Ketahuan Bohong

1047 Kata
Lina terdiam, untuk sesaat otaknya kosong. Ia tak mampu merangkai kata untuk menjawab semua yang Winda ucapkan. Karena pada dasarnya, apa yang wanita itu katakan adalah hal yang benar. di sini, yang bersalah adalah dirinya. Semua awal dari perasaan sehingga berlanjut dengan harapan semu yang hanya ia sendiri yang mengetahui. Harapan yang tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya, harapan yang tidak akan pernah terwujud. Harapan yang harus selalu ia sembunyikan jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. “Iya, tentu saja, Kak. Tidak usah khawatir. saya bukan wanita yang akan merebut milik orang lain. Aku doakan semoga Kakak selalu sehat dan segera pulang. Dokter Rizal terlihat sangat tersiksa berpisah dengan kakak,” ucapnya sembari berusaha menekan rasa ngilu di dalam hatinya. “Ah, terima kasih banyak dan aku minta maaf jika ucapanku terdengar kasar. kalau begitu, saya tutup teleponnya.” Tubuh Nayya jatuh terduduk di sisi ranjangnya. Tubuhnya lemas, sama sekali tak bertenaga. Energinya terasa terhisap habis bersamaan dengan menghilangnya suara panggilan Winda. “Apa kau sudah sadar sekarang, Lina? apa yang kau harapkan dengan terus menumbuhkan rasa cintamu itu? hanya sakit yang kau peroleh, kan? itulah kenyataan yang harus kau terima. Kebahagiaan semu yang pikirkan itu hanyalah khayalan layaknya debu yang akan menghilang tertiup angin. Seharusnya sejak dulu kau sudahi saja perasaan konyolmu itu. Tapi kau tetap saja keras kepala dan mengharap keajaiban datang? Dasar konyol!!” Lina bermonolog merutuk dirinya sendiri, ia malu. Air mata yang jatuh karena penyesalan tak lantas bisa menghapus rasa bersalah yang ia rasakan. Bersalah karena telah berani berpikir untuk mencintai kekasih orang lain dan berharap jika ia bisa mendapatkannya. Sungguh, semua yang ibunya katakan padanya terbukti nyata sekarang, ia pun terisak, tersedu, dan meratap. Jika sudah demikian, tidak seorang pun yang bisa meredakan kesedihannya. Sang ibu yang masih sibuk pada pekerjaannya. Lina hanya duduk termangu menatap kosong ke arah jendela. Hilang sudah keinginannya untuk terapi, ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan Rizal dengan kondisi hati seperti sekarang. Ia malu dan takut akan menampakkan emosinya di hadapan Rizal. Sudah cukup sampai di sini saja, ia akan melupakannya. Ia pasti bisa melupakan. Tepat di jam terapinya, ia kembali ke ranjangnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur, ia lelah dan sangat mengantuk, ia butuh istirahat agar keesokan harinya ia punya energi untuk menatap matahari. *** Rizal sudah gelisah menunggu pasiennya yang terakhir. Ia berusaha menghubunginya tapi panggilannya tidak terjawab. Ada apa lagi dengan gadis itu? Hingga satu jam sudah berlalu, Lina belum datang juga. Rizal pun terpaksa menghubungi tuan Kizara, sayangnya Kizara juga masih berada di kantor sedangkan saat menghubungi istrinya , Yuanita juga masih di butik dan tidak tahu anaknya datang untuk terapi atau tidak. Karena tugas dan kewajibannya, ia tidak bisa mengabaikan begitu saja. Prinsipnya, jika pasien tidak menemuinya di klinik, ia yang harus mengunjungi pasien tersebut. Setelah meminta izin untuk berkunjung ke rumah tuan Kizara untuk menemui Lina, Rizal pun bergegas dan melaju bersama keadaannya menuju tempat itu. Sepanjang perjalanan, ia terus berpikir kenapa Lina bersikap seperti ini lagi, ia kembali bersikap tidak kooperatif, kalau ia terus-terusan menunda terapinya, kapan ia akan sembuh? Saat mobilnya berhenti di halaman rumah besar itu, ia pun turun dari mobil dan berjalan menuju pintu. setelah membunyikan bel, pelayan membuka pintu dan ia pun masuk. Karena ia sudah hafal letak kamar Lina, Rizal pun langsung melangkah menuju kamar itu. Ia mengetuk pintu sekali, dua kali, tidak kali, tapi tidak ada respon. Apa Lina tidak ada. Ia pun berinisiatif untuk membuka pintu kamarnya. saat pintu itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang sedang terlelap di atas kasur. Ia pun melangkah mendekat. ‘Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah hari ini jadwal terapimu? Dasar gadis nakal,” gumannya sambil menatap Lina yang tertidur. Ia lalu melangkah keluar kamar dan turun ke lantai satu dan duduk di ruang keluarga. “Kenapa tidak dibangunkan saja, Dokter?” tanya sang pelayan. Tidak apa-apa, Bi. Aku akan menunggu Lina saja, mungkin dia sedang lelah,” ucapnya lalu menyalakan televisi. “Baik kalau begitu, dokter mau minum apa?” tanya sang pelayan. “oh, kopi saja, Bi. Kebetulan aku harus begadang lagi malam ini untuk mengerjakan berbagai laporan,” Jawab Rizal sambil menyalakan laptopnya. Lina membuka mata, ia melirik jam dinding ternyata sudah pukul 5 sore, rupanya ia tertidur selama satu jam. Tapi, pada saat ia hendak bangun dari rebahnya, kepalanya terasa sakit. “Ukh.. kepalaku sakit sekali… sepertinya karena aku kebanyakan menangis, ya? hah…!” ia pun kembali mengingat ucapan Winda, dan kali ini terlihat tegar. Ia menghela nafas dalam. “Sepertinya aku harus mengganti dokter saja. Aku tidak bisa bertemu dengannya lagi.” Ia pun meraih ponselnya dan terkejut karena ada 10 panggilan tak terjawab oleh dokter Rizal. “Huh kenapa sih pria baik sekali? seharusnya jika pasienmu tidak mau terapi lagi ya sudah, biarkan saja. Jangan buang waktumu untuk meneleponnya, “ gerutunya sedikit kesal. Ia pun lantas membalas pesan dokter itu. “Maaf, Dokter. Hari ini aku ada acara bersama teman-teman jadi aku tidak bisa menjalani terapi.” Kalimat itu yang ia tulis di dalam isi chatnya. Ting… “Oya? Padahal aku sudah menunggu sejak 2 jam yang lalu sampai sekarang. Bagaimana ini?” Rizal membalas. “Aku benar-benar minta maaf, mungkin lain kali saja dokter.” Balas Lina kemudian. Hening , tidak ada balasan dari dokter itu lagi. Lina menghela nafas dalam. “hah… yang penting aku sudah memberitahu dia, jadi sudah bukan salahku lagi kalau dia tetap menunggu,” gumannya sambil membuka-buka ponselnya. Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar, Lina pun menatap ke arah pintu. “Masuklah, Bi!” serunya sambil terus memainkan ponsel. Ia bahkan menyetel music dan bernyanyi mengikuti lagu. Pintu terbuka dan Rizal pun masuk. Saat Lina sadar jika yang ada di kamarnya itu bukan pelayan melainkan Rizal, orang yang ia hindari, tentu saja Lina terkejut. “Do-Dokter…??!” Rizal melangkah menghampiri gadis itu, Lina jadi salah tingkah. Ia sudah ketahuan berbohong lantas apa lagi yang harus ia katakan sebagai alasan? “Oh, jadi di mana teman-temanmu? Aku pikir mereka juga ada di sini?” tanya Rizal. “Ah, itu… aku…” Lina tidak bisa berkata apa-apa lagi, lidahnya kelu, tak mampu menciptakan alibi untuk menutupi kesalahannya lagi. “Aku ingin kau mengatakan dengan sejujurnya, Lina, sebenarnya ada apa denganmu? kenapa kau tidak ingin menjalani terapi hari ini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN