Numa bangun di awal pagi dan mendapatkan tubuhnya terasa segar. Dia tidak lagi merasakan sakit di kakinya, dan bisa berjalan seperti biasa. Setelah berpakaian rapi, Numa meraih tasnya juga termos milik Timo, dia hendak mengembalikannya pagi ini juga, khawatir Timo memerlukannya. Apalagi Numa tahu termos Timo berharga jutaan, dia pernah melihat termos itu dibawa salah satu teman sekelasnya. Numa sendiri tidak begitu tertarik memiliki termos, meskipun dia bisa saja membelinya.
Termos sudah dicuci bersih Numa di sink dapur dalam dan melapnya sampai benar-benar kering. Lalu dia sarapan sebentar dengan cereal, pisang dan s**u. Setelahnya, dia bergegas ke bagian belakang rumahnya.
“Neng Numa? Cari siapa pagi-pagi?” tanya Edi, salah satu pekerja di rumahnya. Dia sedang membersihkan taman.
Numa melihat Timo sedang push up di depan pintu kamarnya.
“Om Timo, Pak.”
“Oh.” Pak Edi langsung menoleh ke arah pintu kamar Timo, dia melihat Timo sedang berolah raga, lalu beralih ke Numa.
“Mau balikin termosnya,” ujar Numa.
“Saya panggilkan?” tawar Edi.
“Nggak usah, Pak. Aku sendiri saja.” Numa tidak mau mengganggu pekerjaan Edi.
Numa langsung berjalan mendekati pintu kamar Timo, dia tertegun melihat tubuh jangkung tegap sedang berayun ke atas dan ke bawah dan keringat yang mengucur deras di punggungnya.
“Om Timo.”
Timo mengangkat tubuhnya, dan langsung berdiri dengan cepat, menoleh ke belakangnya.
Lagi-lagi Numa menelan ludahnya, tubuh tegap dan tinggi Timo lumayan menggugah perasaannya.
“Numa?” delik Timo, kaget dengan kedatangan Numa. Matanya dengan cepat turun ke bawah, dan bertanya, “Bagaimana dengan kakimu?”
“Aku nggak merasakan sakit lagi.” Numa mengulurkan tangannya yang memegang termos ke Timo. “Aku mau mengembalikan ini, Om.”
Timo mendengus tersenyum. “Untuk kamu saja, aku punya satu lagi.”
“Ta … tapi ini mahal, Om.”
“Ambil saja.”
Numa sama sekali tidak berharap diberi termos, tidak peduli dengan harganya, murah atau mahal. Tapi karena Timo yang memberinya, dia menarik kembali tangannya, berucap dengan kepala menunduk, “Makasih banyak, Om Timo.”
Timo mengangguk tersenyum. “Papamu masih tidur?” tanyanya.
Numa tersenyum malu, “Ya, papa biasanya bangun jam delapan, dan aku harus pergi kuliah pagi-pagi.”
“Ok.” Timo tersenyum melihat Numa pagi ini terlihat sangat segar dan rapi, juga parfumnya yang wangi.
“Aku pamit, Om.”
Timo mengangguk. Tiba-tiba dia berseru ke Numa yang sudah berbalik arah. “Kamu cemberut kemarin.”
Numa berbalik ke Timo lagi. Perasaannya kembali nelangsa mengingat pengkhianatan Daniel, dan wajahnya cemberut lagi.
“Hei, duduk sini,” ajak Timo, duduk di bangku kecil di depan kamarnya.
Numa duduk dan wajahnya murung dan tertunduk.
Timo mengambil bangku lain dan duduk agak berjarak, sadar tubuhnya masih berkeringat.
“Aku….” Numa menggeleng, tidak seharusnya dia berbincang dengan Timo yang baru dia kenal, meskipun disebut sudah mengenalnya saat kecil dulu.
“Hei, ada apa? Ngobrol saja sama aku, aku tahu kamu mungkin segan ngobrol sama papa kamu,” ujar Timo lembut.
“Aku dikhianati pacar, Om.”
“Oh. So sad.” Timo ikut merasakan sedih Numa, meskipun berbeda kasus, tapi dia tahu bagaimana rasanya dikhianati.
“Hanya sebuah pesan, ada cewek lain yang mengajaknya berhubungan badan, pacarku nggak mengakuinya, tapi aku sendiri yang melihat pesan itu. Hm … dia bilang hanya candaan.”
Timo tidak mengenal Daniel, tapi dia akhirnya mengetahui alasan Irfan yang tidak menyukai Daniel.
“Dia minta maaf, dan aku bingung.”
“Dia sudah pernah melakukannya?”
Numa menggeleng lemah, meskipun baru satu kali Daniel berulah, tapi dia tidak sanggup memaafkannya.
“Kamu bilang saja ingin waktu merenung, setelahnya, kalo kamu yakin sama dia dan dia berubah lebih baik, ya nggak ada salahnya menerima kembali,” ujar Timo, berusaha menenangkan perasaan Numa tanpa menjelek-jelekkan Daniel.
Numa menghela napas panjang. Dia memang mencintai Daniel dan Daniel adalah cinta pertamanya. Tapi hatinya terluka mengingat pesan itu lagi.
“Hei, nggak apa-apa sedih dan itu wajar dalam percintaan. Itu artinya kamu sedang mengalami fase di mana kamu menyadari kalo kamu tahu bahwa dalam percintaan memang ada pengkhianatan.”
Tidak tahu kenapa Numa merasa ketenangan luar biasa saat berbincang hangat dengan Timo.
“Boleh tahu kenapa Om tinggal di sini? Hm … nggak tinggal di rumah sama keluarga Om?” tanya Numa hati-hati.
Timo tersenyum kecil. “Sama seperti papa kamu, Om sudah bercerai.”
Jantung Numa berdetak keras mendengar jawaban Timo, seolah terhipnotis, tatapannya cukup tajam dan intens ke wajah Timo. Dia menelan ludahnya saat melihat d**a bidang Timo yang berotot.
Timo tersenyum dalam hati, dia menyadari tatapan tidak biasa Numa ke arahnya.
“Apakah sama juga dengan papaku, hm … dikhianati mamaku.”
Timo mencebikkan bibirnya, kisah perceraiannya unik, dia dijebak berselingkuh. Tapi, tentu saja dia tidak mau menjelaskannya karena rumit. “Ya, seperti itu. Tapi ini soal bisnis. Aku dituduh melakukan kecurangan dalam bisnis keluarga mantan istri. Mereka mengusirku dan aku tidak punya apa-apa, lalu bekerja di bengkel papamu.”
Numa tertegun mendengar penjelasan Timo, dan dia kagum dengan Timo yang tampak santai meskipun dilanda kesulitan.
“Hei, kamu harus kuliah.”
“Oh, iya, Om. Tapi sebenarnya tidak ada jam kuliah di awal pagi ini. Aku biasanya langsung ke perpustakaan dan mencari bahan untuk melengkapi laporan akhir kuliah.”
“Oh, kamu sudah mau selesai?”
“Ya, dua semester lagi.”
Numa menghela napas pendek, dia sebenarnya masih enggan beranjak dari Timo dan senang berbincang akrab dengannya. “Aku pergi dulu, Om Timo.”
“Ya.”
“Senang ngobrol sama Om.”
“Datang saja ke kamar kalo mau curhat. Atau … di dapur.”
Numa mengangguk semangat dan berbalik pergi.
***
Numa berulang kali menghapus tulisannya di laptop, artikel tugas mata kuliah Perbandingan Politik belum juga selesai, padahal hanya sisa beberapa kata. Dia sudah menyiapkan materi tulisan, tapi entah kenapa otaknya mengalami stagnan. Dia memilih melihat-lihat media sosial, tapi suasana hatinya sedang tidak baik. Dia mengingat Timo yang tinggal di belakang rumah.
“Ah, lupa tanya nomor hape om Timo,” gumam Numa. Karena pikiran dan perasaannya bete, dia pergi ke luar kamar menuju dapur.
Kebetulan sekali, Numa melihat Timo berada di dapur, sedang menikmati makan malamnya.
Timo tersenyum ke arah Numa yang berjalan ke dekatnya.
“Sudah makan?” tanya Timo saat Numa duduk di sampingnya.
“Sudah.”
Timo melirik ke arah rumah. “Papa kamu sudah pulang?” tanyanya.
“Belum, biasa jam sembilan baru pulang,” jawab Numa, saat itu waktu menunjukkan pukul tujuh malam.
Numa menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan tidak semangat.
“Ada apa?” tanya Timo. Dia sangat mengenal Irfan sebagai pekerja keras. Tapi dia sebenarnya tidak setuju dengan Irfan yang kurang pandai membagi waktu. Dia akhirnya mengerti kenapa Numa dan Irfan tidak begitu dekat, karena Irfan yang terkesan tidak begitu memperhatikan Numa, sehingga Numa memiliki kepribadian yang keras kepala, setidaknya ini adalah awal analisa Timo yang baru satu minggu tinggal di rumahnya.
“Tentang pacar kamu?” tanya Timo pelan, sambil mengaduk sup dagingnya.
Numa mengangguk. “Om punya anak?” tanyanya tiba-tiba.
“Ya, laki-laki, kelas tiga SMP. Namanya Morgan.”
“Oh.”
“Hei, kita sedang bicara soal kamu … dan pacarmu.”
Numa berdecak sebal. “Sudah aku putusin, Om. Tadi aku melihatnya bersama cewek itu dan mereka ciuman—“
“Oh My God.”
Numa cemberut, dan dia pun menangis.
“Hei, ya sudah, menangislah,” ujar Timo, iba melihat Numa. Lalu dia menghabiskan makan malamnya sambil mendengarkan Numa menangis tersedu-sedu.
Numa tertunduk, baru sekarang dia menangisi hubungan percintaannya dengan Daniel. Meskipun dia sudah memutuskan dan memarahi Daniel, tetap saja dia merasa sangat sedih.
Timo sudah selesai makan malam, beranjak dari duduk sambil membawa alat-alat makan kotornya, dan mencucinya di sink dapur. Mengambil dua gelas berisi minuman hangat dan membawanya kembali ke meja makan.
Timo duduk, lebih dekat dengan Numa, berujar pelan, “Minum air hangat, akan melegakan perasaan kamu.”
Tangis Numa reda, dia minum segelas air hangat dari Timo sampai habis.
“Awal-awal memang terasa sedih, sakit hati, dan pikiran yang kacau. Tapi setelahnya, setelahnya langkah kamu akan lebih ringan karena sudah merelakan semua yang terjadi. Sekarang ini kamu pasti belum rela Daniel mengkhianati kamu.”
Numa menghela napas panjang, perasaannya cukup tenang mendengar kata-kata Timo, meskipun masih kesal dengan Daniel.
Timo melirik Numa, dia senang Numa yang tampaknya mau mendengarnya.
“Lega?”
“Iya, Om.”
Entah kenapa Timo tergerak mendekap pinggang Numa dan mengusapnya.
Numa terkesiap, tanpa ragu pula dia meletakkan kepalanya di lengan Timo.
Timo mengatur emosinya yang tidak teratur, pikirannya mulai berkecamuk, dan dadanya yang bergemuruh. Dia memang menyukai Numa sejak awal bertemu, energinya sudah terserap sejak kejadian malam itu.
Numa ndusel di lengannya.
“Mau ke kamarku?” tanya Timo berbisik.
Bersambung