Andara berjalan ke ruangan Deviana yang berada di lantai 7, dia menyadari banyak orang serta karyawan lain yang memperhatikan dirinya.
Selama sebulan lebih bekerja di KG Andara bukan orang yang selalu mencari tahu gossip apa yang sedang berkembang dan juga kebiasaan yang sering dilakukan oleh karyawan KG lainnya. Perhatian dan rasa tertarik yang diberikan orang-orang padanya membuatnya heran sekaligus penasaran. Apa yang menarik dari seorang karyawan magang menemui bagian kepegawaian.
“Mereka melihatku seperti aku bukan manusia aja. Ga punya kerjaan banget jam segini berkeliaran bukannya bekerja,’ Andara ngedumel dalam hati.
Andara belum lagi sampai di ruangan Deviana ketika seseorang menghentikan langkahnya sekedar mencari tahu.
“Kamu karyawan magang di lantai 6 kan, maksudku asistennya Laila? Kenapa dipanggil HRD? Memangnya kamu melakukan kesalahan? Oh ya kenalkan namaku Mandy,” pernyataan tersebut membuat Andara mengrenyit. Sama sekali tidak mengerti.
“Maksudnya kamu itu masih karyawan magang, tapi sudah dipanggil Deviana. Kau tahu artinya tidak?” kata Mandy tidak sabar dan Andara hanya menggeleng.
“Oke. Kalau begitu semoga kamu tidak dipecat sebelum masa magang mu selesai,” Mandy berlalu dengan sikap yang membuat Andara bertanya-tanya dalam hati maksud dari ucapannya.
Andara berdiri di depan pintu ruangan Deviana. Dia pernah bertemu Devi sekali ketika dia diterima bekerja di KG dan mendapatkan id card pegawai. Dan sejak itu dia belum pernah datang ke ruangan ini lagi.
Sepanjang ingatannya, Deviana adalah wanita yang berusia di atas 30 tahun. Sikapnya yang tegas membuat pegawai seringkali merasa gugup. Dan kini Andara kembali merasakannya.
Andara menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan agar dia bisa menghadap Devi dan mendengarkan semua yang dikatakan dengan tenang.
Perlahan-lahan Andara mengetuk pintu dan masuk setelah mendapat jawaban dari pemilik ruangan.
“Selamat siang Bu. Saya Andara,” sapanya berjalan mendekat ke meja Devi.
“Selamat siang. Silahkan duduk Andara. Bagaimana pekerjaanmu? Kau betah menjadi asistennya Laila?” kalimat pembuka Devi membuat Andara tidak mengerti.
“Tentu saja saya betah Bu. Kak Laila tidak segan memberikan pengarahan pada saya. Terutama karena saya ditempatkan pada bidang yang saya kuasai,” jawab Andara pelan.
“Begini Andara, kau tahu bahwa kehamilan Laila masih terlalu dini untuk mendapatkan asisten sementara ada sekretaris yang tugasnya lebih berat justru masih bekerja sendiri. Atas perintah atasan, kamu akan di perbantukan untuk menjadi asistenya.”
“Maksud ibu saya akan di pindahkan pada bidang pekerjaan yang berbeda?” Andara tidak mengerti mengapa alasan yang diucapkan oleh Deviana tidak berdasar dan terkesan mengada-ada.
“Aku tahu apa yang ada di dalam pikiranmu Andara. Tapi tugas Bu Lusi memang sangat banyak dan dia memerlukan bantuan.”
“Bu Lusi? Maaf apa saya boleh tahu saya di bagian apa Bu?”
“Semuanya. Kamu akan membantunya mengerjakan semua yang dilakukan di KG, karena kau akan menjadi asisten Bu Lusi yang seorang sekretaris sekaligus asistennya Tuan Derek William West. Orang nomor satu di KG corp. Kau mengerti artinya Andara?”
Mata Andara terbuka lebar. Pemberitahuan yang diucapkan oleh Devi benar-benar mengejutkan. Dari yang pernah dikatakan oleh Laila, berada di samping orang nomor satu KG adalah impian tertinggi seluruh pegawai. Bukan hanya wanita, pria juga mempunyai impian dan keinginan yang sama.
“Kau tahu siapa Derek William West bukan? Jadi aku ucapkan selamat padamu Andara. Kau mendapatkan semua yang diimpikan karyawan KG. Aku sarankan kau rapikan pekerjaanmu dengan cepat. Setelah makan siang aku akan mengantarmu ke lantai 20.”
Ucapan Devi menyadarkan Andara bahwa dia tidak salah dengar dan memang benar adanya. Andara melirik jam tangan dan melihat sisa waktu sebelum makan siang atau waktunya istirahat untuk karyawan KG.
“Baik Bu. Apakah ada yang lainnya lagi?” tanya Andara pelan.
“Tidak ada,” jawab Deviana, “Andara. Di lantai 20 mungkin kamu tidak akan bekerja sebebas di lantai yang lainnya. Kamu harus selalu siap menerima tugas yang diberikan oleh Bu Lusi. Kamu harus mempunyai tenaga ekstra dan jangan membuang waktu mu untuk melakukan hal yang tidak penting. Kamu mengerti Andara?”
“Saya mengerti Bu. Terima kasih atas pesan ibu. Selamat siang,” kata Andara sebelum pergi meninggalkan ruang kerja Deviana.
Langkah kaki Andara terasa berat saat dia kembali ke ruang kerjanya dimana Lailla sedang membuat laporan yang baru saja di berikan oleh Aldwin.
“Ada apa? Kenapa kamu dipanggil Devi?” tanya Laila ketika melihat Andara berjalan masuk.
Andara tidak langsung bicara. Dia memilih untuk mengerjakan tugasnya karena dia tahu pekerjaannya sudah ditunggu oleh atasannya.
Tidak ada kalimat yang Andara sampaikan sampai jam makan siang tiba. Andara mendongak ketika melihat Laila berdiri di depan mejanya.
“Ada apa Andara? Kaka tahu selama ini kamu lebih suka berkerja daripada bicara. Tapi kamu baru saja dipanggil oleh Devi. Dan panggilan tersebut mempunyai dua arti. Pertama kamu di mendapat peringatan sebelum di pecat, kedua kamu di pindahkan ke bagian lain. Jadi katakan pada kaka mana yang dikatakan oleh Devi!”
Kalimat yang diucapkan oleh Laila membuat Andara tersenyum. Akhirnya dia mendapat jawaban mengapa orang yang ditemuinya menatap iba ketika dia berjalan ke ruangan Devi.
“Hey…kenapa tersenyum? Kamu tidak mendengar kata-kata kaka barusan?” tegur Laila.
“Saya dengar kok. Saya baru sadar kenapa karyawan yang berpapasan semuanya menatap dengan pandangan prihatin. Bahkan ada yang sengaja bertanya,” katanya dengan mata berbinar.
“Kamu terlalu fokus dengan pekerjaanmu Andara sampai tidak tahu kebiasaan yang ada di gedung ini. Lalu apa yang dikatakan oleh Devi?” desak Laila.
“Yang nomor 2, saya di pindahkan untuk menjadi asistennya Bu Lusi. Kaka kenal dengannya?” tanya Andara ragu-ragu.
“Tentu saja kaka mengenalnya. Semua sekretaris mengenalnya walaupun belum tentu dia mengenal kami. Lusi adalah sekretaris yang cara kerjanya tidak berbeda jauh denganmu. Dia tidak akan membiarkan bos memberikan pertanyaan untuk hasil kerjanya.”
“Apakah dia galak? Maksud saya apakah Bu Lusi orang yang tidak mudah puas?”
“Galak sudah pasti tidak. Tapi tidak mudah puas itu pasti. Seperti yang tadi kaka katakan, dia melakukan pekerjaan nyaris sempurna sesuai tuntutan bos. Jadi wajar kalau dia menuntut hasil yang sama pada asistenya.”
“Lalu…kenapa baru sekarang dia mencari asisten? Apakah tidak membuka lowongan kerja?”
“Andara, Bu Lusi adalah salah satu orang penting di KG pada level karyawan seperti kita. Pekerjaannya tidak bisa menunggu. Jadi dia tinggal mengatakan pada Deviana siapa yang akan dia pilih.” Laila menjelaskan alasan Lusi tidak mencari pegawai baru dengan membuka lowongan kerja.
“Begitu.”
Laila memilih menarik kursi yang berada di sampingnya dan menatap wajah Andara, “Kaka mengenal cara-mu bekerja dan yakin kalau kamu mampu. Jadi jangan beri kesempatan pada Bu Lusi atau bos untuk menekanmu. Lalu kapan kau akan naik ke lantai 20?”
“Bu Devi mengatakan setelah waktu istirahat. Jadi saya memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan terselih dahulu.”
“Semuanya sudah selesai. Sekarang kita turun untuk makan siang yuk! Sekali-kali kamu keluar dan menikmati makanan restoran khusus karyawan. Jangan makan di ruang kerja terus. Kau tahu Pak Alwdin sejak tadi marah-marah. Kau mau menjadi sasarannya?” goda Laila.
“Saya tidak akan mempertaruhkan waktu yang tersisa untuk mendapat terguran dari Pak Aldwin. Khususnya 1 jam sebelum aku pergi dari lantai 6 ini,” jawabnya bercanda.
“Bagus. Cepat rapikan mejamu. Aku sudah lapar nih.”
“Hem, perintah khas ibu hamil yang selalu pakai alasan bahwa dia tidak makan sendiri,” gumam Andara. Beruntung Laila tidak mendengarnya.