Senin bulan November. Mulailah kegaduhan dengan kesibukan yang sangat. Mereka berlomba mengerjakan laporan akhir tahun sebelum Desember nanti akan ada evaluasi. Bahkan kadang mereka sampai se frustasi itu. Zora kasihan melihatnya. Tapi itu sepadan dengan apa yang didapatkan.
Gaji plus bonus akhir tahun yang sangat menggiurkan. Zora juga ingin sebenarnya, tapi dia tidak bisa. Dia bukan sarjana yang bisa bekerja sebagai pegawai kantoran. Bisa bekerja di Edz Company sebagai cleaning service saja dia sudah senang. Gaji di perusahaan ini memang menggiurkan.
“Ra, aku disuruh ke ruang CEO nih. Kamu yang ngurus disini dulu ya. Yang lain juga udah sibuk soalnya,” ucap Arin. Zora mengangguk saja.
Memang sedari tadi tidak ada petugas cleaning service yang bisa berleha-leha di ruangan. Mereka di panggil kesana-kesini untuk mengambilkan ini, membuatkan itu. Akhirnya cleaning service pun ikut sibuk.
“Mbak, tolong buatkan saya segelas kopi!”
Zora mengiyakan dan bertanya dimana ruangannya. Setelah dijawab dan Zora mengiyakan akhirnya interkom diputus. Dan Zora segera beranjak ke pantri untuk membuatkan kopi. Sebelumnya dia melihat ke arah Iyya yang bermain dengan mainan di tangannya. Dia tidak tega meninggalkannya, tapi ini pekerjaan.
Akhirnya sebisa mungkin dia membuat kopi dan segera mengantarnya ke ruangan yang tadi diminta ditambah dengan setoples kecil biskuit. Memang sudah seperti itu kebiasaan di lantai direksi. Jika mereka menyuruh dibuatkan minum maka plus biskuit juga. Walaupun biskuitnya beda dengan yang untuk bos besar.
Sesampainya di ruangan para pegawai cleaning service. Dia mendengar suara tangisan Iyya, dan benar saja. Iyya tidak bisa ditinggal sebentar saja. Berbeda dengan Iyyo yang sepertinya akan mudah mengerti tentang pekerjaan yang dijalaninya.
“Ra, aku udah coba tenangin tapi nggak bisa,” ucap Yaya.
Dia adalah cleaning service juga tapi sudah bekerja lumayan lama. Tapi jika dibanding Arin, masih lama Arin. Memang para cleaning service lantai direksi ini orang-orangnya baik. Beda dengan yang lantai biasa, mereka senang saja menggosip tidak perlu. Mungkin lingkungan juga memengaruhi.
“Makasih ya mbak udah bantu jaga, jadi ngerepotin,” ucap Zora tidak enak.
“Kamu kayak sama siapa sih Ra. Nggak apa-apa biasa aja. Aku mau makan siang dulu, kamu mau aku bawain nggak? Kayaknya Arin masih lama deh di ruangan pak bos.”
Mendengar tawaran itu jelas saja Zora menyetujui. Dan jika dilihat sepertinya Arin sedang sibuk entah apa di ruangan CEO. Sebenarnya Zora sudah curiga sejak malam dia mengetahui jika bosnya dan Arin bertengkar. Apa jangan-jangan mereka memang ada hubungan spesial? Tapi Zora selalu mengenyahkan pikiran itu, itu bukan masalahnya okay.
Sambil menunggu makan siangnya nanti akan dibawakan oleh Yaya. Zora memanfaatkan waktunya untuk menyusui kedua anaknya. Memang sudah ditaruh di dot, tapi tetap saja jika dilihat orang diamerasa canggung.
Baru selesai memegangi dot berisi s**u untuk Iyyo, ada seorang yang tiba-tiba saja masuk ke ruangan ini. Membuat Zora kaget saja, setelah dilihat nyatanya itu adalah calon adik ipar bosnya.
“Maaf ada apa ya pak?” tanya Zora sopan.
Dia segera berdiri dan melepaskan tangannya dari dot yang akan dia berikan kepada Iyya. Membuat bayi itu rewel seketika, Zora kasi merasa tidak enak. Apalagi Alva sampai menatap ke arah bayinya itu.
“Oh, nggak apa-apa sih. Cuma mau minta tolong, boleh bikinin kopi ke ruangannya Vona. Saya sudah coba intercom tapi tidak ada respon.”
Zora segera menyanggupi dan dia berkata bahwa sebentar lagi kopinya akan dia antar. Dengan berat hatipun Zora meninggalkan Iyya yang sudah rewel. Ini waktu bekerja, dan pekerjaannya bukan pekerjaan yang bisa dia lakukan kapanpun atau setidaknya bisa disambi.
Jadi saat di kantor Zora harus tetap memprioritaskan pekerjaannya di atas apapun. Walaupun dia tidak tega harus meninggalkan Iyya. Andai kebutuhan hidup mereka tidak setinggi ini, pasti Zora sudah memutuskan untul keluar dari tempat kerjanya ini dan mencari pekerjaan yang lebih ringan dan tidak banyak menyita waktu.
Setelah mengantar kopinya ke ruangan sekretaris bukan ruangan yang besar, hanya seperti kubikel tapi lebih besar, yang ada di depan ruangan CEO. Setelah itu Zora segera kembali ke ruangan dan nyatanya Iyya sudah tenang. Tidak biasanya batin Zora.
“Ra, kok kamu tinggalin Iyya nangis sendiri sih. Unting ruangannya kedap suara, kalau nggak gimana coba kalau ada yang berbuat usil. Untung aku kasih s**u langsung diam,” omel Arin.
“Maaf mbak aku tadi nganterin kopi buat pak Alva.”
“Huft, kamu sih mbak ajak tinggal bareng nggak mau. Kan kamu bisa ngirit terus cari pekerjaan yang nggak nyita waktu buat mereka.”
Bukan masalah tidak mau, ini masalah rasa tidak enak dan masalah balas budi. Dia tidak enak jika harus merepotkan orang lain yang belum lama dikenalnya. Baik sih baik, tapi bukan berarti Zora bisa seenaknya untuk memanfaatkan keadaankan.
Apalagi jika nanti Arin sudah ada cowok sudah pasti Zora tambah tidak nyaman. Terus nyatanya dia sudah keluar dari sini, terus penghasilannya tidak banyak. Dia mau tinggal dimana, belum lagi jika nanti Arin menika. Belum tentu cowoknya mau menerima alasan yang akan dia jelaskan.
Ya Zora akui itu memang sudah terlalu jauh pemikirannya. Tapi siapa yang tahu tentang jodoh. Hari ini belum ada nyatanya besok sudah. Dan mereka langsung setuju untuk berkomitmen, ya sudah. Makannya Zora tidak ingin menumpang di rumah orang. Seenak-enaknya tinggal tetap di rumahnya sendiri walaupun susah.
“Bukan nggak mau mbak, tapi aku nggak mau ngerepotin orang. Walaupun mbak bilang nggak repot, tapi aku yang ngerasa nggak enak. Walaupun susah begini aku tetap suka tinggal hanya dengan Iyya dan Iyyo. Bukan berarti aku nggak suka sama mbak, aku suka banget malahan, tapi aku nggak mau orang lain nganggapnya aku tukang manfaatin orang,” jelas Zora dengan menangis.
Arin paham itu. Dia tidak memaksa tapi dia juga ingin meringankan beban Zora. Dia memang orang yang baru dekat dengan Zora, tapi tidak ada salahnya kan kalau dia peduli dengan Zora. Melihat hidup Zora yang begitu berat membuatnya selalu bisa bersyukur. Arin yang tadinya sering sedih karena kehilangan orang tuanya berubah menjadi lebih dewasa dan tidak bersedih lagi.