Memanjakan Diri

1011 Kata
Pura-Pura Rebahan Part 5 : Memanjakan Diri “Bu, ini uang untuk bayar bill makanan, aku tunggu di taxi, ya!” ujarku kepada Desi, baby sitters sewaanku seraya memalingkan pandangan dari pria yang sudah bangkit dari kursinya dan kini sudah melangkah ke arah kami. Desi menganggukkan kepala, dengan cepat aku langsung menggendong Aisha dan menggandeng tangan Naffa untuk menuju pintu keluar, sebelum Mas Nizar alias Tuan Kreb membongkar penyamaranku. Aku gagal jadi artis, karena belum bisa berakting di depan dia. Sesekali, aku menoleh ke belakang dan terlihat Mas Nizar menabrak waiters yang sedang membawa minuman, dan dia kerepotan dengan kemejanya yang basah. Aku bersyukur dalam hati karena mendapatkan kesempatan untuk menghilang. Dengan napas yang ngos-ngosan, aku masuk ke dalam taxi yang sudah kusewa untuk seharian ini. Duh, kok bisa satu restoran begini sih, untung saja makanan kami sudah habis, kalau nggak ‘kan bisa mubajir, mana jarang-jarang suka bisa makan mewah begini. Kalo ngarapin Mas Nizar yang ngajakin makan ke restoran begini, nunggu kucing bertelor juga nggak akan pernah diajak. Udah nggak ngasih uang belanja, eh ... dia malah enak-enakan makan siang di restoran dengan teman-temannya, suami nggak ada akhlak benar dah dia! Isshhh .... Taklama kemudian, Desi sudah menyusulku ke dalam taxi. Aisha langsung berpindah ke pangkuannya. “Gimana tadi, pria berkemeja biru itu nyamperin kamu atau nggak?” tanyaku. “Iya, dia nanyain Mbak Vio dan anak-anak tapi saya bilang sesuai perintah Mbak Vio, saya mengaku Mamanya dari Mbak, dan dua putri cantik ini adiknya Mbak Vio. Dia kebingungan gitu waktu saya bilang nama Mbak Vio itu Vaulina, serta Vivi dan Caca nama dua adik Mbak ini,” jelas Desi. Kuacungi dia jempol dengan mengulum senyum. Akan tetapi, ponsel jadul pemberian Si Tuan Kreb malah bedering. Eh, tumben sekali dia menelepon. Kuperintahkan sang supir taxi untuk menepi dulu agar aku bisa mengangkat telepon dari papanya anak-anak. “Vio, kamu di mana?” cecar Mas Nizar saat teleponnya sudah kuangkat. “Hmm ... lagi di rumah, Mas, rebahan. Ada apa?” jawabku lemah lembut dengan suara yang kubuat agak serak-serak manja. “Yang benar kamu? Bukannya tadi kamu makan di restoran dengan wanita kaya?” tanyanya lagi. “Apa, Mas, kamu mau ngajakin aku makan di restoran? Mau dong!” ujarku dengan berpura-pura budek. “Ah, payah kamu, Vio! Ya udah, nggak mungkin itu kamu, aku pasti cuma salah lihat.” ‘Klek’ Panggilan telepon ia putus begitu saja, dasar! Kusuruh sang supir untuk kembali jalan menuju salon yang sudah kusebutkan tadi. Hari ini aku akan memanjakan diri dengan berbagai macam perawatan biar uang hasil menghalu ini ada gunanya dan tak robek dimakan rayap di dalam sarung bantal. Setengah jam kemudian, aku sudah rebahan di atas tempat tidur dengan sambil dipijat-pijat oleh dua orang petugas salon, sebab aku sudah mengambil paket perawatan komplit. Aroma s**u dan madu membius indra penciuman, membuat mataku terlena untuk berkelana di alam mimpi. Ternyata jadi orang kaya itu enak sekali, andai Mas Nizar bisa memanjakanku seperti ini, tentu hidupku akan bahagia dan takkkan penuh dengan kepura-puraan begini. Hmm ... dua putriku juga aman bersama Desi. Mereka sedang bermain di lantai atas sebab salon ini menyediakan arena bermain untuk para anak orang kaya yang menunggui mamanya yang sedang perawatan, sama sepertiku. Akan tetapi, aku kayanya hanya hari ini saja, besok-besok belum tahu juga sebab aku takkan bisa keluar rumah dengan leluasa lagi. Ini juga aman keluar rumah, karena nggak ada Mama mertua dan Mbak Mona yang memergoki, mungkin mereka lagi ke pasar waktu itu. Aku membuka mata, duh ... tubuhku terasa sangat fresh. Kutatap kukuku yang sudah mengkilat sehabis di pedi-medi. Kini tinggal creambath, kepala modal haluku harus diberi kemanjaan ekstra dan kini sedang dipijat-pijat yang rasanya sangat enak. Kuraih ponsel dan membuka aplikasi biru, hmm ... ada banyak sekali inbox dari para fans tapi aku malas membukanya, nanti saja. Aku ingin update status saja. “Mau mandi, eh ... tapi takut aura kegantengan memudar. Ya sudah, nggak jadi mandi deh, ini semua demi tetap lestarinya wajah langka warisan leluhur.” Langsung kuupdate status itu. Beberapa saat kemudian, beberapa komentar mulai membanjiri statusku, inilah resikonya berpura-pura jadi cowok tamvan, maka siap-siap saja dikejar emak-emak berdaster yang ngaku naksir kamu. Aahhaayy ... aku menahan tawa saat membaca komentar para fansnya ‘Samuel Ataya’ itu. Mereka sangat fanatik dan mengagung-angungkan diriku walau tak tahu dalang di balik akun fake itu. Maafkan aku, wahai para fans, bukan maksud ingin php cuma aku takkan sanggup jika kejujuran nanti malah membuat kalian menjauhiku. Semoga saja tak ada yang jatuh cinta benaran dengan sosok tamvan ini. Pukul 15.00, paket perawatan super lengkapku telah selesai. Anak-anak juga sudah puas bermain, kuajak mereka untuk pulang ke kost. Setelah membayar sewa baby sitter, dan sang supir taxi, aku masuk ke dalam rumah kost. “Oke, anak-anak, senang-senangnya kita akhiri dulu. Kita ganti baju dan pulang. Ingat, ini cuma rahasia kita bertiga.” Aku tersenyum kepada dua putriku dengan sambil mengganti pakaian baru mereka dengan pakaian lecek kembali. *** Dengan sambil membawa kantong kresek yang berisi kue dan permen untuk anak-anak, aku turun dari angkot. Di depan terlihat Mama mertua sedang ngerumpi dengan Mbak Mona. “Viooo ... dari mana saja kamu? Pantasan pintu rumahnya tertutup rapat, rupanya kamu lagi jalan-jalan keluar?” cecar Mama mertua dengan bola mata yang sebesar bulatan bakso itu, dia merampas kresek di tanganku dan melihat isinya. “Habis ngemis, Ma, di lampu merah. Lumayan, uangnya bisa buat beli kue anak-anak. Abisnya, Mas Nizar, anak Mama yang pelit itu nggak ngasih uang buat belanja,” jawabku dengan berpura-pura sedih. “Serius kamu ngemis di lampu merah, Vio?” Mbak Mona menaikkan sebelah alisnya. “Awalnya cuma berpura-pura ngemis, eh ... ada yang ngasih duit, ya udah ngemis benaran deh, lumayan loh ... mana ada yang ngasih goceng pula.” Aku mulai mengarang kebohongan, ya tuhan ampuni dosaku karena kini mulai suka mengarang kepalsuan. Kutarik kembali kantong kresek dari tangan Mama mertua dan melangkah menaiki terasa rumah, sedang Mama dan Mbak Mona terlihat berbisik-bisik. Apa mereka mau ikutan ngemis juga, ya? Aku terbahak dalam hati, lalu masuk ke dalam rumah. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN