"Aku benci hidupku." Jelita mengetukkan keningnya di kaca mobil. Frustasi. "Kenapa Kanjeng begitu ngotot aku harus kembali menemui Ikhsan?"
"Siapa Ikhsan?"
Akbar yang mengendarai mobilnya di jalanan pagi Jakarta bertanya dengan kerutan di dahi. "Aku pikir dari tadi kamu diam dengan wajah seperti—" Akbar mengayunkan tangan di depan wajahnya, "kulit nenek-nenek yang mengkerut—Aduh!!" Telapak tangan Jelita mendarat di pundaknya, "Sakit Nyai!!" desisnya seraya melotot, "Mikirin tentang pemotretan besok."
"Aku sama sekali gak mikirin hal itu. Ini keadaan yang emergency. Si Kanjeng sudah semena-mena."
"Itu alasannya kamu tidur di sofa kantor?" kekeh Akbar. "Menghindar dari Kanjeng?'
"Iya,"
“Terus Ikhsan-Ikhsan itu siapa?"
"Ikhsan itu lelaki yang ke—" Jelita menggaruk kepalanya, mencoba mengingat. "Ah, lupa. Si agen perjodohan kali ini ngotot aku harus menemuinya karena kemarin sore, dia beneran datang ke rumah mengantarkan makanan yang aku pesan tapi gak jadi aku makan karena kabur duluan dan Kanjeng bilang kalau lelaki yang awalnya BERBOHONG—" Akbar menutup telinganya saat Jelita memekik di dekatnya. Dijauhkannya wajah wanita drama itu dengan tangan, "Itu serius menjalin hubungan denganku."
Akbar mengikuti ocehan Jelita dengan mulut ber-O ria seraya fokus dengan jalanan padat di depannya. Tujuan mereka pagi ini Rumah Sakit Medistra untuk menjenguk Nenek Akbar yang sakit.
"Terus masalahnya apa? Memangnya dia jelek?"
"Sama sekali gak," jawab Jelita cepat.
"Lelaki itu amburadul?"
"Dia rapi dan wangi banget."
"Lelaki itu genit."
"Nggak sih."
"Lelaki itu playboy?"
"Kelihatannya sih gak."
"Lelaki itu melakukan sesuatu yang membuatmu kehilangan selera?"
"Dia cuma tukang nyindir aja sama kayak Dustin dan juga jahil. Masa iya aku dikerjain. Kurang ajar memang!!"
Akbar menaikkan alis, membelokkan mobil memasuki area rumah sakit, mengambil karcis yang disodorkan penjaga dan sibuk mencari tempat parkir.
"Lelaki itu kentut di depanmu?"
Jelita mencubit pipi Akbar dengan kencang membuatnya mengaduh. "Kamu yang tukang kentut."
"Ya terus masalahnya itu di mana?" Akbar mulai kesal. Seperti melakukan obrolan yang sangat membuang tenaga dan tidak bermanfaat. Kadang Jelita bisa seabsurd itu tapi toh selama bertahun-tahun menjadi tetangga dan sekarang partner kerja, Akbar betah berada di dekat wanita cantik itu.
"Nggak ada sih." Jelita cengengesan.
"Ahh menyebalkan memang!!" umpat Akbar. Jelita langsung mencubit bibir Akbar dengan kuat yang langsung dihempas menjauh. "Berarti memang kamu yang bermasalah. Kamu nyari suami yang bagaimana sih?"
Jelita mendesah dengan tatapan lurus ke depan. "Aku ingin lelaki yang bisa membuatku merasakan perasaan berdebar-debar, memunculkan banyak kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut—aww." Akbar menghentikan fantasi Jelita dengan menarik rambutnya.
"Kalau umurmu masih tujuh belas tahun ya gak apa-apa lah, masih pantes. Sekarang sudah tiga puluh tiga tahun. Ingat umur Nyai!!”
Jelita mendelik, "Ah, sadis!!”
Akbar mematikan mesin mobilnya. "Ya sudah kalau gitu kamu kawin sama aku aja."
Jelita langsung menoyor kepala Akbar, "Kawin sama kamu? Gila!!"
"Aku dari dulu sudah gila karena ngeladenin ocehanmu itu," toyornya balik. Mereka saling bertatapan dan tertawa membahana. Jelita melepas seatbelt-nya begitu juga Akbar seraya menggelengkan kepala dan membuka pintu.
"Sinting!" ucap Jelita dan Akbar bersamaan dan langsung balik badan keluar dari mobil.
Mereka berjalan bersisian masuk ke bangsal rumah sakit menuju ke ruangan VIP tempat di mana nenek Akbar yang terkena penyakit tua di rawat. Beberapa hari yang lalu, Akbar memberitahu kalau Nenek Leni terbaring sakit tinggal menunggu jemputan dan meminta Jelita untuk menjenguknya. Dibilangin begitu ya jelas aja Jelita langsung takut, dari pada nanti didatangin sama Nenek di mimpi mending didatangin sekarang aja dari pada terlambat.
Saat masuk ke dalam kamar, Jelita yang semula tersenyum lebar setelah merebut keranjang buah yang sejak dari parkiran di bawa sama Akbar, ingin menyapa Nenek yang dulu pernah menjadi teman ngerumpinya langsung tersenyum kecut.
"Nah ini dia." Nyatanya suara itu duluan yang menyapanya. "Kabur dari rumah padahal jodohnya sudah nyamperin."
"Ihh, Kanjeng curang!” sungut Jelita.
Kanjeng tersenyum penuh kemenangan. Padahal dia sudah keukeh gak pulang eh malah diciduk di sini. Jelita melotot ke Akbar yang cengengesan dan memeletkan lidahnya.
"Mama suruh Ikhsan nanti jemput aja gimana?" Ucapnya dengan seringaian ala Mama tiri.
“Mama aja sana yang pulang!” Jelita manyun dan mengacak rambutnya frustasi.
***
"Mam, please. Jangan paksa Jelita untuk secepatnya menjatuhkan pilihan sama Ikhsan." Jelita yang digeret paksa Kanjeng untuk mengikutinya mencoba bernegosiasi. "Jelita butuh sesuatu supaya yakin kalau memang Ikhsan itu—"
"Stop Jel." Kanjeng mendelik. Jelita mingkem. "Kamu aja selalu menghindar seperti ini gimana mau kenal dekat sama Ikhsan. Mami suka kepribadiannya, pekerjaannya juga mapan dan memiliki keteladanan seorang menantu yang baik. Seharusnya kamu bersyukur, dia memiliki niat baik untuk mengenalmu lebih jauh."
"Yakin kalau dia gak akan lari setelah tahu Jelita ini seperti apa?" Bisiknya lagi.
Melewati lorong rumah sakit yang mulai ramai, Kanjeng yang memeluk sebelah lengan Jelita dan membawanya mengarah ke parkiran balik berbisik.
"Sepertinya dia berani mengambil resiko itu. Nyatanya kemarin sore saat mengantarkan makananmu yang sudah dihabisin sama Papi—" Jelita mendelik. "Dia hanya tersenyum dan mengatakan tertarik mengenal kepribadianmu lebih jauh. Dia malah minta maaf sama Mami karena gak bisa mengantarmu pulang cuma makanannya aja karena kamu sudah kabur duluan naik angkot." Jelita cengengesan saat Kanjeng melototkan matanya. "Kenapa kelakuanmu sangat tidak terpuji seperti itu? Main pergi aja tanpa permisi."
"Habisnya dia pakai acara bohong-bohong sih. Ngakunya duda beranak tiga—Aduuhh." Kanjeng mencubit hidungnya gemas. "Jadinya Jelita kabur. Ogah banget jadi Mama tiri. Nanti kalau Jelita berubah jadi Mama tiri jahat karena ingin merebut harta bapaknya, gimana?"
"Kamu kebanyakan nonton sinetron! Mami gak akan mengenalkan kamu sama duda. Siapa yang suruh gak dibaca dulu itu biodatanya," dengus Maminya. "Pokoknya kamu harus mencoba untuk kenal dekat sama dia. Mami nggak mau tahu! Lebih bagus lagi kalau kalian langsung minta nikah aja dan kenalannya setelah menikah seperti Dustin dan Bianca—" Jelita reflek menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Jadi misi kedua Mami kan sukses besar."
"Jangan lakukan hal itu Mi. Cukup Dustin tapi jangan Jelita." Wajah Jelita sudah seperti orang memelas.
Saat mengalihkan tatapannya ke depan, matanya menangkap sosok lelaki yang berjalan dari arah berlawanan memakai setelan baju operasi dengan masker yang menutupi separuh wajahnya tapi yang membuat Jelita terpaku sesaat adalah tato yang terpampang di lengannya.
"Makanya kamu harus nurut apa kata Mami—" Jelita tidak lagi mendengarkan perkataan Kanjeng karena sibuk memperhatikan dokter itu saat berpapasan dengannya. Tanpa terduga mata lelaki itu balik menatapnya membuat dadanya berdebar tidak karuan. Berasa lagi main film, setelah dokter itu lewat, Jelita reflek menghentikan langkah kakinya dan berbalik lalu melepas cekalan Kanjeng di lengannya dan berseru untuk dokter yang terus berjalan menjauh itu. "Sebentar Pak dokter."
Jelita melihat lelaki itu reflek menghentikan langkah kakinya. Kesempatan bagi Jelita yang langsung mendekat dengan wajah penasaran.
"Jel—" tegur Kanjeng.
"Bentar Mi."
Jelita mendekati dokter itu dengan rasa penasaran yang nyata juga harapan terselubung. Memperhatikan tato dan penampilannya dari atas ke bawah dan terakhir menatap matanya.
"Dokter Haristama Alvaro?"
Jelita berharap kalau memang lelaki yang ada di hadapannya ini dokter Tama. Dilihatnya dia agak terkejut sedikit dengan tubuh agak kaku tapi setelah beberapa detik lelaki itu seperti tersenyum karena matanya sedikit menyimpit. "Maaf, salah orang."
"Hah!!" Jelita melipat lengannya di d**a, tidak terima. Di sebelahnya Kanjeng juga terlihat memperhatikan. "Masa bukan sih?"
"Ekhmm, saya sedang sibuk. Kalau begitu—"
"Tunggu sebentar." Jelita mendekat, membuat dokter itu reflek mundur. "Bisa tolong buka maskernya sebentar saja."
"Anda salah orang Tante." Jelita melotot dipanggil Tante. Sialan! "Saya harus bekerja."
"Enak aja Tante. Aku masih gadis," sembur Jelita tidak terima. "Turunkan sedikit saja supaya aku yakin kalau kamu bukan dokter Tama supaya aku bisa tidur tenang malam ini."
"Maaf Tan—" Lelaki itu diam sesaat. "Maaf ya tapi saya sedang sibuk. Permisi."
Saat dokter itu hendak pergi, Jelita menahan lengan lelaki itu lalu tangan yang lainnya bergerak mendekati wajahnya mencoba untuk membuka paksa masker itu tapi belum sempat dia pegang, pergelangan tangannya di tahan oleh lelaki itu. Mereka saling menatap intens.
"Kamu Tama kan? Aku tahu dari matamu dan juga tatomu."
"Kamu sangat tidak sopan," balas lelaki itu yang coba menahan geram.
"Jelita."
Mereka bertiga sontak menoleh ke arah belakang dan Jelita langsung melotot kaget saat dilihatnya Ikhsan berjalan mendekat dan seketika dia teringat dengan omongan lelaki itu yang akan langsung melamarnya jika melihatnya lagi.
"Eh, calon mantuku datang," sambut Kanjeng dengan senyuman bahagia.
"Aduhh!" pekik Jelita saat dokter itu menghempaskan tangannya dan pergi begitu saja. "Eh, tunggu Maaaaas—"
"Jelita, diam disitu!!" tegur Kanjeng yang menahan langkahnya untuk mengejar lelaki yang dia duga Tama itu.
"Saya sudah menunggu dari tadi." Suara Ikhsan jelas berada di belakangnya. "Kalau begitu saya antar pulang sekarang."
"Oh iya dong.”
Kanjeng menarik lengan Jelita agar berbalik dan nyengir saat bertatapan wajah lagi dengan Ikhsan yang hanya tersenyum tipis. Kanjeng menariknya pergi dari sana bersisian dengan Ikhsan. Jelita masih sempat mengedarkan pandangannya dengan tatapan kecewa saat sosok dokter itu tidak lagi terlihat. Padahal tadi dia berharap itu Haristama tapi kenapa Ikhsan malah datang di saat yang tidak tepat.
Jelita menoleh dan memperhatikan lelaki itu dari samping. Bertanya-tanya kenapa lelaki ini ingin mengenalnya lebih jauh. Apa dia mengalami yang namanya love at the first sight saat kamarin mereka bertemu dengan bunga-bunga cinta yang bermekaran saat melihatnya?
Tiba-tiba Ikhsan menoleh dengan tatapan yang langsung mengunci manik matanya membuat Jelita mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Duh, bagaimana ini?
***