“Aku masih memikirkan Daniel. Bu … bu … bukan maksud aku….” Numa merasa kurang enak dengan Timo karena dia menyinggung Daniel saat sedang bermesraan dengan Timo.
“Nggak apa-apa, aku akan mendengarkan kamu,” ujar Timo cepat, tidak ingin Numa merasa terhalang bebas mengungkapkan perasaannya, apapun itu.
“Aku kesal, dia … diajak berhubungan badan oleh temanku, teman sekelas aku.”
Dahi Timo mengernyit mendengar kata-kata Numa. “Oh, begitu, hm … dia mungkin ingin merasakan tantangan dengan selingkuh, merasakan tubuh lain.”
“Heh? Om kira dia begituan sama aku?” Numa berubah galak.
“Ya, aku … aku nggak tahu, aku hanya menilainya begitu. Jadi?” Timo tergagap, bingung dengan sikap Numa yang berubah lebih galak.
“Aku nggak pernah begituan sama Daniel!!” ujar Numa ketus dan menatap wajah Timo dengan tatapan penuh amarah.
“Oh. Yess.” Timo tiba-tiba bersorak lega, sambil mengeratkan pelukannya. Tapi Numa malah mendorong d**a Timo, dia ingin duduk dan tidak mau dipeluk manja.
Numa duduk di atas kasur Timo sambil memeluk kedua lututnya. “Dia juga nggak pernah sentuh aku di situ, kayak yang Om lakukan tadi,” gerutunya. “Om sudah keterlaluan pegang-pegang aku.”
“Oke oke, aku minta maaf.”
Numa tersenyum kecil, “Tapi aku menyukainya.”
Timo beranjak dari tempat tidur menuju lemari baju dan mengambil baju kaus santainya dan memakainya, juga celana pendek. Kemudian dia duduk di samping Numa.
“Jadi kamu dan Daniel—“
“Ya, gara-gara temenku ajak dia n***e malam minggu, aku putusin dia.”
“Oh.” Timo sedikit bergidik mendengar penjelasan Numa. “Oke, aku … nggak akan—“
“Ssst. Kalo Om beda. Aku yang mau dipegang.” Numa mengambil salah satu tangan Timo dan mendekatkannya di dadanya.
Timo tersenyum kecil, bertekad dalam hati bahwa dia akan menjaga Numa. Dia mengambil tangan nakal Numa dan memegangnya erat-erat.
“Aku sayang—“
“Aku sayang kamu, Numa,” balas Timo cepat, dan dia memang sudah sangat menyayangi gadis itu.
Numa tersenyum malu.
“Hanya sebuah pesan dan aku memutuskannya,” ujar Numa, kembali mengingat kejadian yang menyebabkan hubungan asmaranya dengan Daniel berakhir. Dia berdecak kecil, “Maaf, Om. Aku lagi kesal saja. Aku sudah cerita semuanya sama Om.”
“Mau beribu kali kamu cerita tentang itu, aku akan mendengarmu.” Timo mendekap pinggang Numa erat, sambil menatap wajah Numa dari samping, matanya sedikit memicing, membayangkan dirinya bersetubuh dengan gadis muda ini pastinya sangat membahagiakan, dan tidak ada kebahagiaan lain selainnya.
Merasakan belaian tangan Timo di pinggang, Numa merasakan gelisah dan nikmat bersamaan, juga aliran hangat di selangkangannya.
“Om Timo,” panggil Numa pelan.
“Ya?”
“Enak ya, Om.”
“Kan sudah aku bilang, enak banget.” Timo mendekatkan bibirnya di leher Numa dan Numa mendesah sambil menggigit bibir.
Timo sendiri juga gelisah, batangnya mengeras, dan dia yang terus menahan diri. Ingin menenangkan dirinya, dia membelai kepala Numa dan menariknya dan melumat bibirnya dengan sangat lembut, membiarkan perasaannya melayang dan pikirannya yang tenang.
“Aku tenang bersamamu, Sayang,” ujar Timo sambil mengatur deru napasnya yang memburu.
Timo menyudahi lumatan bibirnya, mengelus ujung-ujung bibir Numa sambil membayangkan bibir gadis itu mengulum miliknya suatu saat, seperti yang pernah dia rasakan.
Timo melirik jam, dan berdecak dalam hati. “Papa kamu sebentar lagi pulang.”
Numa memperbaiki rambutnya dan mengikatnya, terlihat sangat seksi di mata Timo.
“Aku pergi ya, Om,” ucap Numa, lalu dia beranjak dari tempat tidur Timo dan bersiap-siap ke luar kamar.
“Ya, kalo lagi kepingin, datang saja, telepon saja aku. Aku selalu sedia dan setia untuk kamu.”
Numa tertawa kecil, kata-kata Timo penuh rayuan dan dia menyukainya.
Timo menghela napas lega saat melihat langkah kecil cepat Numa menuju rumahnya.
***
Numa sudah berada di dalam kamar, menutup pintu dan bersender di balik pintu. Dia tersenyum kecut, lupa menanyakan jati diri Timo yang sebenarnya. Tapi apa boleh buat, waktu tidak cukup untuk bercerita, karena papanya yang sebentar lagi pulang ke rumah dan Numa yang belum mau hubungannya dengan Timo terendus.
Numa menghempaskan tubuhnya di atas kasur sambil mengenang kemesraannya dengan Timo dan dia tersenyum bahagia. Kenapa waktu terasa sangat cepat ketika bermesraan, dan sekarang sudah malam.
Tidak lama kemudian, terdengar bunyi deru mesin mobil yang masuk ke pekarangan rumah, suara mesin dari mobil yang sangat familiar di telinga Numa.
Tiba-tiba pintu kamar Numa diketuk dari luar.
Numa dengan malas beranjak dari tempat tidur.
“Hei, masih jam delapanan, tumben sudah siap tidur,” ujar Irfan, mengamati Numa yang sudah berpakaian santai tapi rambutnya acak-acakan.
“Lusa mama kamu mau datang ke mari,” ujar Irfan lagi.
“He? Nggak salah? Tumben?” balas Numa cuek. Sudah hampir dua tahun mamanya tidak berkunjung ke rumah, tiba-tiba papanya memberi kabar bahwa mamanya akan datang ke rumah. “Mau apa Mama sih, Pa. Mau rujuk? Nggak ah. Lebih baik Papa cari yang lain deh.”
“Eits? Emang sudah boleh Papa kawin lagi?”
“Ya, boleh. Asal jangan sama Mama.”
“Ok.” Irfan mengamati kamar Numa, “Hm … boleh Papa masuk?”
Numa seketika merasakan jantungnya berdegup, “Mau apa, Pa?”
“Ada yang mau Papa obrolin.”
“Oh.” Numa merasakan kegelisahan, khawatir papa yang mungkin saja tahu tentang Timo dan dia.
Numa membiarkan papanya masuk ke dalam kamarnya.
“Bagaimana dengan kuliah kamu?” tanya Irfan yang sudah duduk di bangku belajar Numa.
“Ya, lancar. Tinggal dua semester lagi dan aku sudah menyiapkan proposal penelitian untuk laporan akhir.”
Irfan tersenyum hangat, bangga dengan jawaban Numa. Gadis itu memang pintar sejak kecil, dan selalu mendapat rangking lima besar di kelas setiap semesternya.
Numa merasa aneh dengan sikap papanya yang tiba-tiba ingin ngobrol dengannya.
Irfan menarik napasnya dalam-dalam sebelum memulai bicara. “Mamamu datang ke sini untuk menemui om Timo.”
Numa mendelik, “Om Timo.”
“Ya, om Timo. Yang kamu lupain itu, padahal waktu kamu kecil kamu sering dia gendong.”
“Oh.”
“Kamu ketemu, ‘kan sama dia?”
“Iya, di dapur, dia tinggal di belakang, ‘kan?” Numa pura-pura kaget.
“Ya. Om Timo usahanya bangkrut, makanya dia tinggal di sini dan bekerja di bengkel Papa. Dan Papa tahu dia nggak lama di sini.”
“Terus Mama ngapain mau ketemu om Timo?” tanya Numa.
“Dulu itu Mama kamu suka sama om Timo.”
“Ha?”
Bersambung