Bab 9. Secercah Rasa Iri di Tengah Kebahagiaan

1119 Kata
"Apa urusannya sama lo kalau gua romantis dengan calon suami sendiri? Lo iri lihat gua yang mesra sama cowok ganteng yang speknya kayak dewa?'' ucap Olivia yang kini menatap keduanya dengan pandangan mengejek. "Buat apa aku iri sama cowok yang mokondo doang, Kak. Mending sama Yuda yang meski nggak seganteng pacar Kakak tapi duitnya banyak." Lagi-lagi Olivia hampir tak dapat menahan tawanya mendengar ucapan Belinda, ditambah dengan Yuda yang menurutnya menampilkan wajah culunnya. Sepertinya Olivia memang bodoh dapat jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan Yuda selama 6 tahun. Sungguh waktu yang lama untuk bersama dengan pria pengkhianat. Lihat saja sekarang bagaimana penampilan Yuda, pria itu bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya. Mengikuti Belinda dan menuruti apa perintah sang istri layaknya seorang pelayan. "Olivia, kita pergi sekarang ... Kebetulan saya punya voucher makan di restoran untuk berdua," ucap Panji memecah kesunyian yang ada. Dia merasa jika Olivia terlalu lama berada di dalam satu ruangan dengan sang adik akan berpengaruh terhadap kesehatan mental dan raganya. "Ngajak makan kok bekal dari voucher. Nggak modal banget jadi cowok," sindir Belinda dengan berteriak. "Yang penting nggak ngutang 'kan," ucap Olivia yang lalu menyusul langkah Panji keluar dari studio poto mewah ini. Keduanya tetap melangkah meskipun Belinda terus mengeluarkan sindirannya. *** "Ckckck, sial sekali gua bisa bertemu dengan pasangan sampah itu di sana," gerutu Olivia saat dirinya sudah berada di kamar kost-nya. Olivia menolak untuk diajak makan dengan Panji karena merasa lelah dan kram perutnya juga semakin parah. Hanya berbaring dan mengompres perut dengan botol berisi air hangat yang sudah dilapisi handuk yang Olivia lakukan selama 2 jam terakhir. Dering ponsel membuat Olivia merasa terganggu dan berdecak kesal saat mengetahui jika Panji yang menghubunginya. Dengan suara agak membentak Olivia menjawab panggilan itu. "Apalagi sih, Pak? Saya lagi nggak mau diganggu!'' ''Saya sudah ada di depan kamar kamu, tolong bukakan pintunya." Lagi-lagi Olivia hanya dapat menggeram kesal menghadapi tingkah Panji yang seenaknya. "Mau apa sih Bapak datang kemari 'kan tadi siang kita sudah ketemu," ucap Olivia dengan sinis saat membukakan pintu untuk sang atasan. "Ini saya bawakan makanan untuk kamu," ujar Panji dengan wajah dan nada datar. Olivia menatap curiga kantung plastik hitam yang masih dipegang oleh Panji. Dia tak berniat untuk mengambilnya, sebab Olivia tahu jika makanan itu adalah healthy food yang sesungguhnya menurut versi Panji. "Kenapa kamu nggak mau mengambilnya?'' tanya Panji yang mulai menyadari arti tatapan Olivia padanya. "Saya nggak mau makan, Pak. Perut saya masih sakit karena kram," jawab Olivia yang setengahnya memang benar dan setengah lagi merasa tidak berselera memakan makanan yang diberikan oleh Panji. "Cepat dimakan, Oliv. Ini saya belikan bakso di pengkolan depan." Mendengar kata bakso menerbitkan air liur Olivia. Dia membutuhkan asupan micin saat ini juga setelah sebulan lebih tidak memakannya. Alasannya tentu saja karena diet. Olivia merasa minder memiliki berat badan 63 kilo dengan tinggi badan yang hanya 156 centimeter. Tapi sekarang Olivia tidak akan memusingkan berat tubuhnya. Tidak ada Yuda yang menyindir tentang betapa gemuk lemak perutnya dan wajahnya yang lebar seperti bakpao. Tak butuh waktu lama untuk Olivia sebelum menyambar kantung itu dan memindahkan isinya ke dalam sebuah mangkuk. Sementara Panji hanya menatap Olivia yang lahap memakan baksonya sembari bertanya-tanya di dalam hatinya, ''Sebenarnya di mana aku pernah melihat gadis ini?'' Olivia yang merasa risih karena terus diperhatikan oleh Panji menghentikan makannya dan memandang curiga pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. "Kenapa Bapak ngelihatin saya kayak gitu? Ada yang salah?'' tanya Olivia dengan murka karena mengira Panji mengejek cara makannya. "Tidak ada yang salah, saya cukup takjub ada seorang perempuan yang tidak ada jaimnya saat makan di depan seorang pria," jawab Panji. "Untuk apa jaim kalau nantinya kelaparan. Lebih baik makan sampai kenyang, karena menghadapi kenyataan hidup itu berat dan butuh banyak energi," ucap Olivia yang kini mulai tidak canggung dengan Panji. "Kalau begitu bagus karena saat kamu sudah siap, kita akan mengumumkan pernikahan sekaligus mengadakan resepsi. Menjadi istri CEO itu tidak seindah yang ada di n****+ ataupun drama yang sering kamu lihat itu." Mata Olivia melebar saat Panji mengetahui tentang hobinya membaca n****+ dan menonton drama. "Oliv, biasa saja lihatnya. Saya menyimpulkan dari akun medsos kamu yang dipenuhi dengan quotes dari n****+ dan drama," tukas Panji selalu membaringkan tubuh pada ranjang Olivia. Mau melayangkan protes pun Olivia tidak dapat melakukannya karena Panji sudah tertidur lelap. Dia tidak tega untuk membangunkan pria itu dan memilih untuk menghabiskan makanannya. *** Sebulan kemudian Hari ini Olivia tampil cantik dengan gaun pengantin model kemben dengan ekor yang sedikit menjuntai, dipadu dengan blazer putih. Gadis itu terus memandang takjub metamorfosis dirinya menjadi sosok yang lebih cantik meskipun memiliki berbagai lemak di bagian tubuhnya pada sebuah cermin besar. "Mbaknya cantik sekali," puji salah satu tim MUA yang mendandani kedua pengantin itu. Semburat merah langsung menghiasi kedua pipi Olivia yang chubby, membuat para MUA yang sedang merias langsung menggoda gadis itu. Sementara Panji juga tidak kalah tampannya dengan setelan tuxedo putih dan sapu tangan berwarna ungu yang diselipkan di saku jasnya. Andreas serta kakek dan nenek Panji tampak begitu tegang melebihi calon pengantin yang akan mengikrarkan janji suci sehidup semati sebentar lagi. Sampai-sampai Panji harus terus mengingatkan ketiganya agar tidak grogi saat prosesi pemberkatan berlangsung. "Itu mempelai wanitanya, Nji. Kamu cepat sambut dan gandeng tangannya," ucap Andreas dengan antusias. Kebahagiaan meliputi hati , Andreas dan dia melangitkan doa untuk Helena, sang istri yang telah berpulang setahun lalu. Tanpa sadar Andreas meneteskan air matanya, saat Panji dan Olivia sudah resmi menjadi sepasang suami-isteri di dalam agama. Tinggal menunggu pengesahan dari negara. Dalam hatinya, Andreas berdoa agar jadwal keduanya di catatan sipil dapat keluar secepatnya. Melihat sang ayah mertua yang menangis penuh haru membuat hati Olivia seperti tercubit. Padahal ayahnya dan Panji sama-sama ditinggalkan oleh belahan jiwanya tapi Andreas masih setia untuk melajang sampai saat ini. Beda dengan Johan yang memutuskan untuk menikahi Wanda, 8 bulan setelah kepergian istrinya. Iri seketika menyelusup di hati Olivia. Meskipun keluarga Panji sangat baik kepadanya, tetap saja Olivia mendambakan kasih sayang Johan yang sudah hilang sejak 7 tahun silam. Johan sudah terlena akan bujuk rayu Wandah dan Belinda yang manis dan perlahan menggeser posisi Olivia di hati pria itu. Tanpa sadar Olivia menghela napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya, entah pengaruh dari gaun pengantinnya yang terlalu ketat atau perasaan iri yang mendominasi pikirannya. Panji yang menyadari tingkah laku sang istri segera menggenggam tangan Olivia yang terbangun dari lamunannya. Dia menatap Panji dengan tatapan yang berbeda dari biasanya, membuat Panji tidak tahu harus merespon apa. "Saya hanya tidak percaya jika menikah dengan Bapak," kilah Olivia yang tak ingin Panji mengetahui keresahan hatinya. "Tapi kenyataannya seperti itu, Oliv. Kita sudah menjadi sepasang suami istri," ucap Panji dengan nada menenangkan. "Apakah saya dapat mempercayai Bapak?" pertanyaan Olivia yang tiba-tiba itu membuat Panji tidak tahu harus berkata apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN