Bab 11. Alasan Sebenarnya

1075 Kata
"Cukup! Saya tidak bisa mendengarkan Bapak yang terus menyakiti hati istri saya. Meskipun Anda adalah ayah kandung Olivia, saya tidak akan segan-segan untuk memberi pelajaran kepada Bapak." Suara Panji yang keras memancing perhatian orang-orang yang berada di sekitar ketiganya. Suara bisik-bisik mulai terdengar nyaring dan Panji yakin sebagian besar dari pengunjung ini sudah menangkap inti dari perdebatan keduanya. "Pak, lebih baik kita pergi secepatnya dari tempat ini. Saya sudah tidak sanggup lagi melihat wajah Papa yang membenci saya terang-terangan seperti ini," bisik Olivia setengah berjinjit mendekatkan bibirnya pada telinga Panji. Panji segera menoleh ke arah Olivia dan tersentak saat melihat tubuh Olivia yang bergetar menahan tangisannya. "Kalau tidak ada yang mau Bapak bicarakan, kami permisi dulu," ucap Panji dengan yang mampu membuat semua orang gemetar. "Silakan, karena saya tidak peduli lagi dengan anak sial itu. Dan saya juga tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa dengannya," hardik Johan dengan suara lantang. Sebenarnya Johan hanya menggertak Olivia, karena dia tahu sang putri sangat menyayangi dirinya. Olivia tidak akan pernah membantah Johan, meskipun dia sudah berlaku tidak adil. Johan tersenyum saat Olivia berhenti melangkah. Sudah dia duga jika masih bisa mengendalikan dan memanipulasi sang putri. Senyuman sinis pun mengembang tatkala Olivia membalikkan tubuh dan menatap sendu sang ayah. "Sering aku berpikir saat sendirian, apakah aku memang benar anak Papa? Kenapa perlakuan Papa sama aku sangat berbeda dengan Belinda. Sebenarnya yang anak tiri itu aku atau Belinda?'' tanya Olivia yang sudah tak dapat membendung lagi rasa sakit dan sedih yang dia rasakan. Tangisan Olivia yang pecah membuat pilu semua orang yang melihatnya. Tak banyak yang mengutuk Johan yang semena-mena terhadap sang putri. Johan yang menyadari opini negatif publik yang mengarah padanya memaki dalam hati. Dia terlalu gegabah bertindak rupanya. "Oliv, ayo kita pergi sekarang. Jangan memikirkan orang yang tidak peduli sama kamu. Ingat kamu sekarang adalah istrinya Mas. Mas sekarang yang berkewajiban untuk menafkahi kamu menggantikan pria itu," ucap Panji yang lagi-lagi melayangkan tatapan tajam pada Johan. Andai saja Olivia tidak tahu jika pernikahan mereka adalah kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan. Mungkin dia sudah terbuai akan perkataan manis sang CEO Mahendra Grup. "Mas benar dan mungkin pertemuan kita memang sudah takdir dari sang pencipta. Aku sangat bersyukur bisa menikah dengan Mas Panji." Bahkan karena terdesak oleh keadaan, Olivia dapat memanggil Mas kepada Panji dengan lancar tanpa merasa canggung. Selanjutnya tanpa berbicara lagi pada Johan, Panji segera menarik tangan Olivia tanpa memperdulikan umpatan kasar yang dilontarkan oleh Johan. "Seharusnya tidak begini kejadiannya," ucap Johan dalam hati. Bagaimana cara Johan mengekang Olivia lagi jika sang putri telah bersuami? Dan pastinya suami Olivia memiliki kedudukan yang lebih kuat di mata hukum daripada dirinya. Tadinya Johan mengira dengan kematian Fransiska tahun lalu, dia akan dapat menguasai seluruh harta kekayaan mendiang sang istri. Tapi pembacaan surat wasiat yang dilakukan sehari setelah pemakaman Fransiska mengejutkan dirinya. Surat wasiat itu mengatakan jika Olivia akan mewarisi semua perusahaan berikut aset keluarga Hermawan Jayatangka yang adalah kakek kandung Olivia saat gadis itu berusia 26 tahun. Surat yang ditulis oleh Hermawan-kakek Olivia saat gadis itu masih berusia 3 tahun. Pernikahan Johan dengan Fransiska juga terjadi bukan tanpa alasan, pria itu sengaja mengincar putri seorang pengusaha yang merupakan orang terkaya dengan peringkat 40 di Asia itu. Alasannya tentu saja