Curhat

1099 Kata
Lina menghambur ke pelukan ibunya sambil menangis, sang ibu tentu saja terkejut. “Ada apa lagi, sayang? apa terjadi masalah?” tanya Yuanita mulai khawatir. Lina tidak menjawab, ia hanya terus memeluk ibunya, Yuanita pun membawa sang putri masuk dan duduk di sofa. Ia hanya membiarkan Lina memeluknya sampai puas. Setelah beberapa saat, Lina pun melepas pelukannya. “Sekarang cerita ke Mama, apa yang terjadi?” ucap Yuanita saat Lina terlihat mulai tenang. Lina terdiam lalu menatap ibunya dengan dalam. Wanita yang selama ini membesarkannya dan memberikan semua ksaih sayang, apakah bukan ibu kandungnya?apakah ia harus menanyakan ini sekarang? bagaiamana kalau ternyata itu semua benar? lantas, apakah sikapnya akan berubah atau malah mengusirnya kalau ia menayakan itu sekarang? semua keraguan dan pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Lina, gadis itu menggeleng tanpa sadar dan mambuat Yuanita bertambah bingung. “Hei, ada apa dengan anak Mama ini, hmm?” Yuanita menyentuh wajah Lina dengan lembut. Lina memegang tangan ibunya dan memejamkan matanya. “Tidak! dia adalah mamaku. Tidak ada wanita lain yang berhak menyebut dirinya sebagai ibuku selain wanita berhati malaikat ini. Tidak!” Batinnya. “Mama, Aku sangat sayang padamu…” ucap Lina seketika lalu kembali memeluk Yuanita dengan erat. “Oh, ha..ha… sayang, mama juga sangat menyayangimu? Ada ada sih, kamu kok aneh sekali hari ini, sayang?” tanya Yuanita. “Gak apa-apa Mama. Pokoknya mulai sekarang aku tidak akan membuat Mama susah lagi. Aku tidak akan bertengkar dengan Ayuna lagi, aku akan menjadi anak yang paling baik di dunia ini agar Mama semakin sayang padaku,” ucap Lina dengan antusias. “Oh..ho… Mama bahagia sekali mendengarnya, sayang. Terima kasih…” kali ini Yuanita yang memeluk putrinya dengan erat. mendengar ucapan Lina, membuatnya sangat senang. Ia berharap apa yang Lina ucapkan itu benar adanya. Ia tidak tahu apa saja yang dokter Rizal telah lakukan tapi perubahan Lina yang relatif lebih cepat dari dugaan mereka adalah hasil yang sangat baik. Setelah beberpa lama mereka berpelukan, Lina pun pamit keluar dari kamar ibunya dan kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Di dalam kamar ia terus memikirkan ucapan wanita yang menelponnya itu. Siapa wanita itu, kenapa ia tiba-tiba mengaku sebagai ibu kandungnya? “Dia pasti hanya orang yang ingin mengambil keuntungan dari keluargaku. Pokoknya aku tidak boleh bertemu dengannya atau menerima teleponnya lagi Tidak boleh!” gumannya sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lina membuka mata dan menatap sekeliling, rupanya ia tertidur. “Hah? sejak kapan aku tertidur begini?” ia menoleh ke arah jam weker mungil cantik di atas meja, sudah pukul 10 pagi. Ia bangkit saat merasa perutnya keroncongan, ternyata di meja sudah tersedia makanan. ia pun menghampiri meja dan langsung menyantap makannnya. Setelah makan, ia membersihkan dirinya di kamar mandi dan keluar dengan tubuh dan pikiran segar. Ia duduk termenung mematut wajahnya di depan kaca meja riasnya. Ia memandangi wajah polos nan cantik itu. Kecantikannya memang sungguh di atas rata-rata, ia bahkan lebih cantik dengan suadaranya yang sudah menikah. Saudara yang baru ia ketahui belakangan ini. Sehingga untuk mendapatkan perhatian pria, itu tidak sulit baginya. Tiba-tiba ia teringat kembali dengan wajah tampan dan senyum lembut Rizal, hatinya seketika berdebar. “Ah, kenapa wajah itu datang lagi mengusik pikiranku? Apa yang harus aku lakukan agar bisa melupakannya? Kalau aku membiarkan