"Om Timo. Beeeh ... raaar. Macho banget, mana kalo senyum bikin gue dag dig dug serrr." Molly masih terus memuji-muji Timo, masih mengingat Timo yang ramah kepadanya.
Numa tersenyum kecil, mengingat malam hebat semalam bersama Timo dan sepertinya dia ingin mengulanginya lagi.
"Besok gue ke sana, ketemu dia lagi. Dan gue nggak peduli apa dia sudah punya bini, pacar, gebetan, atau apalah."
Numa tertawa kali ini, dia yakin Molly pasti semangat jika dia beritahu bahwa Timo adalah seorang duda. Tapi, dia memilih diam saja.
"Numa. Astaga, kok bisa jadi tukang bengkel ya? Ganteng benerrr, mana kulitnya bersih."
Numa mendengus tersenyum, apa yang Molly katakan tentang Timo memang benar, Timo berbadan tegap, dadanya bidang dan perut yang ramping berotot. Kulitnya bersih terang dan kencang, wajahnya yang sangat tampan serta rambut panjang tebal terikat di belakang, terkadang terlihat digulung rapi. Numa yakin Timo adalah pria keturunan Eropa. Ah, Numa jadi penasaran siapa Timo yang sebenarnya, yang dia tahu adalah sahabat papanya.
"Heh, Molly. Selera lo diperbaiki dong, masa naksir ma tukang bengkel. Yang ada lo yang boncos saban hari," sela Ega, teman Numa yang lainnya. "Mana baru kenal juga, kalo laki orang jangan lo embat."
"Serah gue." Molly langsung cemberut mendengar teguran Ega.
"Lagian niat tu dibenerin, Molly. Pede banget diterima gitu," ujar Ega lagi.
Molly mengangkat kedua bahunya, tidak peduli, dia berbisik pelan ke Numa. "Tapi gue yakin, om Timo ini keknya nggak punya bini, hm ... sama kayak bokap lo ... duda."
Numa mengulum senyumnya, Molly sudah telat, dia sudah lebih dulu mengenal Timo dan merasakan sentuhan mautnya.
"Hm ... perkenalan yang sangat mengesankan, dan aku sudah tahu nama lengkapnya. Timothy Daud Ibrahim. Ck ... sesuai dengan namanya, hmmm."
Senyum Numa langsung surut, entah kenapa dia merasa cemburu karena Molly sudah mengenal Timo lebih jauh. Dia yakin, pasti Timo sedang tebar pesona di belakangnya.
Tak lama kemudian, dosen yang mengajar pagi itu datang ke kelas, diikuti beberapa mahasiswa lainnya, termasuk Daniel. Laki-laki tampan dengan perawakan oriental tersebut langsung duduk di sebelah bangku Numa.
"Hei," sapa Daniel ke Numa. Dia tampak rapi dan wangi pagi ini.
Pandangan Numa lurus ke depan, tidak memedulikan sapaan Daniel, juga tidak peduli dengan penampilannya yang rapi. Namun, saat Daniel menyapa dengan paksa, Numa menoleh ke arahnya dan memberinya senyum tipis dan mata memicing sinis.
Numa bisa mengikuti kuliah dengan baik. Dia tidak menyadari bahwa Daniel beberapa kali menoleh ke arahnya. Tatapannya menunjukkan bahwa dia masih sangat berharap Numa memaafkannya dan kembali bersama seperti sebelumnya.
Kuliah selesai dalam waktu dua jam, dan Numa menghela napas lega. Dia yakin semester ini masih bisa mempertahankan nilai terbaiknya.
"Numa," panggil Daniel.
"Ya?" Numa menoleh ke arah Daniel, dia juga tidak mau terus-terusan jutek di depan mantan kekasihnya itu.
"Gue ... minta maaf," ucap Daniel.
Numa tersenyum kecil. "Gue udah maafin lo, Dan. Lo nggak perlu repot-repot minta maaf lagi."
Daniel tersenyum kecut. "Beri gue kesempatan, Numa. Gue akui salah. Lagi pula ... baru satu kali gue ... itupun gue nggak benar-benar sampai segitunya dengan Lisa."
Numa membereskan bangkunya dari alat-alat tulis dan memasukkannya ke dalam ransel pinknya. "Gue udah bilang ma lo, gue nggak peduli lo sampai begituan sama Lisa atau nggak begituan sama dia, gue tetap bukan pacar lo lagi."
Daniel cemberut. "Gue kangen lo, Num."
Numa tersenyum dalam hati, dia merindukan Timo, tapi dia juga kesal dengan duda itu.
Numa sudah siap pergi ke luar kelas. "Sori, Daniel. Gue nggak mau ... gue mau bebas."
Daniel mengejar langkah Numa di dekat pintu kelas. "Numa," panggil Daniel, dan kali ini dia benar-benar agak memaksa, sampai harus menahan lengan Numa.
Numa menepis cekalan tangan Daniel, tapi dia menghentikan langkahnya, menghadap Daniel, menunggu laki-laki itu angkat bicara.
"Numa. Please, kasih gue kesempatan. Gue benar-benar hancur sekarang."
"Jangan paksa gue, Dan. Lo juga, 'kan bisa bebas, kita sama-sama bebas. Dan lo nggak hancur."
"Lo sakit hati karena gue dan Lisa, 'kan?"
"Gue sudah nggak sakit hati lagi ma lo. Lo bebas sekarang. Jangan maksa deh. Coba lo pikir, kita balikan, tapi perasaan sayang dan cinta gue nggak akan sama kayak dulu. Lo yang tersiksa, gue juga. Nggak baik buat kita berdua."
Daniel menatap lekat-lekat wajah Numa, dan Numa balas menatapnya dengan senyum manisnya. "Gue ... kangen lo banget, Num. Gue berharap banget lo ngasih gue kesempatan. Nyokap ... nanyain lo."
Numa masih dengan senyumnya. "Daniel. Lo ingat nggak pertama kali gue ketemu nyokap lo, nyokap lo kurang suka sama cewek yang berasal dari keluarga yang orang tuanya sudah bercerai—"
"Numa, dulu lo nggak masalah dengan itu, itu juga nyokap nggak sengaja ngomongin itu dan dia nyangka lo dari keluarga lengkap. Setelah itu dia nggak masalah begitu tahu orang tua lo cerai. Kenapa lo ungkitin itu sekarang?"
"Itu artinya, kita memang nggak bisa bareng lagi. Lo harus ikuti keinginan nyokap lo." Numa menunjuk d**a Daniel. "Yakin, lo bisa dapetin yang lebih baik dari pada gue."
Numa tidak mengerti kenapa begitu gampangnya dia berbicara seperti ini di depan Daniel. Mengungkapkan kembali kata-kata yang meluncur dari mama Daniel yang pernah menyinggung tentang keluarga yang tidak lengkap yang tidak dia sukai.
Daniel terdiam, sepertinya Numa benar-benar sudah tidak mau berhubungan dengannya lagi.
Numa menyerahkan tangan kanannya. "Kita temenan aja—"
"Teman tapi mesra?"
Numa meninju lengan kurus Daniel, dan Daniel yang mulai menunjukkan senyum di wajahnya.
***
Karena tidak ada kuliah setelah makan siang, Numa pulang ke rumah lebih awal. Biasanya dia menghabiskan waktu hingga sore atau menjelang sore di perpustakaan kampus atau di mall, sendirian atau bersama Molly, teman dekatnya.
Numa merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar, wajahnya murung mengingat dua pria yang mengecewakan, Daniel dan Timo.
"Om Timo," gumam Numa, mengingat kembali wajah binar Molly yang tengah menginginkannya, memujinya setinggi langit, dan dia yang lebih dulu tahu nama lengkapnya.
Ingin mengusir gundahnya, Numa menghubungi Timo, dia berharap Timo sedang beristirahat di tempatnya bekerja.
"Halo."
Numa memejamkan matanya, suara bass Timo menggetarkan perasaannya. Seketika hatinya juga merasa tenang.
"Om lagi santai?" tanya Numa.
"Ya, sedang istirahat makan siang."
"Kok jam dua?"
"Aku sengaja ambil jam makan siang telat."
"Oh."
"Kangen aku?"
Numa berdecak, dia memang merindukan Timo, tapi dia sedang kesal dengan duda itu.
"Om tadi ketemu Molly ya?"
"Ya, dia cerita sama kamu?"
"Iya."
Terdengar tawa kecil Timo.
"o*******g ya sama Molly." Numa mulai jengah, tidak menyukai dirinya ditertawakan.
"Numa?"
"Om tebar pesona ya sama dia? Sampe dia tahu nama lengkap Om!"
"Numa. Hei..."
Numa yang kesal, langsung menutup ponselnya.
Bersambung