Ingin Bicara

1304 Kata
Rizal setengah berlari menghampiri Lina duduk di lobby apartemen. Ia terlihat tampan rapi dengan setelan tuxedo biru navi. Lina berdiri menatapnya dengan takjub. “Ah, dokter sepertinya ingin ke suatu tempat. Sebaiknya aku pulang saja, lain kali bisa, kok,” ucap Lina. Meskipun merasa tidak rela untuk pergi, ia harus melakukannya. Ia merasa kurang enak hati dengan dokternya ini karena sudah mengganggunya. “Oh, tidak apa. Kau sudah terlanjur di sini juga. Ayo, kita naik dulu,” ajak Rizal. “Ta-tapi dokter, kalau saya ikut naik pasti kepentingan dokter terhalang. Aku tidak apa-apa dokter, nanti kan bisa,” Lina berusaha menolak ajakan pria itu. Ia tidak mau Rizal nantinya akan menganggapnya sebagai pengacau dan hingga akan terusik. “Ayo, kita bicarakan di atas saja. naiklah…” Rizal ternyata membuatnya memutuskan untuk naik. Meskipun logikanya menolak dan tidak membenarkan perbuatan ini, hatinya merasa sangat bahagia. “Baiklah, kalau begitu…” Rizal tersenyum sebelum melangkah terlebih dahulu menuju lift. Lina kembali menatap tubuh tinggi itu dengan penuh kekaguman. Dokter Rizal memiliki punggung lebar yang sepertinya jika kita bersandar di sana akan membuat semua kesulitan hidup menjadi sirna. Ah, lagi-lagi ia menghayal yang bukan-bukan. “Ayo, masuk. Liftnya tidak akan tertutup kalau kau hanya berdiri diambangnya saja.” “Ah, i-iya.” Lina pun segera masuk ke dalam lift, setelah itu liftnya pun tertutup. Gadis itu melirik tangan Rizal yang menekan tombol 20. Ah rupanya unit apartemennya berada di lantai 20 di bangunan ini. Di dalam lift, mereka hanya terdiam menunggu. Selama itu pula jantung Lina terus berdebar tidak menentu. Ia jadi stress sendiri menunggu kapan lift akan terbuka, “Kau tidak apa-apa?” Rizal tiba-tiba bertanya. Rupanya pria itu memperhatikan tingkahnya. Wajar, sebagai dokter psikiater ia akan selalu mengamati tingkah dan perubahan emosi setiap pasien, apalagi Lina memang sengaja menemuinya padahal baru saja ia menyelesaikan proses terapi. “Iya, dokter. Aku tidak apa-apa,” jawab Lina berbohong. Meskipun nyatanya ia sedang berusaha keras menutup rasa gugupnya saat ini. Ia tidak menyangka, berada di ruang sempit dan tertutup bersama pria ia sukai akan sungguh menyiksa sekaligus menyenangkan dalam waktu yang sama. Rizal lagi-lagi hanya tersenyum, duh senyum itu lagi, kapan liftnya terbuka...!! Lina menjerit dalam hati. Senyuman itu sungguh membuat hatinya meleleh seperti es krim. Setelah melalui detik mendebarkan itu, akhirnya Lina bisa menghela nafas lega. Lift terbuka lalu mereka keluar. Lina mengikuti langkah Rizal menuju pintu bagian ujung lorong. Mereka berhenti di pintu nomor 555. Wah, bahkan nomor pintunya juga secantik itu. Apa dokter sengaja memesannya khusus? Jantungnya kembali berdegup kencang saat dokter Rizal terlihat sama sekali tidak menyembunyikan kode kunci kamarnya. 7118, Lina dengan jelas melihatnya menekan tombol itu. Apakah dokter ini selalu memeperlihatkan kunci nomor rumahnya kepada setiap pasien yang ia bawa ke mari? “Silakan masuk.” Rizal membuka pintu dan mempersilakan Lina untuk masuk ke dalam. Begitu sampai di dalam, suasana nyaman dan hangat langsung terasa. Ia menatap seluruh ruangan mewah itu lalu berjalan mengikuti Rizal menuju sofa ruang tengah. Ini bahkan terlihat seperti penthouse dari pada apartemen. Interior minimalis mendominasi seluruh ruangan, menggambarkan kesan sederhana namun tetap elegan nan mewah terpadu menjadi satu. Berada di sini membuat semua kekalutan perasaan yang ia bawa seketika lenyap tak bersisa. Sungguh, tempat ini sangat cocok untuk terapi. Pantas saja, selain di klinik, dokter juga menerima pasien di sini. “Apartemen dokter cantik sekali,” puji Lina. “Oh ya? aku pikir ini biasa saja. Apartemenmu mungkin jauh lebih bagus dari pada ini,” Rizal merendah. Ia mengeluarkan 2 botol minuman segar dari dalam kulkas. “Ah, dokter bisa saja. aku sekarang kan memuji tempat ini. Kok balik memuji tempatku segala sih. Lagipula aku yakin, semua pasien yang pernah datang kemari pasti sependapat denganku,” ujar Lina sambil meneguk minuman dingin yang disuguhkan Rizal. “Aku tidak pernah membawa mereka ke sini, kau yang pertama,” ucap dokter tampan itu. “Uhuk..uhukk…!” lina terbatuk, tersedak minuman yang sedang ia minum. Ia terkejut mendengar