Timo melirik jam di layar ponselnya, waktu istirahatnya sudah habis, dan tidak mungkin baginya menghubungi Numa.
Timo bergegas menuju bengkel dan kembali bekerja.
***
“Buru-buru amat, Om?” tanya Ujang, salah satu rekan kerja Timo. Dia memanggil Timo Om karena di matanya Timo memiliki tampang om om berduit.
“Ya, aku harus pulang cepat.”
“Danang belum pulang juga ya, Om?” tanya Ujang lagi. Danang adalah pekerja bengkel yang tinggal di sebelah kamar Timo yang sedang pulang kampung karena istrinya yang baru melahirkan.
“Belum, mungkin minggu depan.”
“Mau aku antar?” tawar Ujang.
“Nggak usah, Jang. Arah rumah kamu berlawanan,” tolak Timo sambil menepuk-nepuk pundak Ujang.
Ujang mengangguk, membiarkan Timo berjalan cepat menuju depan gedung, ternyata ada ojek online yang sudah menunggu.
***
Baru saja Timo turun dari motor ojek pesanannya, dia langsung menghubungi Numa. Kali ini panggilannya diangkat Numa dan suara Numa serak saat menyapa.
“Hei, kamu sedang apa? Sudah makan? Aku bawain bakso buat kamu.”
Ada diam di ujung sana.
“Ke dapur. Aku tunggu kamu di dapur,” ujar Timo sambil berjalan cepat menuju dapur luar.
Sore itu tampak sepi-sepi saja, bahkan pak Edi tidak terlihat, biasanya dia membersihkan halaman belakang rumah Irfan.
Timo tidak ke kamar lebih dulu seperti biasa, dia langsung masuk ke dapur luar dan menyiapkan dua porsi bakso, yang dia beli di depan gerbang perumahan, yang dikenal sangat enak.
Tak lama dia menyiapkan bakso di atas meja, Numa muncul dengan wajah cemberut.
“Hei, duduklah.” Timo senang melihat Numa yang akhirnya mau datang, meskipun wajahnya tertekuk murung.
Numa duduk di depan meja makan, dan dia menarik mangkuk berisi bakso yang masih panas.
“Nggak mau pakai saos?” tanya Timo.
“Aku suka kuah polos saja,” jawab Numa sambil memainkan kuah baksonya.
Timo duduk agak berjarak dari Numa.
Numa sontak menoleh ke arahnya.
“Maaf, aku kotor dan bau.”
Numa mengerlingkan mata malas, dan dia mulai menyesap kuah bakso dan rasanya lezat.
“Ya, tadi pagi aku ketemu Molly dan kami berkenalan. Aku yang memperbaiki mobilnya,” ujar Timo tanpa kata-kata pembuka.
“Kok dia tahu nama lengkap Om sih?”
“Dia yang tanya, Numa. Ya aku jawab.”
“Selengkap itu? Timothy Daud Ibrahim? Ih.” Numa memiringkan bibirnya seolah mengejek cara Timo menanggapi Molly.
“Hei, dia tanya dan aku jawab, aku berusaha ramah dengan customer, Numa. Dan aku nggak tebar pesona.”
Numa mengunyah bakso dengan wajah kesal, dan Timo tahu gadis itu lapar dan marah.
Merasa lapar, Timo mengunyah satu bakso dan menelannya.
“Besok dia ke bengkel lagi,” ujar Numa, masih dengan wajah kesalnya.
Timo menoleh ke arahnya, sepertinya Molly bercerita dengan detail ke Numa tentang perkenalannya tadi pagi. “Ok, aku nggak akan bertemu dengannya besok.”
Numa mengambil bakso dan mengunyahnya.
Timo menghela napas pendek, sedikit lega dengan Numa yang tampaknya mau mendengar penjelasannya. Perlahan, dia menyentuh pinggang Numa dan mengelusnya. “Jangan cemberut. Senyumlah, jangan bikin aku sedih dong.”
Numa menoleh ke Timo, dan dia menelan ludahnya kelu, iba melihat wajah letih Timo. Dia dengan pelan tersenyum dan mengangguk.
“Gitu dong, aku suka senyum kamu,” ucap Timo dengan tatapan hangatnya.
“Jadi, Om yang memperbaiki mobil Molly?” tanya Numa, dia mulai tenang. Apalagi tangan besar dan panjang Timo masih memegang pinggangnya, seolah enggan melepasnya.
“Ya, setelah mobilnya aku periksa, aku harus bertemu dengannya dan menjelaskan keadaan mobilnya. Di situ kami berkenalan, dia mengaku teman kamu di kampus. Lalu dia tanya nama lengkapku. Dia sampai dua kali bertanya, ya aku jawab.”
“Oh.” Numa mengangguk-angguk, artinya Timo tidak menebar pesona dan Molly yang memang tergila-gila dengan Timo. “Dia hepi banget ketemu Om dan dia terang-terangan bilang suka sama Om, sampe nggak peduli kalo semisal Om masih suami orang.”
Timo tertawa menggeleng. Ada-ada saja, batinnya.
“Dia juga bilang besok mau ketemu Om lagi, dan—“
“Dan apa?”
“Ngajak janjian mungkin?”
“Aku janji nggak temui dia besok, nanti aku bisa pura-pura ke toilet atau sibuk apa gitu—“
Numa tertawa tertunduk, geli membayangkan Timo yang sembunyi di toilet dan berlama-lama di sana sampai Molly pulang, juga membayangkan wajah cemberut Molly karena tidak bertemu Timo.
“Kamu cantik kalo ketawa,” puji Timo, dan tangannya merembet ke balik ketiak Numa dan membelai buah kenyal.
Wajah Numa berubah.
“Maaf, tanganku kotor. Nggak apa-apa, ‘kan?”
“Nggak apa-apa, Om.”
Timo menarik tangan usilnya, kembali fokus dengan baksonya dan menghabiskannya dengan cepat.
“Aku … tadi juga ketemu Daniel.”
Timo menghentikan suapan terakhirnya, bersiap-siap mendengar penjelasan Numa selanjutnya.
“Dia minta maaf dan minta balikan.”
“Kamu masih mau dengannya?”
Numa menggeleng. “Aku nggak mau, aku … senang sama Om.”
Timo menyuapi kuah terakhirnya, dia mengerti keadaan Numa.
“Kamu sudah mandi ya, wangi banget.”
“Belum.”
“Belum? Cantik dan segar begini kok belum mandi.”
“Iya, belum.”
Timo memutar kursi makannya, menghadap Numa, mengamati wajah mulus Numa dari samping.
“Aku mandi dulu, ini masih sore … mau mengulang momen indah? Aku bantu kamu melupakan Daniel.” Suara bass Timo menggugah perasaan Numa.
Numa mengamati baju Timo yang kotor.
“Aku … ke kamar Om saja … sambil menunggu Om mandi.”
Timo tersenyum kecil. Dia sebenarnya khawatir, tapi dia sudah terlanjur bahagia.
“Oke.”
Timo mengambil mangkuk bekas makan Numa, tapi Numa dengan cepat menahannya.
“Biar aku yang cuci dan bereskan. Om langsung saja mandi, aku menyusul.”
Senyum Timo melebar, dan dia mengangguk semangat. Dia mengambil tas ranselnya, dan membawanya, lalu melangkah ke luar dapur menuju kamar.
Numa menghela napas lega, bahagia dengan perasaannya. Dia merasa telah jatuh cinta lagi. Sedikit membandingkan saat-saat jatuh cinta dengan Daniel, dia tidak tahu kenapa jatuh cinta yang sekarang dia rasakan lebih tertantang dan dia menyukai tantangan ini. Terlebih, Timo memiliki fisik sempurna, impian para pria dan wanita.
Numa mencuci piring sambil memikirkan sosok Timo, entah kenapa dia yakin Timo bukan pria sembarangan, terlihat dari sikap tenang Timo yang elegan.
Dapur sudah bersih kembali dari piring dan gelas kotor. Numa ke luar dapur menuju pintu kamar Timo yang terbuka. Dia sempat menoleh ke sana ke mari, dan dia tidak melihat siapa-siapa sore itu. Dia dengan tenang berada di area belakang rumahnya karena kamera pengaman yang sudah lama rusak dan tidak diperhatikan. Dengan santainya dia masuk ke dalam kamar Timo, sedangkan Timo masih berada di dalam kamar mandi yang berada di luar kamar.
Bersambung