Bab 8

1069 Kata
Maaf, aku tak lagi peduli. Lekas aku melajukan sepeda motor dan meninggalkan hingar bingar. Jalanan yang macet, akhirnya kulalui. Ketika tiba di depan tempat kerja baruku. Tampak sebuah mobil yang familiar. Aku menautkan alis. Rasa-rasanya hapal plat nomor mobil tersebut. Lekas aku masuk dan menuju lobi. Benar saja dugaanku, sosok perempuan berparas lembut yang tak lain adalah Bu Faridah---Ibunya Kenzo ada di dalam. Sepertinya dia salah satu pelanggan dari klinik kecantikan di sini. “Pagi, Mbak Intan!” “Pagi, Mbak Diva!” Aku menyapa resepsionis sekaligus kasir yang baru kutahu namanya Intan ketika kemarin mengirimkan email kontrak untukku. Sosok berkerudung warna salem yang tengah memilih produk skincare tersebut menoleh. “Eh ada Diva?” Perempuan yang tak lain adalah Bu Faridah itu menatapku. “Ibu lagi apa di sini? Langganan juga, ya?” Aku menghampirinya lalu menyalaminya dengan khidmat. “Ahm, Mbak Diva!” Aku menoleh pada Intan yang memanggilku. Namun, dari sudut matanya dia tampak melirik Bu Faridah, tetapi langsung tak lagi melanjutkan kalimatnya. “Apa Mbak Intan?” tanyaku. “Ahm, enggak.” Dia malah garuk-garuk kepala. “Saya sudah lama langganan di sini, Diva. Kamu kerja di sini?” Suara Bu Faridah mengalihkan kembali pandanganku. “Iya, Bu. Ini hari pertama.” Aku menjawab sejujurnya. “Wah semoga betah, ya!” Bu Faridah tersenyum. Dia menepuk bahuku dua kali. “Aamiin.” Aku menengadahkan tangan dan mengusap wajah. Bu Anne yang baru datang dari lantai atas, langsung mengajakku ke sebuah meja yang ada di samping ruangannya. “Hmmm … maaf, ya, kemarin terlambat ngabarin hasil interviewnya.” Bu Anne tersenyum ramah sambil mulai membukakan layar komputer. “Iya, Bu. Gak apa-apa, kok.” Aku mengulas senyum. “Posisi yang kamu tempati sekarang yaitu sebagai marketing communication! Kamu pernah dengar sebelumnya?” Dia menatapku dan bertanya. “Pernah, Bu. Waktu interview.” Bu Anne malah terkekeh. Lantas dia menyusulkan pertanyaan berikutnya untukku. “Apa kamu sudah ada bayangan, kerjaan MarCom, alias Marketing Communication itu apa saja?” Aku terdiam. Selama menunggu hasil interview, aku tak sempat mencari-cari tahu. Bahkan ketika interview pun aku belum tahu posisi yang kosong itu bagian apa. “Maaf, Bu. Saya belum terlalu paham.” Aku menggaruk-garuk kepala. Bu Anne menghela napas kasar. Namun, kemudian dia pun mulai menjelaskan. “Jadi gini, tugas utama marketing communication itu yaitu menumbuhkan brand awarness dan kepercayaan terhadap produk yang dijual oleh perusahaan. Banyak cara, misalnya dengan iklan, jadi nanti tugas kamu itu salah satunya memegang sosial media, maintain postingan dan membuat postingan atau konten yang bisa menjual atau branding produk kita. Sehingga produk kita lebih melekat di hati masyarakat dan orang percaya pada kualitas dari produk dan layanan kita.” Bu Anne menjeda. Aku menarik napas. Baru poin pertama saja sudah terasa pertentangannya. Aku adalah orang yang tak menyukai sosial media. Jangankan upload-upload konten, pernah bikin pun, entah sudah berapa lama tak pernah kutengok. Itu pun, dulu dibuatkan Mas Imam. “Yang kedua, direct selling. Jadi nanti kamu bisa kumpulkan database konsumen yang pernah membeli atau pernah melakukan perawatan di klinik kecantikan kita. Nah, secara periodik kamu harus mengupdate pada mereka jika ada produk-produk baru atau bisa juga mengingatkan mereka dengan sapaan dan buat promo menarik agar penjualan meningkat.” Aku makin terasa insecure. Kenapa pekerjaannya semua berhubungan dengan orang. Padahal aku lebih suka bekerja dengan data, grafik, laporan, perhitungan. Aku gak terlalu suka jika berhubungan dengan tegur sapa seperti ini. Harus pandai pura-pura manis, meski sedih. Pura-pura senyum, meski hati mendung, huh. “Masih banyak lagi tugasnya, nanti saya kasih satu file untuk kamu pelajari. Hanya saja, yang terpenting adalah personnal branding. Ingat, kita kerja di Skin care center dan distributor. Jadi, setidaknya penampilan kita harus menunjang. Misalkan, produk kita ‘kan bisa memberikan efek cantik dan glowing. Nah, berarti pertama dari diri kita yang harus menunjukkan buktinya pada konsumen.” Sontak, kedua kakikku terasa lemas. Apakah mungkin kontrak kerja ini akan berakhir selama enam bulan saja. Aku tak yakin aku bisa. Semua pekerjaan yang sekarang ternyata bertolak belakang dengan kepribadianku dan kebiasaanku. “Gimana, Diva, bisa berapa lama kamu kuasai poim-poin seperti tadi?” Suara Bu Anne kembali terdengar. Aku mengusap wajah, lalu menoleh padanya. “Sepertinya satu bulan, Bu. Masalahnya bukan apa-apa, saya ini orang yang tak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain. Sebetulnya, saya lebih nyaman bekerja dengan data dan angka, sedangkan semua pekerjaan ini sangat bertolak belakang. Apalagi poin yang terakhir Bu Anne bilang, ini bahkan saya sendiri awalnya merasa minder ketika interview di sini. Saya gak ada bening-beningnya, sedangkan produk skincarenya memiliki brand glowing dan bening.” Bu Anne tampak menarik napas panjang. “Jangan sia-siakan kepercayaan owner ya, Diva. Jujur, kemarin kompetitor kamu, ada yang sangat cocok dengan posisi ini. Namun, owner memberikan kepercayaan ini sama kamu.” Sontak, ucapan Bu Anne membuatku terkejut. Jika ada yang lebih cocok, kenapa owner malah milih aku, ya? Namun, semua itu hanya batas tanya. Anggukan kepala dan jawaban iya yang akhirnya kuberikan pada Bu Anne. “Satu lagi, ini adalah satu paket skincare lengkap untuk kamu. Ini salah satu tuntutan kerja. Kamu akan menulis dengan yakin kalau khasiat produk kita bisa dirasakan dalam waktu seminggu, setelah kamu membuktikannya sendiri. Pakai, ya! Buktikan kalau pilihan owner gak salah.” Bu Anne menepuk bahuku. Aku hanya mengangguk seraya menatap satu paket skincare yang kutaksir harganya hampir empat ratus ribuan. Hal yang selalu menjadi bahan pertimbangan bagiku dulu. Karena ada kebutuhan lain yang menjadi prioritas dari pada membeli skincare. Namun, kini, alhamdulilah dapat gratis. Semoga saja cocok. Hari ini kujalani dengan berat. Aku benar-benar keluar dari zona nyaman. Kepalaku bahkan rasanya mau meledak dan energiku terkuras habis. Namun, aku tak boleh menyerah. Demi move on dan demi masa depan. Sepulang kerja, suasana di rumah masih ramai. Para tamu undangan masih berdatangan. Justru jam segini ternyata makin ramai. Di pelaminan tampak pasangan raja dan ratu sehari tengah berfose dan beberapa kali mengambil gambar. Kebahagiaan terpancar jelas di wajah Putri dan Mas Imam. Suara organ tunggal yang membawakan lagu terdengar sangat mengganggu. Sekali lagi, aku memang tak suka keramaian. Lekas aku membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelahnya makan secukupnya, lalu masuk kembali ke dalam kamar. Kukeluarkan satu paket skincare pemberian Bu Anne tadi dari dalam tas, lekas kusimpan di atas meja. Demi tuntutan kerja, mulai malam ini akan kucoba pakai. “Hey, kamu! Tolong kerja samanya, ya! Tolong buat wajah aku secantik bidadari.” Aku menepuk benda mati itu, seolah dia bisa mendengar apa yang kuucapkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN