Ide Gila

918 Kata
Pura-Pura Rebahan Part 7 : Ide Gila Terdengar suara pintu terbuka lalu ditutup dengan sangat keras, alias dibanting. Aku hanya melengos dan sudah tahu pelakunya itu, siapa lagi kalau bukan suamiku, Si Tuan Kreb alias Muhammad Nizar Iskandar, SE. Aku yang sedang rebahan di depan televisi tetap anteng saja dengan menatap sinetron chanel udang terbang, dua putriku sedang bermain boneka di kamar. “Sial!!! Otak udang!” umpatnya sambil berlalu melewatiku yang sedang berpura-pura konsentrasi dengan tontonanku. “Vio, kopiku mana?!” teriaknya dari arah dapur. Aku bergegas bangkit dan menghampirinya yang sedang duduk di depan meja makan. Mataku langsung menyisir meja sebab kopi milik Mas Nizar sudah kusiapkan sejak dari lima menit yang lalu, dari sebelum ia nyampai rumah. “Itu, ada di depan, Mas,” ujarku dengan menunjuk gelas kopi di hadapannya. Untung saja aku ini sedang berperan jadi istri sok baik, andai berperan jadi istri bar-bar ... mungkin sudah kuguyur dia dengan kopi panas itu. Aku tersenyum kesal dan berpura-pura bego. Dengan melirikku jengkel, ia menyeruput kopinya. Lalu memberi isyarat agar aku duduk di hadapannya. “Ada apa, Mas?” tanyaku saat melihat wajah kesalnya yang kali ini terlihat berlipat-lipat dari biasanya. “Aku habis dirampok Mama dan Mbak Mona, keterlaluan sekali mereka!” ujarnya dengan berapi-api. “Oh, ya?” Aku pura-pura terkejut, tak lupa membuka lebar-lebar kelopak mata ini. “Tadi aku gajian, terus bawa uang dua juta. Rencananya, satu juta mau aku kasih kamu untuk jatah belanja bulanan, terus satu jutanya lagi untuk pegangaku, jatah bensin dan rokokku tapi ... uangku kini hilang tak berbekas,” ujarnya lagi. “Oh begitu, emang gaji kamu sebulan dua juta, Mas? Tumben sekali mau ngasih aku jatah belanja sejuta?” tanyaku dengan dahi yang berkerut karena selama ini memang tak pernah tahu berapa jumlah gajinya. “Gajiku itu lima juta, tiga juta kutabung setiap bulannya. Nah, rencananya ... aku itu mau ngasih sejuta untuk jatah belanja bulanan kamu itu biar lebih hemat, soalnya kalau sehari kamu kujatah lima puluh ribu ... mesti sejuta lima ratus totalannya, kan aku juga yang nombok. Jadi sehari, kamu hanya boleh belanja tiga puluh ribu saja, otomatis cukup ‘kan sejuta untuk biaya makan. Akan tetapi, Mama dan Mbak Mona malah mengacaukan semuanya.” Pria berkulit sawo matang itu kembali melanjutkan curhatnya, dengan wajah yang terlihat amat kesal. Aku kasihan juga dengan Mas Nizar, yang tak bisa melawan Kakak dan Mamanya itu, cuma aku bisa apa, mereka juga tak menganggapku ada. Lagian, itu akibat mau selalu irit dan akhirnya malah muncrit! Aku mengulum senyum. “Pijitin kepalaku, Vio! Pusing sekali ini!” ujarnya. Aku mengerucutkan bibir dan menuruti perintahnya. “Vio, coba kamu itu kerja ...’kan gaji kita bisa double, aku lima juta dan kamu lima juta, jadi sebulan kita bisa dapat sepuluh juta. Satu juta untuk kebutuhan bulanan, sejuta untuk bensin dan rokokku, maka aku akan bisa menabung delapan juta setiap bulannya,” ujarnya lagi. Aku menautkan alis, ya elah enak bener dah kalo gitu, dasar suami pelit nggak ketulungan. Perhitungannya sungguh kelewat mateng alias mendekati gosong. “Oh gitu, boleh aja sih, Mas. Kamu cariin deh aku kerjaan kalau gitu, ingat ... aku cuma punya ijazah SMP tapi aku maunya kerja kantoran kayak kamu yang gajinya lima juta!” jawabku sok polos, dan menahan tawa sebab aku tahu hal itu sangatlah mustahil. Mas Nizar terdiam beberapa saat. “Iya, ya, kamu cuma tamatan SMP mana bisa kerja kantoran dengan gaji lima juta. Hmm ... begini saja, aku punya ide.” Dia menghentikan pijitanku pada kepalanya dan menyuruhku duduk kembali di hadapannya. “Apa, Mas?” tanyaku agak malas, namun sebagai istri yang baik, aku harus tetap berpura-pura antusias dengan curhatan juga idenya, walau aku tak tertarik untuk mencari pekerjaan lain sebab penghasilan rebahan sambil menghaluku sudah sangat cukup membuat rekeningku menggendut setiap bulannya. Bukannya sombong sih, cuma ngasih tempe aja soalnya harga tahu dan tempe nggak jauh beda, eh! “Hmmm ... ini kalau kamu setuju sih, dan kalau kamu mau hidup kita enak ... gimana kalau aku ... nikah lagi aja dengan ... manager kantorku yang udah janda itu?” tanyaku dengan ragu tapi tetap mengutarakan juga keinginannya. Aku mengerutkan dahi, sedikit tak menyangka saja kalau idenya akan seperti itu. Aku pura-pura berpikir keras. “Boleh aja sih, Mas? Emangnya dia naksir kamu atau kalian udah menjalin hubungan selama ini? Terus, keuntunganku apa ... kalau kamu kuberi izin menikahnya?” Aku menatapnya jengkel, ada rasa tak rela juga jika keinginannya ini serius. “Kata teman-teman, dia itu naksir aku. Belum berhubunganlah, aku ini tipe suami setia asal kamu tahu saja, walau awal menikah dengan keterpaksaan. Gajinya Janet, oh iya ... namanya Janet, janda tanpa anak. Gajinya Janit itu sepuluh juta, dan andai aku bisa menikah dengannya dan menguasai semua gajinya ... kamu dapat jatah dua juta setiap bulannya. Gimana, mau?” tanyanya dengan wajah polos. “Mau, Mas, mau banget ... mau banget gundulin kepalamu yang isinya cuma mikirin duit aja!” ketusku dengan menghentakkan kaki kesal, dan meninggalnya masuk ke dalam kamar. Entah kenapa? Sedikit dongkol juga mengetahui rencana gilanya itu, dasar Mas Nizar mata duitan. Terdengar ketukan dari arah pintu, tapi aku tak berniat untuk membukanya. Aku mau pura-pura merajuk pokoknya, nggak mau keluar kamar sampai besok. Untung aja, kami memang tidur di kamar yang terpisah sejak lahirnya putri kedua kami sebab tempat tidur yang kecil ini tak muat jika ditiduri berempat. Akan tetapi, walau pisah kamar, kalau dia minta jatah, ya dia akan mengajakku ke kamarnya tapi setelah anak-anak tidur dulu tentunya. Bersambung .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN