PROLOG
Jakarta, Indonesia
Jelita menghembuskan napasnya pelan saat turun dari ojol di pelataran parkiran café yang sore ini cukup ramai. Sempat berhenti sebentar di samping mobil Audy hitam berkaca gelap yang terparkir untuk merapikan rambutnya yang mencuat serta bibir yang dimonyongin ke depan memastikan gincunya oke dan terbengong saat kaca mobil perlahan turun menampilkan sosok lelaki gondrong dengan alis terangkat naik membuat Jelita langsung menutupi separuh wajahnya dengan rambut.
“Maaf,” gumamnya, buru-buru pergi dari sana.
“Sialan!” decaknya, menoleh sesaat ke belakang sambil jalan, “Bikin malu Incess aja.”
Merutuki Pretty yang meninggalkannya tidur sendirian di rumahnya setelah semalam harus perform di salah satu club malam yang ada di Jakarta hingga pagi dan tidur nyenyak sampai suara ponselnya yang tidak berhenti berdering membangunkannya dan suara menggelegar Kanjeng Mami membuatnya seperti dijatuhkan dari ketinggian.
Teringat dengan ancaman yang diberikan Kanjeng kalau dia mangkir dari acara kopi daratnya.
"JELITA MAHARANI!! Mami kerja keras di sini mencarikan kamu lelaki yang sekiranya bisa dipertimbangkan jadi suami masa depan tapi kamu malah asyik ngorok. Jangan ngebo terus kalau gak mau jodohmu dipatuk ayam. Pertemuan sore ini jam empat. Kamu harus menemuinya dan jangan buat Mami malu lagi. Terakhir kali kopi darat, kamu menyiram lelaki itu dengan air kobokan."
Jelita teringat dengan Dion, lelaki metroseksual yang terlihat sekali playboynya.
"Itu salahnya sendiri Mam. Masa iya baru ketemu sekali sudah berani pegang-pegang, ngelus-ngelus lengan sambil kedip-kedip. Kan minta ditabok jadinya. Untung gak Incess smackdown di tempat!!"
"Ah kamu ini, kan bisa dikasih tahu dengan cara halus," kilah Maminya. "Ya sudah lupakan saja dia. Sekarang kamu bangun, ganti baju yang sopan dan rapi terus datang ke tempat yang alamatnya sudah Mami kirim ke ponselmu."
"Incess cepak Mi. Lewatin aja ya," rengeknya.
"Kalau begitu, minggu depan, jangan harap Mami memperbolehkanmu ke Paris”
Diancam seperti itu jelas membuat Jelita langsung kicep dan bangun dari posisi berebahnya.
“Jangan telat!! Berkelakuanlah yang baik. Mami suka laki-laki ini."
Untuk yang kesekian kalinya, Jelita harus mengalami kejadian seperti ini lagi. Kalau sebelumnya beliau nampak tenang-tenang saja ketika dia belum juga mengenalkan calon suami malah sibuk sendiri dengan dunia malamnya tapi sekarang, saat umurnya sudah kepala tiga lebih, Jelita benar-benar dibuat pusing dengan tingkah Maminya.
Sebentar lagi, drama Aisyah jilid dua versi Jelita Maharani benar-benar akan terjadi setelah sebelumnya sukses besar menjodohkan adik bungsunya, Andreas Dustin dengan Bianca. Untungnya sih, Kanjeng masih memperbolehkannya memilih di antara kandidat yang disediakan.
Tapi heran aja, si Kanjeng ini dapat stok lelaki dari mana sih?
Melewati pintu masuk café, Jelita celingukan. Diedarkannya pandangan, melangkah semakin ke dalam menatap bergantian antara ponsel dan pengunjung cafe mencari lelaki yang sesuai dengan deskripsi Maminya. Setelah berputar, matanya menangkap sosok itu di kejauhan sedang duduk dengan tatapan mengarah ke luar ditemani secangkir kopi di meja.
Jelita berhenti sesaat, menggenggam ponselnya erat dan bermonolog sendiri. "Selesaikan dengan cepat dan pergi dari sini."
Jelita menghembuskan napas, kembali melanjutkan langkahnya mendekati laki-laki itu.
"Maaf terlambat," sapanya. "Ikhsan kan?"
Lelaki itu mengalihkan tatapannya, memperhatikan penampilannya tanpa ekspresi seraya melipat lengannya di d**a, menurunkan pandangan melihat jam tangan mahalnya dan kembali menatapnya. "Terlambat satu jam?" Jelita nyengir, menarik mundur kursi di depan lelaki itu. "Saya maklum karena memang orang-orang sekarang sukanya ngaret apalagi kaum wanita."
"Aku punya alasannya," sela Jelita, meletakkan tas kecilnya di atas meja.
