Bab 4

972 Kata
“Ya gak bisa gitu dong, Mbak! Aku juga ‘kan capek harus kuliah, masa harus beres-beres rumah juga!” Dia tetap melawan. “Oh, terus gimana? Kuliah capek, ya? Kalau gitu kita gantian, kamu yang kerja dan bantuin Ibu bikin kue, biar Mbak yang kuliah lagi dan urus rumah? Adil kan?” tantangku dengan pandangan mata yang tajam. Putri tampak kaget. Mungkin seumur hidup seatap denganku, baru kali ini aku bicara agak keras padanya. “Mbak, kenapa Mbak teriak-teriak? Mbak lupa kalau di rumah ini ada Bapak yang lagi sakit? Mbak gak mikirin perasaan Bapak, ya? Dia sedang stroke, Mbak. Jangan sampai kondisinya makin drop kalau dengar kita ribut-ribut kayak gini?” Aku menelan saliva. Ingin rasanya menyumpal mulut Putri itu. Namun, sadar. Putri bukan orang yang bisa diajak bicara. Berdebat dengannya hanya menghabiskan tenaga. Sementara itu, ada Bapak yang butuh aku, ada Ibu yang harus kubantu. “Kalau kamu gak mau ikutin aturan, Mbak. Mulai hari ini, Mbak akan pernah ngeluarin sepeser pun buat kebutuhan kamu!” Suaraku gemetar. Antara kesal, sesak dan perasaan yang campur baur tak karuan. Brak! Tanpa kusangka, Putri malah melemparkan sapu ijuk yang tadi kulempar padanya ke arah lemari. Kaca lebar yang menutup sebelah pintu lemari bagian depan itu pun retak. “Phutrhi? Dhivha?” Aku menoleh ke arah suara berasal. Sepertinya suara keributan kami di ruang depan membuat istirahat Bapak terganggu. Rumah warisan dari keluarga ini dulunya memiliki dua kamar saja, tetapi setelah aku dan Putri besar. Ibu dan Bapak membuat sekat di dapur sehingga sebelahnya adalah kamar tempat mereka tidur. Di sanalah setiap hari Bapak menghabiskan waktu. Duduk bersandar pada tembok dan menatap kehidupan luar hanya dari jendela. “Iya, Pak!” Kutinggalkan Putri. Aku tak main-main kali ini dengan ucapanku. Tak sudi lagi memberikan sepeser rupiah pun jika dia tak mau bersikap dewasa. Apalagi setelah semua pengkhianatannya padaku. “Khenhapa? Rhibhut lhaghi?” Suara Bapak tak terdengar jelas. Namun aku paham. Dia bertanya, kenapa kami ribut lagi. “Aku hanya lagi ajarin Putri buat lebih dewasa, Pak. Tadi aku suruh dia beres-beres. Sebentar lagi kan dia akan menikah dan menjadi istri.” Aku mendekat pada Bapak lalu duduk di sampingnya. Sebisa mungkin aku mengusal senyuman ketika berada di dekatnya. Aku tak mau pikiran Bapak menjadi tak fokus pada kesembuhannya kalau tahu serumit apa kondisi hatiku saat ini. Kemarin Bapak sempat shock ketika mendengar apa yang kuutarakan terkait perselingkuhan Putri dengan Mas Imam. Pada saat itu, aku benar-benar kalut. Tak bisa lagi berpikir untuk menjaga perasaan Bapak. Alhasil, masalah bertambah. Bapak makin drop kondisinya. Asam lambungnya naik karena gak mau makan. Beruntung pada akhirnya, Ibu berhasil membujuknya perlahan. “Mhakhasih, Dhivha.” Bapak mengusap kepalaku dengan satu tangannya yang masih bebas bergerak. Air matanya menitik, membuat hatiku sakit menjerit. Andai uangku banyak. Mungkin aku sudah bawa Bapak berobat ke tempat yang bagus. Bukan seperti sekarang, hanya pijat dan obat tradisional yang kami berikan pada Bapak. Bapak terkena stroke sebelah badan. Namun benar-benar lumpuh total sebelah badan itu, sehingga dia tak bisa berjalan kalau tak dipapah. Jadinya, Bapak lebih memilih tiap hari berada di kamar karena tak mau menyusahkan. Hanya sesekali minta bantuanku dan Ibu jika hendak ke kamar mandi atau minta makan. “Bapak sudah makan?” tanyaku. Kepala Bapak menggeleng. Kulihat jam, sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sepertinya Ibu belum pulang. Dia pun tadi mengantarkan beberapa pesanan kue ke tempat yang agak jauh. Kemarin Ibu ada buat cucur sama putri ayu juga pesanan Pak Lurah yang mau selametan. Mungkin pas aku nganter wajik ke rumah Kenzo, Ibu pergi ke sana. Agak jauh dan jalan kaki, jadinya pasti lama. Lekas aku ke dapur. Kuambil nasi dari magic com pada piring, sayur bening bayam dan tempe oreg lauk makan hari ini. Lekas kutata pada piring dan mengambil mangkuk. Kubawa segera ke kamar Bapak dan menyuapinya. “Makan yang banyak, ya, Pak … semoga cepat sembuh ....” Aku tersenyum di depannya, tetapi menangis dalam d**a. Bapak mengangguk dan makan dengan susah payah. Kuhela napas berulang lalu kuceritakan hal-hal yang menyenangkan. Sesekali aku tertawa, walau sebenarnya ini hanya tawa palsu yang kubuat-buat untuk menghibur Bapak. Jika waktu kecil, Bapak sering sekali membuat lelucon agar aku dan Putri tertawa, maka kini saatnya aku yang membuat dia tertawa. Meski yang terjadi hanya tawa hambar yang dibuat-buat sepertinya. Ya, aku tahu betul jika batin Bapak pun teramat sangat luka. Jujur, aku cengeng. Ingin sekali menangis setiap kali melihat keadaan Bapak. Namun, segera kualihkan dengan melihat langit-langit kamar. Ketika mendongak, setidaknya air mata yang menyeruak itu tak jadi berjatuhan. Kudengar suara piring beradu, sesekali suara langkah kaki yang dihentak-hentakkan. Aku hanya memperhatikan Putri yang bolak-balik membereskan piring bekasnya makan. Ancamanku cukup membuatnya takut. Jujur, aku tak lagi main-main. Kekecewaan terbesar sudah Putri torehkan. Andai dia adik tiri, mungkin sudah kuberikan lagi pada Ibu atau Bapak kandungnya. Namun, sayangnya … kata Bapak dan Ibu, kami ini saudara kandung. Yang bahkan akan tetap ada pertalian darah sampai kapanpun. Usai memberi makan Bapak, lekas aku membereskan piring bekasnya makan. Seulas senyum tersungging ketika melihat ke ruang tengah, semua sudah dibereskan. Aku pun merapikan piring bekas Bapak makan. Usai beres-beres, aku kembali menuju kamar. Ruangan ternyaman yang kumiliki sekarang. Kuhela napas lagi ketika melihat kalender. Esok sudah senin. Mau tak mau, aku harus bertemu Mas Imam di tempat kerja. Entah seperti apa jadinya nanti? Sepertinya aku harus mulai cari kerja baru agar intensitas kami bertemu bisa berkurang. Lekas kubuka website dari layar gawai. Kucari-cari lowongan yang menerima lulusan SMA hanya dengan skill computer yang pas-pasan. Mataku tertuju pada satu lowongan yang tertera. [Distirbutor Produk Kecantikan Sedang Membuka Lowongan untuk Bagian Administrasi – Kenzo Cosmetic & Skincare center] Aku tersenyum, lekas kusalin alamat emailnya. Hanya saja, ada hal yang menggelitik. Kenapa ada nama Kenzo di sana. Semoga itu adalah Kenzo yang berbeda, dari Kenzo musuh bebuyutanku yang kukenal. Kenzo si lelaki menyebalkan dan urakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN