangat pantas untuk Nyonya Tantria.” Erna mengangguk setuju pada pendapat Hendri. Hendri pun mengikuti Erna yang menggandeng Tantria ke butik yang dimaksud. Semula Tantria menolak karena merasa pakaian di sana sangat mahal untuknya. “Tantri pakai yang biasa saja, Pak Hendri,” ujar Tantria menolak dibelikan pakaian. “Jangan, Nyonya. Ini permintaan Tuan Lin. Kalau dia tahu saya tidak melayani Nyonya dengan baik, saya gak akan selamat,” jawab Hendri sedikit menakuti Tantria. Tantria langsung terbelalak. “A-Apa,” sahutnya terbata. Hendri tersenyum lagi dan mengangguk. “Tolong jangan menolak. Semuanya yang Nyonya minta akan saya bayar.” Hendri tetap memaksa Tantria untuk membeli pakaian yang jauh lebih mahal dari yang biasa ia kenakan. Tantria juga diminta menukar pakaian yang dikenakannya dengan pakaian yang baru dibelinya. Sebuah pakaian dengan model sederhana dan warna biru yang lembut. Tantria tampak makin cantik saat mengenakan pakaian tersebut. Hendri bahkan tidak sadar tersenyum lebih lebar. Hendri berdiri sambil menyandarkan sisi lengannya di salah satu tiang seraya memperhatikan Tantria dan Erna sedang mengobrol saat Tantria baru keluar dari ruang ganti. Pesona Tantria bisa membuat hati keras dan kejam seperti Hendri melembut. “Ah, aku pikirin apa sih?” rutuk Hendri pelan pada dirinya. Ia membuang muka dan menarik napas panjang. Hendri memilih untuk berjalan ke meja kasir dan membayar semua pakaian yang telah dibeli oleh Tantria dan Erna. “Pak Hendri, boleh Tantri meminta sesuatu?” Hendri berbalik dan tersenyum mengangguk. “Apa boleh Tantri mengunjungi ibu di rumah sakit?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN