Kuliah sudah selesai dan Numa tidak mempedulikan Daniel yang berusaha mendekatinya.
“Apa sih, Lo? Gue udah eneg ma lo,” sinis Numa.
“Numa, gue nggak apa-apa sama dia. Dia juga punya pacar, Numa.”
Numa menghentikan langkahnya, menghadap Daniel dengan wajah pongahnya. “Serah lo, Daniel. Lo mau sama dia kek, mau nggak kek, gue nggak peduli.” Numa melanjutkan langkahnya menuju kantin. Daniel pun berhenti mengikutinya, tahu Numa kesal dengannya.
“Ada apa ama dengan Numa, Daniel?” tanya Molly ke Daniel, dia teman satu bangku Numa.
Daniel mengangkat kedua bahunya, tatapannya kesal ke punggung Numa. Melihat Daniel yang tampak kesal melihat Numa, Molly yakin mereka sedang bertengkar. Dia yang ingin tahu, menyusul langkah Numa yang ternyata menuju kantin.
Numa sudah memesan makanan berupa gado-gado siang itu, dan dia sudah duduk di bangku kantin tepat di warung yang menjual gado-gado.
“Lo berantem ma ku-Daniel?” tanya Molly yang ikutan duduk di depan Numa. Dia teman Numa yang kurang menyukai hubungan Numa dan Daniel. Menurutnya Daniel tidak benar-benar menyayangi Numa, dan tidak serius dengannya.
“Dia main serong ma Lisa.”
“Ah, sudah gue duga.”
Numa berdecak sebal, yakin pasti Molly senang dia bertengkar dengan Daniel.
“Udah deh, lo ma dia udahan aja, cari cowok yang tajir dan mapan. Kita ini udah mau sarjana, kalo mau kawin ya harus cari yang mapan, kalo mau kerja ya silakan. Hm, modelan lo mah harusnya pacaran ma cowok mapan kerja dan gaji sudah dua digit minimal di SCBD. Kalo lo mau kawin, lo tanya bokap lo yang pengusaha, carikan relasi bisnis yang lajang, ganteng, mapan, punya usaha—“
Numa menggeleng, belum berpikir jauh soal menikah. “Lo sendiri?” tanyanya.
Molly tersenyum malu. “Tampang gue pas-pasan begini sih, mengkhayal aja dulu, Num.”
Numa menggeleng, ada senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. “Lo tuh cantik, Molly.”
Molly menggeleng tersenyum. “Tapi lo jauh lebih cantik.”
“Nggak usah banding-bandingin deh, meskipun gue kek Galgadot juga buktinya Daniel selingkuh juga,” omel Numa sebal. Dia lalu menikmati gado-gadonya.
Molly tertawa lepas, lalu dia memesan gado-gado juga.
Tak lama gado-gadonya datang, Molly melirik Numa yang lahap menikmati gado-gadonya.
“Stress keknya lo, Num.”
“Gimana nggak stress, Mol. Lo bayangin aja gue dan Daniel sudah deket, dua tahun itu nggak sebentar.” Numa memangku dagunya dan bibirnya manyun.
“Lo balas aja kalo lo sebel banget ma dia.”
“Maksud lo?”
“Lo balas selingkuh, cari kek di Sosmed lo. Kan banyak itu cowok yang follow akun lo, lo ajak kencan saja, pamerin ke Daniel.”
Numa mengerutkan bibirnya, tiba-tiba dia terdiam, terlintas di benaknya sosok Timo yang tampan dan fisik yang sangat sempurna. Dia senyum-senyum sendiri mengingat insiden kecil di dapur, saat Timo menghisap jempol kakinya.
“Ih, senyum-senyum. Mikirin siapa, Lo?”
Numa tersenyum menggeleng, “Mikirin ide lo yang kacau.”
“Nggak salah, ‘kan? Biar tahu rasanya selingkuh.”
“He? Itu bukan selingkuh, Molly. Gue dan Daniel, ‘kan udahan.”
“Ya, sudah. Lo move on saja kalo begitu, sekalian balas dendam ma kuDaniel.”