perasaan ini, aku sendiri yang akan sakit nantinya. Percuma saja menyukai pria yang sudah memiliki kekasih. Tapi, percuma saja memiliki wajah cantik ini jika tidak bisa memiliki orang yang kita sukai. Astaga, apa yang aku katakan barusan. Sadarlah Lina!” gadis itu menepuk-bepuk wajahnya agar pikiran anehnya menghilang. “Lebih baik aku ke gym saja, sudah beberapa hari Ini aku tidak olah raga. Pokoknya bayangan dokter itu harus hilang. Setidaknya sampai sore nanti sebelum aku bertemu denganya lagi. Aku tidak mau hatiku kembali berdebar aneh saat melihatnya,” gumannya dengan penuh keyakinan. Setelah bersiap, ia meraih tas yang berisi pakaian gym dan air putih. Ia pun meninggalkan kamar dan berjalan menuju mobilnya. Ibunya sudah berangkat ke butik sedangkan sang ayah sudah di kantor tentu saja. Hanya ada pelayan yang terlihat sibuk bekerja. Ia pun masuk ke dalam mobil dan pergi ke pusat olah raga langganannya. Sesampainya di sana ia di sambut oleh seorang peremuan tinggi bertubuh atletis indah. “Hai sayang, kenapa baru muncul sih. Aku kangen loh,” sapanya sambil memeluk Lina. Wanita itu merupakan pemilik tempat itu, ia juga merupakan pelatih senam dan salah satu sahabat Lina. “Aku di rumah aja sih, lagi malas gerak. Tapi saat melihat pipiku mulai bersi lagi, aku lansung ke sini tanpa pikir panjang. Ha..ha…” seloroh Lina. Tentu saja ia hanya beralasan. “Pilihan bagus dong, kau harus sering-sering ke sini agar tubuh dan otakmu sehat juga. Yuk, aku tunggu kamu di ruang biasa, ya. jangan di sini. Banyak cowoknya,” bisik sang sahabat. “Hihi.., bukankah lebih baik begitu. sekalian cuci mata?” timpal Lina. “Ih, jangan. Nanti mereka keenakan melihat wajah cantik dan tubuh seksimu itu. Yuk, ganti baju dulu. Kita latihan di ruanganku saja,” ucap sang sahabat lalu meninggalkan Lina. Lina berjalan menuju ruang ganti lalu masuk dan mengganti banjunya. Ia keluar dengan pakain gym lengkap. Tubuh Lina yang ramping dengan d**a yang sedikit besar membuatnya telihat sangat seksi memakai pakain gym itu. Alhasil, semua mata laki-laki yang ada di tempat ia lewati menatapnya tanpa kedip. Tapi ia terus berjalan tanpa peduli tatapan damba mereka. ia sudah sangat terbiasa dengan hal seperti itu. Sehingga rasa risih pun sama sekali tidak ada. Bangga, tentu saja. Dengan wajah cantik dengan ditunjang oleh tubuh yang seksi, gadis mana yang tidak bangga. Ia pun berjalan masuk ke dalam ruangan sahabatnya dan memulai berolah raga. “Li, bagaimana hubungamu dengan Alex? Apa kalian baik-baik saja?” tanya sahabatnya itu saat mereka duduk beristirahat setelah kurang lebih satu jam mereka melakukan latihan. “Kami sudah putus,” jawab Lina dengan mantap. “Oh ya? syukurlah, akhirnya kalian putus juga. Aku lega mendengarnya. Kau tahu aku melihat dia jalan dengan perempuan lain kemarin sore,” ucap sahabatnya itu. “Sudah biarkan saja, aku sudah tidak peduli dia mau melakukan apa. Sebaliknya, aku sedang menyukai seorang pria tapi sayangnya dia sudah memiliki kekasih dan akan menikah.” Lina menatap sahabatnya itu dengan sangat serius. “Apa? aku menyukai pria yang sudah mau menikah? jangan gila kau Lina. Saranku, lupakan dia dan cari pria lain, ucap sahabatnya itu dengan tegas. “Yah, itulah yang sedang berusaha aku lakukan sekarang. Tapi bagaimana aku bisa melupannya, kalau hampir setiap mimggu aku bertemu dengannya. Entah sejak kapan perasaan ini munul, tapi belakangan Ini, setiap kali aku bertemu dengannya, aku seakan ingin langsung memeluknya dan mencium bibirnya itu, Cindy.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN