Tiga hari berselang, Ranti tidak melihat Ario. Antara ingin melihatnya, tapi juga tidak siap menerima kenyataan kalau Ario bersikap dingin padanya.
Beberapa hari ini, Ranti sejujurnya mulai merasa kangen, tapi menahannya. Bagaimanapun tidak ada respon apapun dari Ario. Sebagai perempuan dewasa, ia cukup tahu harus mengambil sikap. Sebelum perasaannya terlalu jauh, ia putuskan untuk melupakannya, mungkin ini yang terbaik. Ranti hanya berharap dengan tidak melihat dan bertemu, bisa jadi ia lupa.
Apalagi besok ia harus ke Surabaya selama beberapa hari, ada rapat dengan klien urusan pekerjaan. Artinya, tambah lama lagi tidak berjumpa dengan pengacara tampan itu. Semoga saja ia bisa melupakannya.
***
Ponselnya berbunyi. WIRA.
"Hari ini sampai Jakarta ya? Mau aku jemput di bandara?" tanya Wira.
Ranti berada di Bandara Adisucipto, bersiap kembali menuju ibukota, "Tidak usah, sampai Jakarta malam. Nanti taksi saja. Thanks Wir.”
***
Pesawat mendarat di Jakarta, pukul 19.00. Ranti memutuskan untuk naik taksi menuju kantor terlebih dulu dan menyimpan dokumen-dokumen serta sedikit oleh-oleh untuk teman-temannya. Seperti biasa, besok ia menempuh kantor dengan berjalan kaki, akan repot membawa semua itu.
Taksi pun berhenti di depan kantor. Ranti bergerak menuju lantai 7 dan melangkah menuju mejanya. Segala dokumen dan oleh-oleh ia letakkan di meja, lalu keluar menggeser koper kecilnya. Ia menunggu lift untuk turun kembali ke lantai dasar. Lift pun tiba di lantai 7, dan pintunya terbuka.
Oh, tidak! Ada Ario di dalam lift itu. Ranti mendadak gugup, tapi ia mencoba untuk bersikap biasa. "Malam," Ario menyapanya. What??? Ario menyapanya duluan???
"Malam," Ranti memasuki lift sambil menggeser kopernya. Roda koper dan pembatas lift bergesekan. Lift pun tertutup. Dag dig dug, jantungnya berdebar keras. Ranti tidak mau memperlihatkan kegugupannya dan berdiri menghadap lift, membelakangi Ario.
Sunyi. Tidak ada suara apapun. Tiba-tiba…
"Baru dari luar kota?" Ario bertanya padanya. "I.. iya.." Ranti menjawab dengan gugup saking kagetnya. Lift pun terbuka di lantai dasar lalu melangkah keluar. Ario mengikuti di belakangnya.
Keremangan malam mulai terasa. Jalanan ramai dengan kendaraan, tapi trotoar terlihat sepi. Ranti memutuskan untuk terus melangkah berjalan kaki, tanpa berpamitan pada Ario.
Tiba-tiba ada yang menyentuh punggungnya. "Aah," Ranti berteriak kaget.
"Maaf, bukan maksud membuat kaget, tapi tadi saya panggil tidak menjawab," ujar Ario.
"Oh, tidak apa-apa. Saya memang mudah kaget," Ranti menjelaskan. "Pa Ario panggil saya? Maaf tidak terdengar," ujar Ranti.
"Ini, scarf nya jatuh," Ario memberikan scarf itu padanya.
"Oh terima kasih. Saya permisi dulu," Ranti pun berpamitan.
"Bu Ranti mau ke arah mana? Jalanan sudah gelap," Ario bertanya.
Ranti merasa melihat ekspresi khawatir di wajahnya. Betulkah penglihatannya?
"Saya mau pulang. Apartemen saya beberapa blok dari sini," jelas Ranti sambil merasakan debaran. "Jalan kaki?" Ario bertanya. "Iya, tiap hari saya berjalan kaki ke kantor, tidak jauh ko," Ranti mencoba menjawab senormal mungkin. "Tapi ini trotoar gelap dan sepi. Saya temani boleh?" Ario bertanya.
Menemani??? Boleh bangettttt.. ingin rasanya ia berteriak. Namun Ranti merasa etikanya untuk menolak terlebih dahulu. "Nanti merepotkan pa Ario jadi kemalaman. Tidak apa-apa ini jalur saya setiap hari," jawab Ranti. "Bu Ranti ke arah jalan itu?" tanya Ario menunjuk jalan samping kantor. "Iya," jawabnya. "Oh ok kita sejalur. Saya temani ya.." Ario tidak lagi bertanya.
Ranti pun menurut saja, Ario langsung mendekati dan berjalan di samping kanannya. Jantungnya berdebar tidak karuan, tangannya dingin. Ingin rasanya tersenyum lebar. Mereka mulai melangkah. Sepi. Hanya gesekan roda koper dan lantai trotoar yang terdengar jelas.
"Pa Ario tidak apa-apa menemani saya?" tanya Ranti. “Tidak apa-apa," katanya.
Suasanapun kembali sunyi.
"Sini kopernya, saya bawa," ujar Ario. Ranti agak ragu, tapi akhirnya ia menyerahkannya.
Ranti meliriknya. Ia tinggi, mungkin sekitar 185 cm. Ranti tingginya 165 cm, mereka bersebelahan dan terlihat tingginya sebahu Ario. Ingin rasanya bersandar di bahu itu.
Ario ganteng sekali. Rambutnya sedikit berantakan, bajunya pun agak kusut, tapi wajahnya terlihat bersih dan ketampanannya tampak bersinar. Lalu Ranti melihat tangannya, urat-urat tangannya terlihat keluar sambil menggeret kopernya. Jari-jarinya besar dan tegas. Ia membayangkan ingin memegang tangan itu. Ohh Ranti hentikan!!!
Ario memecah kesunyian, "Sudah lama tinggal di sini?"
"Sudah 3 tahunan. Dekat kantor, jadi bisa jalan kaki. Mengurangi karbon mobil," canda Ranti.
Ario tersenyum. Manis.
"Saya juga suka jalan. Rumah saya tidak jauh dari kantor. Sesekali saya juga jalan kaki ke kantor," jelasnya.
"Wah, sama kita. Banyak hal menarik di jalanan, kadang terlewatkan kalau naik mobil. Sekalian olahraga juga," cerita Ranti.
"Eh awas," tiba-tiba Ario memegang bagian atas tangannya.
Ternyata ada lubang di trotoar.
"Lima hari ditinggal, tahu-tahu ini jalan bolong," Ranti tertawa kecil. "Terima kasih pa Ario," Ranti mengucapkan terima kasih sambil melihat Ario. Dalam kegelapan malam, terlihat ekspresi gugup. Iyakah? Atau hanya perasaannya saja?
"Sama-sama," Ario menjawab sambil menunduk.
Mereka pun terdiam dan terus melangkah. Sampai Ranti melihat bangunan apartemen yang menjadi tempat pemberhentiannya. Rasanya tidak mau berhenti, tapi bagaimana lagi.
"Pa Ario, sebelah kiri itu gedung apartemen saya," ujar Ranti.
"Oh sudah sampai, syukurlah," ujarnya.
"Terima kasih sudah mau menemani," ucap Ranti.
"Iya sama-sama," jawab Ario, lalu diam.
"Kopernya," Ranti menunjuk koper yang masih Ario pegang.
"Oh iya," Ario pun menyerahkan koper itu.
"Bye.." Ranti melambaikan tangannya, meski tubuhnya masih menghadap Ario.
"Saya tunggu sampai bu Ranti masuk ke dalam," Ario menjawab ragu.
"Oh.. ok.. Pa Ario.. Mmm..," Ranti ragu.
"Ya.." Ario dengan lembut menunggu kelanjutan kalimat Ranti.
"Saya masuk, pa Ario hati-hati ya.." Ranti pun mengungkapkannya.
"I.. iya.." Ario terdengar gugup menjawab.
"Besok mampir ke kantor?" Ranti bertanya.
"Besok tidak ada jadwal," ujarnya.
"Oh ok," Ranti sedikit kecewa. "Saya masuk ya.." Ranti kembali mengucap.
"Iya.. emm.. besok tidak ada jadwal, tapi lusa saya ke kantor," tiba-tiba Ario mengungkapkan kapan akan ke kantor lagi.
Tanpa sadar, Ranti tersenyum lebar, "Bye pa Ario, sampai ketemu lusa ya, saya masuk dulu.” Nada senang terdengar dari suaranya, tapi Ranti tidak peduli. Ranti memutuskan, Ario harus tahu perasaannya. "Hati-hati di jalan," Ranti menambahkan.
"Iya," Ario menjawab pendek, tersenyum lebar.
Ranti merasa jantungnya berdebar makin tidak karuan. Ia pun membalikkan badan memasuki gedung apartemennya, lalu menoleh ke belakang. Sosok Ario masih berdiri di situ. Ia bergerak cepat melangkah masuk.
I'm so happy!! Ingin rasanya melompat-lompat. Apalagi membayangkan tadi Ario tersenyum lebar. Tersenyum padanya. I think I'm in love!!!
***