***
Numa berulang kali menghapus tulisannya di laptop, artikel tugas mata kuliah Perbandingan Politik belum juga selesai, padahal hanya sisa beberapa kata. Dia sudah menyiapkan materi tulisan, tapi entah kenapa otaknya mengalami stagnan. Dia memilih melihat-lihat media sosial, tapi suasana hatinya sedang tidak baik. Dia mengingat Timo yang tinggal di belakang rumah.
“Ah, lupa tanya nomor hape om Timo,” gumam Numa. Karena pikiran dan perasaannya bete, dia pergi ke luar kamar.
Kebetulan sekali, Numa melihat Timo berada di dapur luar, sedang menikmati makan malamnya.
Timo tersenyum ke arah Numa yang berjalan ke dekatnya.
“Sudah makan?” tanya Timo saat Numa duduk di sampingnya.
“Sudah.”
Timo melirik ke arah rumah. “Papa kamu sudah pulang?” tanyanya.
“Belum, biasa jam sembilan baru pulang,” jawab Numa, dan saat itu waktu menunjukkan pukul tujuh malam.
Numa menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan tidak semangat.
“Ada apa?” tanya Timo. Dia sangat mengenal Irfan sebagai pekerja keras. Tapi dia sebenarnya tidak setuju dengan Irfan yang kurang pandai membagi waktu. Dia akhirnya mengerti kenapa Numa dan Irfan tidak begitu dekat, karena Irfan yang terkesan tidak begitu memperhatikan Numa, sehingga Numa memiliki kepribadian yang keras kepala, setidaknya ini adalah awal analisa Timo yang baru satu minggu tinggal di rumahnya.
“Tentang pacar kamu?” tanya Timo pelan, sambil mengaduk sup dagingnya.
Numa mengangguk. “Om punya anak?” tanyanya tiba-tiba.
“Ya, laki-laki, kelas tiga SMP. Namanya Morgan.”
“Oh.”
“Hei, kita sedang bicara soal kamu … dan pacarmu.”
Numa berdecak sebal. “Sudah aku putusin, Om. Tadi aku melihatnya bersama cewek itu dan mereka ciuman—“
“Oh My God.”
Numa cemberut, dan dia pun menangis.
“Hei, ya sudah, menangislah,” ujar Timo, iba melihat Numa. Lalu dia menghabiskan makan malamnya sambil mendengarkan Numa menangis tersedu-sedu.
Numa tertunduk, baru sekarang dia menangisi hubungan percintaannya dengan Daniel. Meskipun dia sudah memutuskan dan memarahi Daniel, tetap saja dia merasa sangat sedih.
Timo sudah selesai makan malam, beranjak dari duduk sambil membawa alat-alat makan kotornya, dan mencucinya di sink dapur. Mengambil dua gelas berisi minuman hangat dan membawanya kembali ke meja makan.
Timo duduk, lebih dekat dengan Numa, berujar pelan, “Minum air hangat, akan melegakan perasaan kamu.”
Tangis Numa reda, dia minum segelas air hangat dari Timo sampai habis.
“Awal-awal memang terasa sedih, sakit hati, dan pikiran yang kacau. Tapi setelahnya, langkah kamu akan lebih ringan karena sudah merelakan semua yang terjadi. Sekarang ini kamu pasti belum rela Daniel mengkhianati kamu.”
Numa menghela napas panjang, perasaannya cukup tenang mendengar kata-kata Timo, meskipun masih kesal dengan Daniel.
Timo melirik Numa, dia senang Numa yang tampaknya mau mendengarnya.
“Lega?”
“Iya, Om.”
Entah kenapa Timo tergerak mendekap pinggang Numa dan mengusapnya.
Numa terkesiap, tanpa ragu pula dia meletakkan kepalanya di lengan Timo.
Timo mengatur emosinya yang tidak teratur, pikirannya mulai berkecamuk, dan dadanya yang bergemuruh. Dia memang menyukai Numa sejak awal bertemu, energinya sudah terserap sejak kejadian malam itu.
Numa ndusel di lengannya.
“Mau ke kamarku?” tanya Timo berbisik.
Bersambung