Johan tidak ingin hidup susah. Bahkan dia meminta Wandah yang adalah kekasihnya untuk merelakan dirinya menikah dengan wanita lain. Dan meskipun Olivia adalah darah dagingnya sendiri, tak pernah terlintas dalam pikiran Johan untuk mencintai sang putri. Selama ini Johan hanya berpura-pura melakukannya dan saat sang istri dan mertuanya itu meninggal. Barulah Johan menunjukkan tabiat aslinya. "Kenangan sialan!'' umpat Johan yang lalu menyadari jika Panji dan Olivia sudah berjalan menjauhinya. Dengan luapan emosi yang membuncah, Johan kembali mengeluarkan makian serta umpatannya kepada Olivia dan Panji tentunya. *** "Kenapa muka Papa kelihatan kesal sekali?'' tanya Wandah saat Johan menyusulnya di salon. Terlalu malam untuk melakukan perawatan memang, tapi Wandah yang sudah tidak tahan dengan hiasan sanggul tinggi menjulang pada kepalanya sejak pagi tadi memutuskan untuk membersihkan rambutnya di salon. "Tadi aku ketemu anak istriku yang sudah meninggal di supermarket," jawab Johan yang kini membuang napas kasar. "Terus?'' tanya Wandah yang masih fokus pada pegawai salon yang mengeringkan rambutnya. "Dia sudah tidak bisa aku kendalikan lagi sesuka hati. Suami sialannya itu pasti yang telah mempengaruhinya," ucap Johan dengan menggeram kesal. "Bukannya itu bagus Pah. Nggak ada lagi yang akan menghalangi Mas untuk menguasai harta istrimu yang sudah menyatu dengan tanah itu," timpal Wandah. "Untung gua bukan orang kaya, jadi nggak perlu pusing mikirin harta atau perebutan warisan," ucap sang pegawai salon dalam hatinya saat memahami inti percakapan dari sepasang suami istri itu. "Bagus dari mananya? Harta Fransiska tidak akan pernah dapat aku kuasai jika Olivia tidak menandatanganinya saat dia berusia 26 tahun!'' Johan yang kesal akhirnya menyemburkan kemarahannya. "Koq bisa seperti itu ceritanya, Mas. Bukannya harta Fransiska itu akan menjadi milik Papa karena status Papa yang masih menjadi suaminya?'' tanya Wandah dengan menjerit, terkejut pengakuan dari Johan. Setelah menarik nafas beberapa kali akhirnya Johan menceritakan perihal surat wasiat yang dibacakan satu hari setelah pemakaman Fransiska dilakukan. Wanda yang merasa dibohongi oleh Johan langsung berdiri tanpa memperdulikan jika rambutnya sedang ditata dan menuju ke tempat Johan duduk. "Terserahlah!'' ucap sang pegawai salon saat melihat hasil karyanya hancur seketika akibat perbuatan dari Wandah. "Kalau kita harus dapat membujuk Olivia untuk kembali ke rumah," ucap Wandah. "Mama, Olivia itu sudah menikah dan bukan tanggung jawab Papa lagi. Dan lagi Papa merasa jika suami Olivia itu sangat berbahaya dan tipe orang yang harus dihindari," simpul Johan setelah mengamati perilaku Panji di supermarket tadi. "Meskipun suami Olivia itu orang yang berbahaya, apa gunanya jika dia itu kere. Kita bisa meminta Yuda untuk memberi pelajaran kepada anak muda yang arogan itu," desis Wandah. "Mama benar, kenapa kok Papa nggak terpikir untuk meminta bantuan sama Yuda. Dengan uang yang dimilikinya,bukan hal yang mustahil untuk menekan suaminya Olivia," ucap Johan sembari menyunggingkan senyum licik. Bayangan Panji yang bertekuk lutut padanya seketika memenuhi pikirannya. Bahkan Johan sudah menyusun rencana agar Olivia dan suaminya mau tinggal di rumah peninggalan Hermawan itu. "Pah, kalau gitu cepat kita pulang dan bicarakan ini dengan Yuda dan Belinda. Mereka pasti setuju dengan rencana ini, toh ini demi masa depan mereka juga." Suara Wandah menyadarkan Johan dari lamunannya. Setelah membayar biaya salon sang istri, keduanya segera bergegas untuk pulang. "Olivia, sayang sekali kamu harus terlahir sebagai perempuan. Papa nggak rela jika harta keluarga ini harus berpindah tangan kepada kamu dan pria sombong itu," gumam Johan di dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN