Bab 11. Saingan Numa?

1100 Kata
Numa mendengus tersenyum, dia tidak sekadar bertemu Timo, dia bahkan sudah merasakan sentuhan maut laki-laki itu, berciuman dan bersentuhan dengannya. Tanpa sadar dia menggigit bibir bawahnya karena merasakan denyut-denyut nikmat di sela pahanya, mengingat pelukan dan ciuman mesra dari Timo. “Napa lo yang mesem-mesem gitu? Ah, lo pasti sudah kenal om Timo.” “Dia itu sobat bokap dan nyokap gue, Molly.” “Oh ya? Ih, kok lo nggak bilang-bilang gue sih?” “Momen yang nggak mendukung, lo liat aja gue sibuk.” Numa berusaha mengelak. “Ck, terus lo kenal dekat dong.” “Lha iya, dulu dia sering gendong gue waktu gue masih kecil.” “Ih, digendong om Timo? Ah, gemesin banget. Eh, dia single, ‘kan?” “Dia duda, baru cerai beberapa bulan lalu.” “Ha?” Wajah Molly langsung cerah dan ceria. “Beneran, Num?” Numa mengangguk lemah, dia merasa harus menceritakannya, meskipun ada banyak yang dia tutupi tentang Timo. “Oalah, baru duda. Pantesan auranya bedaaa.” Bagaimanapun, Numa tetap merasa senang karena Molly yang sekarang tidak cemberut lagi. Molly terdiam, pikirannya sudah terbang ke mana-mana, sepertinya dia sudah punya rencana. “Numa, gue minta tolong dong, hm … kalo lo nggak keberatan, minta nomor hape om Timo.” Numa mengerutkan bibirnya, lalu mengangguk. *** Timo pulang sore itu dan dia melihat mobil SUV mewah berwarna merah terparkir di pekarangan rumah Irfan. Dia pikir Numa sedang kedatangan teman, karena Irfan masih bekerja sampai malam di bengkel. Dia bergegas ke bagian belakang menuju kamarnya. Karena hari ini lumayan banyak mobil yang dia tangani, Timo langsung membersihkan diri di kamar mandi di luar kamar. “Wah, seger, Pak Timo,” sapa Edi ketika Timo ke luar dari kamarnya dan dia yang sangat terlihat segar. “Iya, Pak Edi.” “Ada mantan istri pak Irfan, Pak Timo,” ujar Edi, seolah melapor. “Hesti?” ucap Timo, akhirnya dia tahu pemilik mobil merah SUV keluaran terbaru yang terparkir di pekarangan rumah. “Ya, sama anaknya yang cowok.” “Oh, Nathan?” “Ya.” “Ada kabar mau rujuk?” tanya Timo dengan tatapan usilnya ke Edi. Edi menggeleng tertawa, “Justru bu Hesti itu nanyain Bapak.” “Lo?” Dahi Timo langsung mengernyit. Dia mengamati wajah Edi, sepertinya Edi cukup mengetahui tentang kehidupan Irfan. “Iya, hm … ya begitulah.” Timo mendadak curiga, tapi dia tetap bersikap tenang. Sebelum pacaran dengan Irfan, Hesti pernah mendekatinya dan mencurahkan perasaannya bahwa dia menyukai Timo. Saat itu Timo menolak Hesti karena Irfan menyukai Hesti dan dia tidak mau merusak hubungan persahabatannya dengan Irfan. Lucunya, sekarang dia malah terjebak dalam perasaan mendalam kepada anak mereka. “Hm, Danang mungkin lusa sudah pulang, Pak Timo,” lapor Edi lagi. “Oh, oke.” Timo manggut-manggut. “Aku ke dapur dulu, Pak Edi. Mau makan sore,” pamitnya. “Oh, iya, Pak Timo. Monggo.” Timo melangkah tegap menuju dapur luar yang terhubung dengan rumah Irfan. Napasnya tertahan saat melihat seorang wanita cantik yang seumuran dengannya dan seorang anak laki-laki berusia kira-kira sepuluh tahun. Timo mengenal keduanya, mereka adalah Hesti dan Nathan, anak kedua Hesti dan Irfan. Timo yang merasa lapar, mengusir rasa segannya, dia masuk ke dalam dapur dengan tenang. Timo, Irfan dan Hesti pernah satu kelas saat SMA, lalu berpisah ketika lulus dan kuliah, Timo kuliah di Yogyakarta, Hesti dan Irfan kuliah di Makassar. Mereka berdua yang sudah berpacaran sejak SMA, lanjut kuliah di kampus yang sama, dan menikah ketika keduanya sedang menyusun laporan akhir. Sedangkan Timo sendiri, setelah kuliah, dia malah bekerja di New York di sebuah perusahaan properti milik sahabat pamannya. “Timo?” delik Hesti yang tanpa sengaja menoleh ke Timo yang sedang membuka kulkas dan mengambil kotak makanan plastik. Timo mengulum senyumnya, membalas sapaan Hesti yang berbinar melihatnya. “Apa kabar, Hesti?” Timo mengulurkan tangan kanannya, dan Hesti menyambutnya dengan semangat, lalu menepuk kursi di sebelahnya agar Timo duduk di sebelahnya. “Aku baik sekali, Timo.” “Hai, Irfan junior.” Timo menyapa anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang duduk di depannya sambil main ponsel. Anak itu melihatnya sekilas dan tersenyum tipis lalu beralih ke layar ponselnya. “Jadi kamu di sini—“ “Jangan pura-pura nggak tahu, Hesti.” Timo berdiri dari duduknya karena mendengar bunyi denting dari microwave, mengambil kotak makanannya dan kembali lagi duduk di samping Hesti. Hesti tertawa sebentar. Baru saja mereka hendak melanjutkan perbincangan, Numa muncul di dapur, dan dia terkejut melihat mamanya dan adiknya sedang duduk di kursi makan. Lebih terkejut lagi melihat Timo yang duduk di samping mamanya, sedang menikmati makanannya. Timo berdecak kecil dalam hati, dia memahami lirikan Numa ke arahnya, menunjukkan ketidaksukaan. Pikiran Timo sedikit kacau, tapi dia berusaha tenang, dia akan memberikan penjelasan ke Numa, berharap Numa mengerti. Bagaimanapun, Timo jadi mengetahui bahwa sepertinya hubungan Numa dan mamanya kurang baik, terlihat dari gelagatnya yang tidak antusias melihat mamanya. Numa hanya tersenyum tipis ke arah mamanya, menyalaminya dan langsung menuju lemari makanan. “Aku turut sedih dengan perceraianmu yang sangat tragis itu, Timo. Keluarga Astrid memang mafia, seenaknya mempermainkan hukum,” ujar Hesti. “Ya.” “Kamu betah di sini?” “Ya, aku betah.” Mata Timo mengawasi punggung Numa sebentar, lalu beralih ke makanannya. “Aku nggak yakin kamu lama di sini.” “Tentu saja aku nggak mau lama-lama, Hesti. Aku sedang menunggu jawaban perusahaan baru di Bandung, ya … menunggu mukjizat apakah mereka masih menerimaku yang sudah tua ini.” “Hahaha, Timo. Kamu nggak setua itu. Ah, kamu itu nggak berubah, selalu merendah,” ujar Hesti dengan tawa lepasnya, dia memukul bahu Timo lembut. “Akibatnya, kamu didepak Burhan, ‘kan?” Mendengar percakapan antara mamanya dan Timo, Numa sempat pula menoleh ke arah mereka berdua, dia cepat-cepat meninggalkan dapur, dan dia juga menyapa adiknya sebentar. Timo memperhatikan Numa dan Hesti bergantian. Hesti menyadari arah mata Timo. “Ya, hubunganku dan Numa kurang baik.” “Kamu melakukan kesalahan di depannya?” Hesti tersenyum kecut. “Ya,” lirihnya. Timo mengamati wajah Hesti yang berubah murung, sepertinya wanita itu tidak mau menjelaskannya lebih detail tentang kesalahan yang dia lakukan sehingga Numa tidak begitu menyukainya. “It’s okay. Sepertiku, sampai sekarang Morgan memblokir semua kontak karena dia melihatku tidur bersama wanita. Aku nggak mengerti malam itu, dan aku memilih untuk tidak mau tahu kenapa sampai terjadi. Toh, pada kenyataannya keluarga Astrid tidak menyukaiku.” Hesti mengusap-usap punggung besar Timo, ikut prihatin dengan nasib Timo. “Kamu akan terbiasa, Timo. Aku tahu ini baru beberapa bulan.” Timo mengangguk pelan dan tersenyum, lalu lanjut menghabiskan makan sorenya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN