Bab 1
“Mbak, baju seragam yang buat acara nikahanku besok, mana? Kata Mama lagi Kakak setrikain, ya?” Putri adikku muncul dari balik pintu.
“Sudah disimpan di kamar kamu, Put.” Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya. Rasanya setiap mengingat hal ini, sakitnya sampai ke ubun-ubun. Tega-teganya adik kandungku sendiri tidur dengan lelaki yang beberapa minggu lagi akan menikahiku. Lalu, sekarang? Aku harus kuat hati melihat hari bahagia mereka di depan mata. Rasanya, sakitnya tuh di mana-mana.
“Oke, deh! Makasih, Mbak.” Putri menutup pintu kamarku. Lekas aku beranjak dan berjalan mendekat ke arah jendela. Kuhirup udara banyak-banyak agar rongga d**a yang terasa sesak terasa lega. Namun, sama saja. Bahkan air mataku kembali menggenang. Tiba-tiba memoriku bersama Mas Imam berlarian.
***
“Va, lihat ini … kemarin aku sudah interview dengan pihak Bank. Alhamdulilah, KPR aku disetujui. Nanti setelah kita nikah, kita sudah bisa pindah ke rumah sendiri.” Mas Imam menatapku dengan pandangan berbinar.
“Alhamdulilah, Mas.” Aku tersenyum lega. Akhirnya impianku untuk membangun rumah tangga bersama orang yang kucintai akan segera terlaksana.
“Iya, Va. Beberapa perabot sudah Mas cicil juga. Tempat tidur sama lemari baju sudah Mas beli. Ya, nanti kalau ada uang lagi, baru beli barang lainnya.” Mas Imam menunjukkan foto-foto perabotan yang sudah dia beli.
“Alhamdulilah, Mas. Makasih, ya, Mas.” Aku menatap penuh haru. Bagaimanapun lelaki rupawan yang ada di sampingku ini begitu luar biasa. Dia mau menerimaku yang bahkan selalu dipandang sebelah mata. Bahkan mau menerima aku yang dari kalangan biasa dan memiliki Bapak yang sakit-sakitan pula.
Mas Imam bertubuh tinggi dan berkulit putih, sedangkan aku, kulitku lebih gelap dan beberapa bekas jerawat masih membekas di pipi kanan kiriku. Kadang aku malu ketika jalan sama dia. Pipinya bahkan begitu mulus, lebih terawatt dari pada aku.
“Makasih, untuk?” Dia menatapku. Tatapan hangat dan penuh cinta yang selalu kudapatkan darinya.
“Karena kamu sudah nerima aku apa adanya, Mas. Padahal ‘kan kamu tampan, apalah aku ini muka saja pas-pasan.” Aku menunduk malu.
Dia terkekeh, lalu satu tangannya mengacak pucuk kepalaku.
“Mas lihat kecantikan hati kamu, Va. Hati yang bercahaya, akan terpancar pada wajah. Dan kamu punya itu.” Begitu manis bak gulali, pujian itu dilontarkan Mas Imam untukku. Lelaki yang benar-benar kuharap nantinya akan jadi imamku.
Mungkin itulah jodoh yang kata orang saling melengkapi. Aku yang cenderung pendiam dan tertutup justru mendapatkan Mas Imam yang ramai dan terbuka. Kulitku cenderung gelap, sedangkan Mas Imam lebih putih dan bersih bahkan terawatt. Aku pendek, sedangkan Mas Imam tinggi tegap. Ya, banyak hal yang berbeda, tetapi hati kita memiliki getaran yang sama. Aku dan dia saling cinta.
Mas Imam adalah teman kerjaku di kantor salah satu tempat kursus ternama di sini. Kami baru enam bulan berkenalan. Hanya saja, aku memang tak mau pacaran lama-lama. Kami hanya sekadar ngobrol dan jalan saja dan tak pernah ada kata jadian sebelumnya. Namun, hati kami merasa saling cocok. Aku pun bahagia karena Mas Imam mau menerima penampilanku yang pas-pasan. Apalagi aku tak seglowing para perempuan lain yang perawatan kulitnya mahal.
Ya, selama ini aku adalah orang yang tak pandai bergaul. Selain karena aku introvert, aku juga malu karena aku tak bisa secantik teman-temanku yang perawatan kulitnya mahal. Jangankan ke salon, maskeran saja aku hanya beli masker bengkoang serbuk yang harganya delapan ribuan. Uang gajiku kupakai buat biayain Putri---adikku yang sekarang sedang kuliah semester satu.
Aku memiliki banyak harapan pada Putri. Meskipun aku hanya tamatan SMA dan gak kuliah lagi karena kendala biaya. Namun, aku ingin dia sukses. Karena itu, seluruh hasil kerjaku kuberikan pada Ibu untuk membiayai kehidupan kami dan kuliah Putri.
Persiapan acara pernikahanku dengan Mas Imam hanya tinggal hitungan minggu. Keluarga Mas Imam sudah datang ke rumah. Tanggal untuk acara nikahan pun sudah ditentukan. Sebelumnya, Mas Imam belum pernah ketemu Putri. Adikku itu sibuk dengan teman-temannya. Hanya saja sore itu kebetulan hujan, Mas Imam berteduh agak lama sebelum pulang. Putri pun datang dan mereka berkenalan.
Semenjak hari itu, aku mulai merasakan perbedaan sikapnya padaku. Mas Imam tak sehangat dulu. Sampai-sampai suatu petang. Aku minta di antar Mas Imam ambil kado buat ulang tahun Putri. Hanya saja dia bilang ada acara. Akhirnya aku pergi sendiri.
Namun, alangkah kagetnya aku ketika aku tiba di toko tas untuk ambil pesananku. Aku melihat sekilas dia membonceng Putri. Hatiku yang sudah mulai tak menentu, akhirnya cari ojek dan mengikuti mereka.
Sepeda motor itu melaju, masuk ke sebuah perumahan. Aku mengatur jarak agar tak kentara. Beruntung ada masker di tas. Aku sembunyikan wajahku dan mengikutinya dari kejauhan. Benar saja, sepeda motor itu berbelok pada rumah, di mana Mas Imam janji jika itu akan jadi hunian kami.
Aku mengatur degup jantung ketika ternyata mereka masuk ke dalam. Tampak Mas Imam menenteng dus kue. Aku tahu karena itu dus dari toko kue ternama. Apakah mereka akan merayakan ulang tahun Putri bersama.
Aku meminta tukang ojek berhenti agak jauh. Menunggu beberapa lama. Kuharap mereka akan keluar. Namun, setengah jam berlalu. Tak ada tanda-tanda mereka keluar.
Dengan hati ketar-ketir aku berjalan mendekat. Langkah terasa gontai tak karuan. Waktu sudah hampir maghrib saat itu.
AKhirnya kaki ini menginjak teras rumah. Belum ada tirai terpasang. Aku tahu di sini perumahan baru. Para tetangga pun belum banyak. Kuintip dari kaca jendela, tetapi mereka tak ada. Akhirnya kudorong pintu itu perlahan. Rupanya tak dikunci.
Hati semakin berdentum hebat ketika kudengar suara-suara yang menjijikkan dari dalam kamar. Perlahan kudorong daun pintu, tetapi dikuncinya. Kugedor juga pada akhirnya. Kuharap tak mendapati hal yang kutakutkan.
Gedoran beruntun sepertinya membuat mereka panik. Pintu terbuka, Mas Imam muncul dan menampakkan batang hidungnya. Aku menelan saliva ketika melihat beberapa tanda merah pada lehernya dan napasnya yang terengah. Dia tak mengenakan pakaian selain celana kolor yang menutup tubuh bagian bawahnya.
“D—Diva?” Dia menyapaku terbata.
“Di mana Putri, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar.
“P—Putri? Putri apa?” Dia pura-pura bodoh rupanya. Tangannya hendak mendorongku keluar. Namun, aku menepisnya. Lalu aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga pintu yang setengah tertutup itu pun akhirnya terbuka.
Brak!
Sebuah pemandangan yang menyakitkan tersaji di depan mata. Hatiku terasa hancur. Kedua tungkai terasa lemas luar biasa. Dia, adik yang kusayangi sudah tak lagi berbusana dan menutup tubuhnya dengan seprai. Pakaiannya berserakan di mana-mana. Tanda merah, aku melihatnya dengan jelas menyebar pada lehernya.
“P—Putri, k—kamu tega sekali sama, Mbak?!” pekikku dengan tangan mengepal. Aku memandangnya dengan nanar.