Menghilang

1098 Kata
Lina tidak menjawab, ia hanya menatap Alex seakan mencari kebenaran di wajahnya yang terlihat memelas itu. Ia tertunduk memikirkan apa yang Alex ucapkan. Hatinya kembali goyah. “Apakah yang kau katakan itu benar? bukankah kau pernah bilang kalau aku hanya teman bersenang-senangmu saja? kita tidak seintim itu untuk memiliki hubungan serius dengan mengandalkan perasaan. Setelah mengatakan itu dan membuatku kecewa, apakah aku bisa dengan mudah menerimamu kembali? jika sejak awal kau tidak memiliki perasaan padaku dan hanya menganggapku sebagai teman, mulai sekarang aku juga akan berpikiran sama. Mulai hari ini, hubungan di antara kita hanya sekedar teman, dan teman tidak akan melewati batasan.” Tidak disangka, Alex akan mendengar jawaban menohok dari Lina. Sungguh ini di luar ekspektasinya. Ia yang sangat yakin akan mempengaruhi Lina agar gadis itu kembali bisa bersamanya, ternyata memiliki keputusan sendiri dan itu tidak bisa ia biarkan. Dirinya memang tidak seyakin ucapan yang ia ungkapkan tadi, tapi ia juga tidak ingin kehilangan kesenangannya begitu saja. Lina sudah sangat membuatnya candu dan tidak mungkin ia akan melepasnya begitu saja. “A-apa yang kau bicarakan itu, Lina? sayang, jangan bicara begitu. A-aku sungguh minta maaf atas ucapanku watu itu. Aku dipengaruhi emosi dan tidak berpikir jernih. Kau tahu kan betapa aku sangat mendambamu. Tidak ada wanita lain yang bisa memuaskanku selain dirimu. Jadi jangan tinggalkan aku, ya? aku mohon.” Alex meminta dengan wajah memelasnya. Betapa tidak, gadis secantik Lina yang bisa melakukan apa pun yang ia mau, akan meninggalkannya begitu saja, tidak mungkin. Pria itu sengaja merendahkan harga dirinya yang tinggi untuk bisa meyakinkan Lina agar bisa kembali ke pelukannya. “Alex, apakah kau sadar yang kau ucapkan tadi?” tanya Lina. “Ucapan apa maksudmu, sayang?” Alex kembali bertanya. Ia tidak tahu ucapannya yang mana yang membuat Lina semakin kesal padanya. “Sudahlah, aku tidak ingin membahas lagi. Aku ingin pulang sekarang, aku memaafkanmu karena sejak awal kau sudah meminta maaf. Tapi untuk bisa kembali berhubungan denganmu seperti dulu, aku sudah tidak bisa melakukannya. Lebih baik kau cari wanita yang bisa memuaskanmu seperti yang baru saja kau katakan. Terus terang, ucapanmu itu memang benar. Tapi entah kenapa saat mendengarnya, hatiku menjadi sakit karena merasa terhina. Aku pergi,” ucap Lina sambil beranjak dari duduknya. “Tidak Lina, jangan pergi begitu saja aku mohon!” tiba-tiba Alex mencekal tangan Lina memaksanya untuk tinggal. “Lepaskan Alex, aku mau pulang!” Lina menjadi panik karena Alex menahannya. “Tidak! aku tidak akan melepaskanku. Kau tidak boleh ke mana-mana lagi. Kau harus ikut denganku sekarang juga!” ucap Alex sambil memaksa Lina ikut bersamanya. “Tidak, jangan paksa aku. Aku tidak mau ikut denganmu! lepaskan, ah… tolong…” Lina jadi ketakutan. Alex semakin agresif memaksa Lina untuk ikut dengannya. “Tidak, kau harus ikut denganku. Aku sudah mengakui kesalahanku, jadi tidak ada alasan lagi kau menolakku.” Alex menarik tangan Lina dengan paksa dan membawanya keluar dari ruangan itu melalui pintu belakang. Tangan Lina ditarik, dipaksa mengikuti langkah Alex. Mereka melewati ruangan dan lorong berjalan langsung ke pintu belakang di bagian samping bangunan. Di sana sebuah mobil sudah menunggu. Begitu Alex dan Lina terlihat keluar, pintu mobil terbuka. Alex lalu memaksa Lina untuk masuk. Meskipun Lina memberontak dan berteriak meronta, pria itu tidak peduli. Ia tetap memaksa Lina masuk dan menutup pintu mobil dan melaju pergi. Sementara itu, Rizal sedang menangani pasien seperti biasa. Setelah sesi terapi untuk pasien terakhir, ia berniat untuk pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sudah saatnya untuk pulang ke apartemen. Ia memeriksa ponselnya, ada pesan dari sang kekasih. Ia pun membacanya. Hanya sapaan selamat malam dan kalimat motivasi untuknya seperti biasa. Ia pun membalas pesan kekasihnya itu lalu meletakkan ponselnya di meja. Meskipun ada suster yang akan membereskan meja kerjanya, Rizal terkadang enggan meminta bantuan suster dan lebih memilih membersihkan mejanya sendiri. Akan tetapi, entah kenapa sejak tadi ia merasa ada yang aneh. Ia tidak tahu pasti tapi perasaannya tidak enak. Tiba-tiba ponselnya berdering, ternyata Tuan Kizara yang menelepon. “Malam Om, ada yang bisa saya bantu?” sapa Rizal sembari kembali duduk di kursinya. “Ya, malam dokter Rizal. Eh, apa Lina ada di sana?” tanya Kizara. “Lina? enggak ada Om, memangnya Lina tidak ada di rumah?” Rizal mulia cemas. “Iya, kata ibunya, sejak sore tadi izin keluar sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang. Aku pikir dia ke tempatmu. Ibunya sejak tadi sudah khawatir,” jelas tuan Kizara. “Om tenang dulu, aku akan coba cari tahu. Om juga usahakan mengecek ke semua teman-temannya, kali saja Lina ada di sana,” ucap Rizal mencoba memberi sedikit solusi. “Iya, dokter. Maaf ya, aku lagi-lagi merepotkanmu malam-malam,” ucap Kizara merasa tidak enak. “Tidak apa-apa, Om. Lina kan pasienku, jadi sudah sewajarnya aku harus tahu keberadaannya, apalagi sudah larut begini. kemungkinan dia kembali ke tempat mainnya seperti dulu,” tebak Rizal. “Kalau benar demikian, Lina sungguh sudah keterlaluan. Baiklah, aku akan menelepon teman-temannya dulu,” sahut tuan Kizara yang berusaha tetap tenang. “Om tenang saja, semoga tidak terjadi sesuatu,” ucap Rizal. “Iya dok, kalau begitu aku tutup dulu teleponnya. Selamat malam,” ucap tuan Kizara. Sambungan telepon pun terputus. Rizal menghela nafas panjang. “Lina benar-benar membuta semua orang kesusahan. Entah pergi kemana lagi dia itu. Kalau sampai ia kembali ke club malam lagi, aku akan bersikap tegas,” gerutunya sambil menelepon seseorang. “Ya halo, ada tugas untukmu.” Kemudian Rizal menyampaikan tugas yang ia maksud kepada orang suruhannya. Setelah itu ia pun mematikan sambungan telepon. Rizal tampak duduk termenung di kursinya. Keinginan untuk pulang beristirahat tiba-tiba lenyap. “Kira-kira ke mana Lina?” gumannya lirih. Ia mulai gelisah memikirkan gadis itu Rizal terus memikirkan kemana Lina kira-kira akan pergi. Rizal merasa, Lina tidak akan mengingkari janjinya secepat itu. Apalagi efek dari hipnoterapi masih mempengaruhi pikirannya. “Ah, aku akan lacak ponselnya saja,” ucapnya. Ia pun mulai mengaktifkan mode lacak di ponselnya. Dan ia pun mendapatkan rekam jejak ponsel Lina dan terakhir keberadaan ponsel Lina yang terlacak itu. “Apakah Lina kembali berhubungan dengan pria itu dan tidak ingin pulang?” gumannya penuh curiga. Entah kenapa ia merasa kesal. Rupanya Lina tidak terpengaruh sugesti yang ia berikan. Kalau begini, bagaimana ia cepat sembuh? “Sebaiknya aku telepon dulu saja, tapi dia pasti tidak akan menerima panggilanku,” gumannya sedikit gusar. Tapi pada akhirnya Rizal pun mencoba menelpon Lina tapi seperti dugaannya, tidak ada jawaban. Pia itu pun bergegas meninggalkan ruangannya dan berjalan tergesa menuju mobilnya. Rizal melaju membela malam menuju apartemen milik Alex. Ia sangat yakin pria itu berhasil membujuk Lina untuk berhubungan lagi dengannya. Ini tidak bisa dibiarkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN