Sang ibu memeluk putrinya dengan perasaan yang sangat cemas, Lina memang bukan anak kandungnya, tapi kasih sayang yang ia limpahkan bahkan melebihi kasih sayang untuk anak kandungnya sendiri. Lina adalah anak kesayangannya. Buah hatinya, segalanya. Tentunya, melihat kondisinya yang seperti ini, hatinya sangat hancur.
“Sayang, ada apa denganmu? Kenapa seperti ini?” ucapnya di sela tangis. Ia memeluk erat tubuh putrinya dengan erat.
Tuan Kizara tengah sibuk berbicara dengan dokter, sebelum menghampiri istri dan anaknya. Salah satu pelayan membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai.
“Tenanglah, Ma. Sebentar lagi dokter akan datang. Jangan khawatir,” ucap tuan Kizara berusaha menenangkan istrinya yang terlihat sangat panik.
“Ada apa dengan putri kita, Pa? tidak biasanya dia seperti ini?” sang istri masih terlihat sangat khawatir.
“Sebentar lagi kita akan mengetahuinya setelah dokter datang, sayang. Kau tenang saja, ya. Lina tidak akan apa-apa,” ucap Kizara.
Lina kemudian dibaringkan, meskipun nafasnya masih sedikit tersengal, matanya yang bulat terlihat menatap sayu. Sangat jelas terlihat sorot kesedihan di mata Lina. Hal itu membuat sang ibu semakin khawatir.
“Sayang, apa kau ingin mengatakan sesuatu?” tanya sang ibu. Tapi Lina tidak menjawab, hanya air matanya saja yang mengalir. Ia merasakan sakit di bagian d**a dan perih di hatinya.
Selang beberapa lama, dokter masuk dan langsung memeriksa kondisi Lina.
“Bagaimana kondisi putri saya, dok?” tanya Yuanita.
Sang dokter menatap ke arah Yuanita.
“Saya tidak mendeteksi adanya penyakit fisik pada tubuh putri ibu, di lihat dari detak jantung yang normal dan tensi darah yang cukup normal, seharusnya kondisi ini bukanlah hal yang bisa ditangani oleh pengobatan penyakit fisik. Saya yakin tidak ada masalah di dalam tubuhnya. Tapi kalau anda kurang yakin, bisa dipastikan dengan rontgen,” ucap dokter memberi saran.
“Apa dokter yakin?” tanya tuan Kizara yang memang tidak percaya terhadap apa yang dikatakan oleh dokter kepercayaannya. Bagaimana mungkin tidak ada masalah pada tubuh Lina sedangkan ia kelihatan sangat kesakitan.
“Kalau Tuan Kizara, tidak percaya, kita bisa membawanya ke rumah sakit untuk di lakukan tes,” ucap sang dokter.
Kizara tampak berpikir, ia kemudian menatap dokter lalu menatap Lina yang masih terlihat lemah memejamkan mata. Sang istri masih terlihat sangat khawatir dengan keadaan putrinya.
“Apa mungkin sakit yang putri saya rasakan itu ada hubungannya dengan kondisi mentalnya, dok?” tanya Kizara.
“Itu bisa menjadi alasan yang paling masuk akal. Beberapa kasus dengan kondisi mental tertentu jika terjadi hal yang membuat jiwanya terguncang atau sesuatu yang menyakiti hatinya, reaksi tubuh akan merespon berlebihan sehingga bisa mengakibatkan rasa sakit di bagian tertentu pada tubuh. Jadi saran saya, ada baiknya anda konsultasikan dengan Psikiater,” ucap dokter kembali memberikan saran.
Tuan Kizara mengangguk paham, ia merasa sepertinya penjelasan itu yang paling menyakinkan.
“Baiklah, dokter. Saya akan mencoba menghubungi dokternya setelah ini, terima kasih bantuannya,” ucap Tuan Kizara.
“Sama-sama, kalau begitu saya permisi dulu,” dokter pamit.
“Iya, mari saya antar.” Tuan Kizara keluar kamar mengantar dokter sampai ke pintu utama.
Setelah dokter itu pergi, tuan Kizara menelpon Rizal tapi tidak diangkat. Ia menatap ke arah jam klasik di sudut ruangan ternyata sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.
Tentu saja dokter Rizal sudah tidur. Tuhan Kizara menghela nafas panjang, apa yang harus ia lakukan? ia pun melangkah ke kamar Lina di mana istrinya masih menjaga sang putri yang masih terbaring lemah.
“Bagaimana, Pa? sudah menelpon dokter Rizal?” tanya sang istri.
“Malam sudah larut sayang, dokter Rizal pasti juga sudah tidur. Aku tadi mencoba hubungi dia tapi tidak diangkat,” jawab tuan Kizara.
“Jadi bagaimana dong, Pa? Lina masih lemah begini?” sang istri semakin cemas.
“Jangan khawatir sayang, Lina akan baik-baik saja. Tadi kan dokter bilang sakitnya itu kemungkinan bukan karena adanya masalah dalam tubuhnya. Jadi selama dia tetap tenang seperti sekarang, ia tidak akan merasa sakit lagi. Kita akan menghubungi dokter Rizal lagi besok.” Tuan Kizara menenangkan istrinya.
Diusapnya kepala sang putri dengan lembut dan mencium keningnya. “Kita akan menyembuhkan putri kita bagaimana pun caranya,” imbuhnya lagi.
“Aku mau di sini saja menjaga Lina. Papa tidur saja di kamar, besok kan mau ke kantor,” ucap istrinya.
“Ah, iya. Kalau begitu kau juga istirahat, ya. Jangan terlalu dipikirkan. Lina akan baik-baik saja.”
“Iya, Pa.”
Tiba-tiba ponsel tuan Kizara berdering.
“Loh, ini dari dokter Rizal, Ma?” mereka senang Rizal menelpon.
“Halo, dok?” sapanya.
“Iya halo, Om. Apa yang terjadi?” Rizal terdengar khawatir.
“Ah, syukurlah dok kau menelpon. Ini, Lina tiba-tiba sesak nafas dan tubuhnya gemetar tadi. Tapi kata dokter, rasa sakitnya itu bukan karena terjadi apa-apa di dalam tubuhnya. Apa dokter akan datang kemari untuk memastikannya? Tapi kalau kau tidak bisa, besok pun boleh. Aku lihat Lina sudah sedikit membaik. Kau bisa datang besok saja,” ucap tuan Kizara merasa tidak enak mengganggu pemuda yang sudah sangat dekat dengannya ini.
“Oh, tidak apa-apa, Om. Lina kan pasien saya, jadi jika terjadi apa-apa tentu saya akan mengeceknya. Saya akan segera datang.”
Setelah itu sambungan telepon mati, ia menatap ke arah istrinya yang sudah sejak tadi menunggu dengan penuh harap.
“Dokter Rizal akan datang mengecek kondisi Lina,” ucapnya memberitahu. Yuanita tersenyum senang, ia menjadi sedikit lebih tenang mendengar jika dokter Rizal akan datang. Walaupun ia sedikit merasa jika pemuda itu akan kerepotan.
“Ah, syukurlah kalau begitu, Pa. Mama senang sekali. Tapi apa dia tidak terpaksa datang? Kan ini sudah tengah malam?”
“Kau tahu kan anak itu memang seperti itu sikapnya jika menyangkut Papa, dia tidak akan kira-kira…” ucap Kizara merespon pertanyaan istrinya.
“Iya, Pa. Rizal memang pemuda yang baik,” timpal sang istri.
Rizal benar-benar salut dan kagum dengan pemuda itu. Ia benar-benar sosok yang bertanggung jawab. Ia pun terkadang berandai jika saja Rizal bisa berjodoh dengan putrinya, Lina. Sungguh akan menjadi hal yang membanggakan. Tapi ia tahu kalau hal seperti itu tidak akan terjadi karena Rizal sudah memiliki kekasih yang sangat ia cintai.
“Iya, kita tunggu saja. Papa keluar dulu, ya,” ucapnya lalu melangkah keluar kamar.
Yuanita hanya menatap punggung suaminya yang sambil menghela nafas panjang, lalu kembali menatap Lina yang terbaring lemah.”
“Ma…” tiba-tiba suara lemah terdengar.
“Ah, iya sayang, kau perlu sesuatu?” tanya Yuanita. Tangannya mengelus lembut kepala sang putri
“Aku mau minum,”ucap Lina dengan suara lirih.
“Oh, sebentar,” Yuanita menuang air di gelas dan membantu Lina untuk minum.
“Sekarang bagaimana perasaanmu, nak?” tanya Yuanita lagi.
Lina kembali merebahkan tubuhnya dan menatap sang ibu dengan tatapan sendu.
“Dadaku masih sakit, tapi tidak separah yang tadi,” jawabnya.
“Ah, syukurlah kalau kau begitu. tadi mama cemas sekali. Kau hanya perlu istirahat dan jangan banyak pikiran. Oh ya sebentar lagi dokter Rizal akan datang untuk mengecek kondisimu,” ucap Yuanita memberitahu.
Lina terlihat sedikit terkejut, tapi wajahnya berubah senang.
“Dokter Rizal akan datang?”