jika baru dirinya yang masuk ke tempat ini. Yang benar saja. “Kau tidak apa-apa?” Rizal dengan cepat membatunya dengan memberikan air putih untuk meredakan batuknya. Wajah Lina memerah dengan perhatian itu. rasa malu dan senang menjadi satu. “Ah, terima kasih,” ucapnya sambil meneguk air putih itu beberapa kali. “Kau sudah tidak apa-apa, kan?” tanya dokter Rizal lagi. Lina mengangguk. Dokter, sudah! jangan limpahkan perhatianmu itu padaku karena aku tidak sanggup menerimanya, ini terlalu berlebihan buatku… dalam hatinya menjerit. Rizal kemudian beranjak dari tempatnya dan mengambil laptop lalu membukanya. Ia melihat jam tangannya sebentar, lalu kembali fokus ke laptopnya. “Baiklah, kita mulai saja. Tapi kau bilang ingin membicarakan sesuatu. Apa itu?” tanya dokter tampan itu terlihat tenang. “Ring…ring…” Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ia menatap layar ponselnya sejenak. “Tunggu sebentar, ya?” ucapnya lalu beranjak dari hadapan Lina. Gadis itu semakin merasa tidak enak hati. Dokternya ini sangat sibuk tapi kenapa ia malah mengganggunya. Tapi hatinya senang karena ternyata hanya ia yang bisa masuk ke dalam tempatnya ini. Ia pun menatap punggung pria tampan yang sedang berbicara lewat telepon sedang berdiri menghadap ke depan jendela kaca super lebar yang memperlihatkan pemandangan menakjubkan mata. Setelah beberapa lama,dokter Rizal melangkah berjalan menuju tempat tadi sambil terus berbicara. “Ah, aku pikir aku bisa datang sendiri.” “…” “Kenapa kau tidak bilang sejak awal, sih? Baiklah, aku tidak jadi datang saja kalau begitu.” “…” “Aku mengerti, tapi kemana aku harus mencari pasangan dalam waktu sejam? Kau tidak waras, ya? sudalah, aku lebih baik tidak usah datang. Sudah dulu, aku ada pasien, bilang saja kepada mereka aku tidak bisa datang.” ‘’Huh.. ada-ada saja…” gerutu Rizal sambil menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia memejamkan mata Lina hanya bisa menatap tak berkedip pria yang ada di hadapannya ini. Dibalik sikapnya yang sangat profesional dan terkesan bijak, ternyata adakalanya ia menggerutu seperti tadi. Entah siapa yang di ajaknya berdebat tapi sudah bisa dipastikan ia adalah orag terdekatnya. Ah, Lina semakin ingin tahu saja seperti apa Rizal sebenarnya. “E.. dokter, sepertinya kau memang sedang sangat sibuk, ya? aku kan sudah bilang kalau aku baik-baik saja. Pertemuannya bisa di tunda, kok. Sungguh, perasaanku sekarang sudah jauh leih baik setelah melihat apartemenmu. Aku jadi tidak enak karena sudah mengagumi,” ungkapnya. “Ah tidak apa-apa, kok. Itu hanya sebuah pertemuan reuni biasa. Tapi mereka membuatku kesal. Maaf ya aku jadi memeperlihatkan emosiku padamu. Kau pasti terkejut,” ucap Rizal sambil menatap Lina dengan tatap menyesal. “Ah, tidak sama sekali dokter. Justru aku merasa sangat beruntung bisa mengetahui lebih dalam lagi pribadi dokter, bukankah kau juga sudah janji akan membagi kisah hidupmu adaku? Dokter masih ingat, kan? sanggah Lina. Rizal tersenyum. “Jadi, aku ingin dokter juga bisa membagi kesulitan apapun padaku, siapa tahu aku bisa membantu. Karena mau tahu, segala sesuatu yang berhubungan denganmu, membuatku senang. Siapa tahu dengan begini aku bisa cepat sembuh, iya kan?” Rizal terkesiap mendengar ucapan Lina. ia tidak menyangka Lina akan bicara seperti itu. Tidak di sangkan Lina sudah membantunya menemukan metode terapi sesaat keinginanya sendiri dan itu sangat masuk akal. “Ah, tidak kusangka idemu sangat cemerlang. Jika itu yang aku inginkan, tentu saja aku tidak keberatan,” ucapnya bersemangat. Lina tersenyum. “Jadi bisakah dokter memberi tahuku, apa yang membuat dokter gusar tadi?” Rizal kembali menatap Lina dengan dalam, ia berpikir apakah ia harus memulainya dengan mengatakan keluhan padanya? mungkin ia harus mencobanya. “Sebenarnya mereka memintaku untuk membawa pasangan di acara itu, padahal sebelumnya tidak seperti itu. Mereka menggubah aturan di saat –saat terakhir. Aku kan bingung, mau cari pasangan dadakan kemana, padahal acaranya dimulai sejam lagi. Andai Winda ada di sini semuanya akan baik-baik saja. Mereka selalu membuatku kesulitan. Lina tertegun, ah rupanya seperti itu masalahnya. Senyumnya mengembang. Sepertinya ia bisa membantu. “Kenapa bingung, dokter. Kan ada aku…?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN