Timo tidak menyangka Numa menjawabnya dengan anggukkan pelan.
Sambil menggandeng tangan Numa, Timo mengajaknya ke kamarnya yang tidak jauh dari luar dapur. Malam itu paviliun sedang sepi, Danang, yang tinggal di kamar sebelah sedang pulang kampung karena istrinya yang melahirkan. Pak Edi sudah menjaga di pos jaga di depan rumah.
Timo langsung mematikan lampu kamarnya saat berada di dalam kamar, memeluk erat Numa, sampai tubuh Numa terangkat dari atas lantai. Numa mendesah panjang saat Timo menjejal lehernya, bulu-bulu halus di dagu Timo memberikan sensasi geli yang nikmat kala menyentuh leher jenjang mulusnya.
Timo menyadari ini salah, tapi dia dengan cepat menepis pikirannya, memilih menikmati momen dan kesempatan yang pasti tidak akan datang kedua kali. Dia menyukai Numa, dan perasaan sayang yang mulai tumbuh.
Timo mundur, mencari bibir mungil Numa di dalam gelapnya kamar. Dia mendapatkannya dan di luar dugaan, Numa lebih dulu membuka mulutnya dan melumat bibirnya. Timo menikmati lumatan bibir Numa beberapa saat, lalu gilirannya.
Begitu pula dengan Numa, dia merasakan kenikmatan luar biasa bersentuhan dengan pria bertubuh tegap, dengan aroma khas dari tubuh dan mulutnya, juga dekapan yang erat dan hangat.
Timo tahu, Numa sedang kesal dengan pacarnya, dan dia yang ingin membalas dendam. Timo tidak masalah dan dia senang-senang saja, siapa tahu Numa yang mungkin berubah pikiran, lebih menyayanginya dan dia bersedia menerima.
Ingin Numa merasakan sensasi lebih saat b******u, Timo merebahkan tubuh mungil ramping Numa di atas tempat tidur, dan dia menindihnya. Timo lalu memberikan kecupan hangat di seluruh wajah Numa, juga lehernya.
Numa tidak berhenti mendesah, bawah perutnya bergejolak disertai kedutan-kedutan hebat di s**********n, dia sangat terbuai dengan sentuhan Timo. Dan rasa gelisahnya muncul saat Timo membuka kancing piyamanya dan menyingkap branya.
“Oooh.” Numa menggigit bibirnya, Timo sudah singgah di dadanya dan bermain-main di area sana.
Timo kembali mengecup bibir Numa. “Sudah tenang?” tanyanya.
Meskipun gelap, Numa masih bisa melihat wajah sendu Timo yang memabukkan.
“Iya, Om.”
“Ok, kamu sebaiknya kembali ke kamar, atau … mau nginep sama aku di sini?”
Numa tertawa renyah. Dia menggantungkan kedua tangannya di leher Timo. “Aku … ke kamarku,” ujarnya.
Timo membiarkan Numa pergi dari kamarnya.
Namun, saat di mulut pintu, Numa berbalik dan berujar, “Om, jangan cerita ke Papa.”
“Tentu saja.”
Numa tampak memikirkan sesuatu. “Aku mau nomor hape Om.”
“Oh, ok. Hm, berapa nomor kamu, aku hubungi kamu dan kamu simpan nomorku.”
Numa lalu menyebut nomor ponselnya.
Timo berdiri dari duduknya, sebelum melepas kepergian Numa dari kamarnya, dia melumat lembut bibir Numa.
Timo menyalakan lampu kamarnya setelah Numa kembali ke rumah, gadis itu sempat berbalik ke arahnya sambil melambaikan tangan.
“Astaga. Apa itu barusan?” gumam Timo saat menutup pintu kamar, masih mengingat aroma wangi tubuh Numa di indera penciumannya. Aroma yang khas dan sangat kuat, dan Timo tidak bisa melupakannya.
***
Numa langsung mengambil ponselnya dan melihat sebuah nomor yang baru saja menghubunginya. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil mengamati layar ponsel, ragu menghubungi Timo, tapi dia sudah merindukannya.