"Oh ya. Apa?" Baru akan membuka mulut, lelaki itu menyela. "Biar saya tebak. Membutuhkan waktu lebih dari dua jam untuk mandi, entah di dalam memang mandi atau tidur—" Jelita nyengir mendengarnya. "Belum lagi memilih baju yang akan dipakai dan berdandan yang membutuhkan waktu lebih dari dua jam juga. Menambal wajah dengan bedak dan riasan-riasan yang kadang gak penting—"
Padahal, Jelita tadi sama sekali tidak mandi. Hanya mencuci muka dan sikat gigi lalu berdandan seadanya bahkan meminjam pakaian Pretty yang paling biasa. Hanya celana jeans robek di bagian lutut, kaos hitam bertuliskan Women is Strong, heels 10cm-nya dan memoles make up-nya tipis-tipis. Dia lama karena ojol yang ditunggunya gak datang-datang. Kalau pakai taksi, bakalan lebih lama lagi.
"Semuanya penting," sela Jelita. "Bagi wanita, itu penting."
"Bagi saya, yang penting wajahnya masih utuh meski tanpa polesan riasan, itu sudah cukup."
Jelita ber-O seraya mengangguk. Iya kali demit, wajahnya gak utuh. Jelita mengalihkan tatapan ke sekitar, memanggil pramusaji yang dengan sigap mendekat membawa buku menu.
"Namamu Jelita Maharani?" tanya lelaki itu seraya melipat lengannya di atas meja.
"Benar. Kamu pasti sudah baca biodataku dari si agen perjodohan." Alias si Kanjeng.
Pramusaji memberikan buku menu, Jelita melihatnya sebentar dan menyebutkan beberapa makanan yang dilihatnya dalam porsi mengenyangkan agar gemuruh perutnya yang bergejolak kelaparan bisa ditenangkan. Bodo amat dibilang rakus!
"Kamu pesan apa?" tanya Jelita setelah selesai dengan pesanannya "Hanya kopi itu?" tunjuknya ke segelas kopi milik Ikhsan yang sudah hampir habis.
"Kamu saja. Saya sudah gak nafsu makan karena harus nungguin orang yang lama banget datangnya."
Jelita mencibir, untung ganteng. Lalu menyerahkan buku itu kembali ke pramusaji yang langsung berbalik pergi.
"Aku sudah minta maaf tadi. Oke."
Jelita berusaha sabar, memperhatikan lekat lelaki di hadapannya; wajahnya bersih, alisnya tebal, tatapan matanya tajam dan rambutnya rapi tapi tidak banyak berekspresi. Untuk penampilan, Jelita kasih nilai delapan, entah bagaimana sifatnya. Lelaki itu kelihatannya ahli nujum – ah maksudnya, ahli mencibir.
"Kamu bisa masak?"
Jelita langsung menggelengkan kepala.
"Ngurus rumah?"
"Aku bisa belajar pelan-pelan."
Lelaki itu manggut-manggut, terlihat serius sekali. Jelita merasa sedang diinterview kerja untuk posisi pembokat. Lalu pramusaji datang membawakan minuman dinginnya yang langsung diminumnya tanpa permisi karena memang haus berat.
"Kamu bisa ngurus anak?" Pertanyaan berlanjut.
Enaknya buat anak aja dia belum tahu gimana rasanya apalagi ngurusnya.
"Aku juga bisa belajar pelan-pelan." Jelita nyengir lagi. "Selama ini aku terlalu sibuk dengan kegiatanku di luar tapi setiap wanita pasti bisa melakukannya kalau mereka sudah dihadapkan pada keadaan itu kan?"
Jelita memang tidak seperti Kanjeng yang seorang ibu rumah tangga sejati jadi jawaban yang menurutnya cerdas hanya seperti itu supaya gak malu-maluin.
"Anggap saja insting keibuan pasti keluar kalau sudah memiliki anak."
Jelita menyesap lagi minumannya dan Ikhsan terlihat bisa menerima alasannya.
"Setelah menikah dengan saya, kamu bisa langsung belajar. Tiga anak saya di rumah sudah besar-besar jadi tidak terlalu merepotkan." Jelita hampir saja menyemburkan minumannya. Melihat wajah kagetnya, Ikhsan menaikkan alisnya. "Kamu sudah baca biodata saya kan? Saya duda tiga anak."
OH KANJEEENGGGG!!! pekik Jelita dalam hati.
Jelita mati kutu. Padahal dia sudah bilang jangan mempertemukannya dengan lelaki yang pernah menikah. Bukannya apa sih, tapi Jelita tidak siap menjadi sosok ibu tiri yang harus beradaptasi dengan anak-anak bawaan lelaki yang dinikahinya terlebih lagi kalau anak-anaknya sudah besar semua.
"Kamu gak kelihatan seperti duda?" tanya Jelita penuh selidik.
"Memang. Saya masih dua puluh delapan tahun." Jelita melotot gak nyantai. Dalam hati menghitung jarak umur mereka. Lelaki bernama Ikhsan ini sepantaran dengan Dustin. "Saya menikah umur dua puluh satu tahun dan sudah memiliki tiga anak."
OH WOW OH WOW. Jelita hanya bisa tersenyum tipis-tipis. Hilang nafsu makannya.
"Kalau nanti kita menikah, bisa ditambah jadi empat. Rumah jadi ramai. Ya kan?"
Ikhsan mengatakannya dengan nada santai membuat Jelita ternganga bingung mau membalas apa. Kelihatanya Ikhsan ini, tipe lelaki yang suka membuat istrinya bunting dan beranak banyak.
"Jadi, kapan saya harus datang ke rumah dan melamarmu?" Jelita mendelik ketika Ikhsan tidak memberinya jeda. "Besok? Saya sudah siap lahir dan batin."
Oh MY GOD. TOLONG JANGAN!!!
"Awwww—" Jelita memekik kecil seraya memegangi perutnya membuat lelaki itu kaget.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Aduh, sakit perut! Biasanya jam-jam segini harus nongkrong di kamar mandi. Permisi dulu ya."
Lelaki itu menyimpitkan mata, Jelita nyengir, buru-buru mengambil tas tangannya dan pergi dari sana mengarah ke toilet. Belum sampai di tempat tujuan, Jelita melakukan manuver banting setir ke kanan menuju pintu samping dan keluar dari sana secepatnya.
Bukan salah lelaki itu tapi Jelita memang belum siap menikah dengan duda.
Jelita meletakkan ponsel di telinga saat berdiri di pinggir jalan mencoba mencari taksi atau apapun yang bisa membawanya pergi sambil celingukan ke arah cafe takut kalau lelaki itu keluar mencarinya.
"Apaan sih?" semprot Pretty saat mengangkat panggilannya.
"Kita harus secepatnya ke Paris.”
"Hah!! Paris?"
"KYAAA!!!" Bukannya menjawab, Jelita malah memekik saat dilihatnya Ikhsan keluar sambil celingukan. Membuatnya langsung masuk ke dalam angkot yang berhenti tidak jauh darinya.
"Cepat jalan,Pak," katanya seraya menepuk pundak Pak supir tanpa mengalihkan tatapannya dari Ikhsan. "Yang laju ya Pak, ngebut kalau bisa."
"Mbak-mbak." Mas kernetnya memanggil saat angkot sudah berjalan. "Gak lihat nih semua penumpangnya, bisa jantungan kalau laju-laju Mbak."
Jelita terdiam, mengedarkan pandangan dan cengar-cengir saat menyadari ada lima nenek-nenek yang memandanginya dengan mata menyimpit.
"Ah, maaf ya Nek," ucapnya seraya menganggukkan kepala yang dibalas gelengan kepala, duduk menyandar dengan helaan napas panjang. Yang penting, dia sudah jauh dari cafe tadi. Tidak lama, ponsel dalam genggamannya berbunyi tanda ada chat masuk.
0813xxxxxx
Saya melihatmu naik angkot tadi. Kabur? karena saya duda? Gak apa-apa, tadi saya hanya mengetes aja. Coba kamu lihat lagi biodata saya dengan teliti.
Jelita mendelik saat melihat pesan yang dikirimkan Ikhsan lalu secepat kilat membuka biodata yag dikirimkan Maminya tiga hari yang lalu yang sama sekali tidak dibukanya dan melotot saat melihat isinya.
"Ikhsan Levi Pramansya. 32 tahun. Single. Direktur Utama Levi Coorporation yang bergerak di bidang retail dan ekspor impor."
Jelita mendengus lalu menoleh ke luar, memikirkan kemungkinan Ikhsan sedang menertawakan sikapnya yang kabur diam-diam saat ponselnya berbunyi lagi.
0813xxxxxx
Kalau kita bertemu lagi nanti, saya akan langsung melamarmu, Jelita Maharani. Makanan yang tadi akan saya antar ke rumah. Selamat sore.
"BHAHAHAHAHAHAH!!!"
Jelita tertawa sendiri membuat semua nenek-nenek itu kaget melihatnya dan berbisik-bisik. Menertawakan dirinya sendiri yang konyol. Lalu, masih sambil tersenyum geli, dia menuliskan kalimat balasan.
Incess Jelita :
Mungkin kita belum berjodoh.
Jodoh? Di mana sebenarnya jodohnya berada. Meski sejak awal lelaki tadi tidak berbohong tentang statusnya tapi lagi-lagi, not him. Jelita sama sekali tidak merasakan apapun terhadapnya. Jadi, Jelita tidak menyesalinya. Lelaki itu bisa mendapatkan wanita yang lain.
Jelita melihat ke arah luar, duduk tegak dengan kepala memutar ke kanan dan ke kiri saat menyadari sesuatu yang salah.
"Loh Pak Sup, ini bukan jurusan Kelapa gading ya?"
Semua serempak menoleh ke arahnya dan para nenek yang tadi langsung menertawakannya ramai-ramai. Jelita menyembunyikan separuh wajahnya dibalik tas tangannya.
"Aduh Mbak, salah angkot," kata Mas kernet ikut tertawa.
Jelita manyun dan seakan melengkapi penderitaannya, perutnya berbunyi nyaring karena lapar dan semakin meledaklah tawa semua Nenek yang ada di sana.
Ah sial. Pusing pala Incess!!
***