Numa memilih mengirim pesan ke Timo
Numa : Aku sudah rindu sama Om
Timo : Aku juga rindu kamu
Numa memejamkan matanya, tidak menyangka dirinya yang cepat sekali move on dari pengkhianatan Daniel, dan dia merasa sangat puas. Dia memuji Molly yang mengusulkan untuk membalas. “Ini bukan pembalasan, tapi … aku menyukai om Timo.”
Jika orang yang sedang jatuh cinta akan mengalami kesulitan tidur, tapi tidak dengan Numa, dia malah cepat tidur karena perasaannya sangat tenang.
***
Sudah satu minggu lebih Timo bekerja di bengkel Irfan. Dia tampaknya senang dengan pekerjaan barunya, dan cepat beradaptasi dengan cara kerjanya. Maklum, Timo memiliki hobi otak atik mobil, makanya Irfan tidak ragu mempekerjakannya. Kelebihan Timo, dia ramah ke semua orang, dalam waktu sebentar, para pekerja bengkel sudah mengenalnya akrab. Timo juga ramah dengan pelanggan bengkel Irfan, baik yang baru maupun yang lama. Timo merasa sangat betah, apalagi semalam dia mendapat momen indah yang tidak dia bisa dia lupakan.
“Ini catatannya, Bos,” ujar Timo saat selesai memeriksa sebuah mobil. Dia menyerahkan selembar kertas ke Bobi, manajer bengkel Irfan. Pemilik mobil adalah seorang gadis cantik, duduk di depan Bobi. Gadis itu tampak mencuri-curi pandang ke Timo yang berbadan tegap lagi tinggi, juga wajahnya yang garang lagi tampan.
“Mau mobilnya nginep atau dibawa, Neng?” tanya Bobi.
“Nginep berapa malam, Pak?”
“Ya, besok pagi sudah selesai.”
“Nginep saja, Pak.”
Bobi mengetik di layar komputernya, mencetak, lalu menyerahkan kertas ke Timo.
“Mari, Dik.” Timo mengajak perempuan muda itu ke dalam bengkel, hendak menjelaskan kenapa mobilnya harus menginap. Ada beberapa kerusakan minor di bagian mesin.
“Sebenarnya kerusakannya nggak parah. Tapi harus sedikit membongkar, jadi butuh waktu lama,” jelas Timo setelah menutup kap mesin.
“Oke, deh. Om siapa namanya?” tanya pemilik mobil, dia menyerahkan tangannya ke hadapan Timo.
Timo tertawa, sambil menunjukkan tangannya yang hitam karena memegang mesin yang terkena cairan oli.
“Nggak apa, Om,” ujar perempuan itu, memamerkan gigi putih rapinya.
“Aku Timo.”
“Aku Molly.”
“Oh, oke, Molly.”
“Nama Om bagus, lengkapnya?”
Timo terkekeh, pentingkah?
“Menurut kamu?”
“Antimo?”
Timo tertawa lepas, Molly bisa saja melucu.
Wajah Molly ceria melihat wajah garang Timo yang tertawa, tidak seperti tawa pegawai biasa, lebih tepatnya tawa pebisnis handal.
“Om baru kerja di sini?”
“Ya, satu minggu lebih. Kamu sudah sering ke bengkel ini?”
“Aku temannya Numa.”
“Oh, anak si bos.” Timo tersenyum lebar saat nama Numa disinggung.
“Ya.”
Timo memberi kode tangannya karena dia harus kembali bekerja.
“Oh, eh ya. Jadi nama lengkap Om?”
“Timothy Daud Ibrahim.”
“Oh, nama Om keren.”
“Terima kasih, Molly.”
***
Molly turun dari mobil taksi online dan bergegas menuju kelas di kampus. Dia langsung mencari-cari Numa.
“Numa!”
Numa yang sedang duduk-duduk bersama teman-teman perempuan lainnya beralih ke Moli. “Ya, Molly?”
“Gue baru saja dari bengkel bokap lo.”
“Oh ya? Kenapa mobil lo?”
“Tauk, geter pas berhenti.”
“Oh.”
Molly duduk di sebelah Numa. “Eh, ada pegawai baru di bengkel … ganteng, dan macho.”
“Siapa?”
“Lo nggak tahu?”
Numa mengernyitkan dahinya, tapi dia dengan cepat menebak, Molly pasti membicarakan tentang Timo, yang memang baru bekerja di bengkel papanya belum lama.
Bersambung