Tengah malam Zora dibangunkan dengan suara ribut-ribut di luar rumah Arin. Jam padahal sudah menunjukkan pukul 1 malam. Apa ada perampokan atau maling datang? Zora mengenyahkan pikiran negatifnya. Tapi apa yang membuat suasana tengah malam ramai selain itu?
Karena penasaran dia bangun dan bergegas meninggalkan kamar. Tak lupa dia menguncinya dari luar. Takut hal-hal yang tadi dipikirkannya menjadi kenyataan. Semoga saja tidak. Sesampainya di ruang tamu tidak ada siapa-siapa. Zora menebak keramaiannya bukan kegaduhan itu berasal dari depan rumah.
“Kamu apaan sih malam-malam datang kesini? Nggak ada kerjaan aja.”
Zora tahu suara ketus itu milik Arin. Tapi siapa yang perempuan itu ajak bicara? Ah berarti pemikiran negatifnya tadi salah. Kadang dia sendiri capek dengan segala pemikiran negatif yang selalu muncul di saat ada masalah. Kenapa dia susah berpositif dalam berpikir?
“Kamu kenapa nolak cincin dari aku? Kamu minta bukti buat serius kan? Itu udah aku buktiin!”
“Itu dulu, sebelum kamu ngilang 12 tahun lalu! Lagipula kamu yakin sekali jika kira masih bersama. Sedangkan kamu sudah pergi lama. Kamu tidak berpikir kalau salah orang?” itu suara Arin
Zora tidak mendengar suara lagi setelah itu. Zora menebak pasti pria itu sedang mencari sanggahan supaya bisa menang melawan perkataan yang Arin lontarkan. Tidak ada laki-laki yang mau kalah dengan perempuan. Apalagi menyangkut harga diri. Ya itu yang selama ini Zora tahu dan temukan.
“Okay, terus kamu maunya bagaimana sekarang?” tanya sang laki-laki.
“Aku maunya kamu pulang sekarang! Udah bye.”
Mendengar itu Zora lalu berlalu ke kamar. Dia takut kalau ketahuan menguping yang awalnya tidak sengaja. Ya awalnya tidak sengaja tapi akhirnya penasaran juga ya sama saja. Zora sesegera mungkin memejamkan mata dan mengatur nafasnya senormal mungkin. Zora berharap besok sudah melupakannya dan tidak penasaran lagi.
***
Pagi ini suasana berubah cerah tidak ada yang mengungkit kejadian tadi malam. Lagipula siapa yang mau mengungkitnya? Tidak mungkin Zora sedangkan keadaan disaat dia tahu hanya tidak sengaja mendengar. Sedangkan tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Arin juga tidak ingin bercerita soalnya.
Zora di rumah Arin sudah seperti di rumah sendiri. Bedanya dia disini seolah sangat diistimewakan. Dia tidak boleh membantu pekerjaan rumah oleh Arin. Dia hanya boleh mengurus kembar dan dirinya sendiri.
“Ra udah selesai mandiin kembar?” tanya Arin dari depan pintu kamar.
“Kalau udah sarapan ke depan ya. Udah aku siapin.”
Zora mengangguk saja seperti robot. Bermaksud menolak pun tidak ada hasilnya. Sebenarnya dia belum terlalu lapar. Zora jarang makan pagi kalau sedang hari libur. Biasanya dia akan sarapan nanti sekitar jam sembilan. Entah kenapa tapi itu sudah seperti kebiasaan Zora saat libur. Kalau dipikir-pikir dia juga bisa mengirit.
Karena kalau dia sarapan jam sembilanan, nanti kalau siang dia sudah makan. Dan nanti dia makannya saat sore sekitar jam lima. Sekaligus sebagai makan malam. Jadi nanti malam dia sudah tidak makan. Jadi dia hanya makan dua kali dalam sehari jika libur. Lumayankan.
“Sebenarnya mbak nggak perlu repot-repot kok. Aku jarang sarapan kalau pagi,” ucap Zora saat duduk di kursi ruang makan.
Arin yang sedang menyiapkan makanan menoleh ke Zora,”Jangan dibiasakan Ra. Emang kamu nggak sayang sama diri kamu sendiri?”
“Sayang mbak. Kan lumayan juga bisa irit.” Jujur Zora.
Arin menghela nafas. Dia tahu kalau hidup sendiri itu susah. Belum lagi ditambah beban menghidupi dua anak. Satu anak saja sudah berat apalagi dua. Seharusnya umur segitu Zora masih bisa bersenang-senang. Atau tidak dia masih bisa menikmati uang hasil kerjanya. Bukan malah mengurus anak.
Arin menjadi geram seketika jika mengingat bagaimana Zora bisa punya anak. Umur dua puluh tahun sudah hamil karena diperkosa. Umur dua puluh satu sudah harus memikirkan cara menghidupi anaknya. Awas saja kalau saja dia sampai tahu siapa yang memerkosa Zora. Arin yang akan memberi pelajaran pertama.
“Udahlah mumpung kamu disini, sarapan aja walaupun bukan kebiasaan kamu kalau libur.”
Zora mengangguk dan segera memakan sarapan yang sudah dibuat oleh Arin. Ada nasi putih yang masih mengepul dengan lauk sop, ayam goreng, tempe goreng, dan sambal. Zora sangat suka.
Biasanya dia hanya akan memasak dan makan sendiri. Dan itu kadang membuatnya tidak napsu. Kadang ada makanan yang dia inginkan tapi dia tidak akan suka jika dia yang memasaknya sendiri. Kalau beli itu akan menambah pengeluaran tidak pentingnya.
Setelah makan Zora membantu Arin mencuci piring. Setelahnya mereka ke ruang tamu untuk membersihkan ruangan itu. Mereka hanya diam seolah sedang memikirkan apa yang akan mereka katakan untuk menjadi bahan obrolan. Sebenarnya Zora sedang memikirkan siapa pria yang membuat kegaduhan dengan Arin semalam.
“Ra entar ke mall yuk. Aku mau belanja baju,” ucap Arin.
“Oke mbak. Tapi aku Cuma nemenin ya nggak belanja.”
Arin mengangguk saja. Padahal perempuan itu sudah merencanakan untuk membelikan perlengkapan kembar. Sudah banyak baju Iyya dan Iyyo yang sudah kekecilan. Dan dia pikir dia akan membelikannya karena Zora pasti sedang memikirkan cara supaya dia bisa menyisihkan uangnya untuk membeli pakaian bayi itu.
Jika Zora menolak dia akan bilang jika itu untuk kembar, bukan untuknya. Jadi Zora tidak akan bisa menolak. Dia juga bisa alasan jika itu rezeki untuk si kembar. Dan rezeki jangan ditolak, kan nggak baik.
***
“Mbak, kan aku udah bilang nggak usah,” ucap Zora.
Mereka sedang berada di toko khusus untuk perlengkapan bayi. Dan Arin sudah gemas sendiri melihat banyaknya pakaian untuk bayi laki-laki maupun perempuan. Semua terlihat menarik di matanya. Bahkan dia sudah tidak menggubris ucapan Zora yang menolaknya.
“Yaampun Ra, ini unyuk banget jumpsuitnya. Ada yang buat cewek sama cowok. Ih ambil satu-satu deh,” ucap Arin.
“Mbak itu mahal. Udah ya, udah banyak yang mbak beliin buat Iyya sama Iyyo,” bujuk Zora mencoba menghentikan kekalapan Arin dalam belanja.
“Sutt, udah diam aja ya Ra. Anggap aja ini rezeki buat kembar. Tapi lewatnya aku, lagian juga nggak sering kan. Iya nggak Iyyo,” ucap Arin sambil mencari kawan dengan meminta pendapat dari bayi laki-lai yang ada di gendongannya. Dan dibalas dengan senyuman gemas bayi itu.
Mereka masih asik memilih pakaian untuk kembar. Ah bukan mereka lebih tepatnya Arin saja. Entahlan kenapa perempuan itu yang jadi kalap untuk membelikan baju kembar. Padahal tadi bilangnya ingin belanja baju.
“Arin, kamu ngapain disini?”
Arin terdiam seketika dan menoleh dengan tubuh yang menegang ke arah laki-laki yang menanyainya tadi. Zora terdiam seketika, dia yang tadi ingin mengomel menjadi tidak jadi karena kedatangan pria itu.
“Wyno, kamu yang ngapain disini?” Arin mencoba tenang. Zora tambah was-was seketika ketika mendengar nama bosnya disebut.
“Aku mau beli hadiah buat keponakan aku. Kamu?” tanya Wyno.
“Oh, Cuma belanja buat kembar,” jawab Arin dengan riang.
Seketika pria itu menatap ke arah Zora dengan tajam. Dan itu membuat Zora takut seketika. Dia selalu memikirkan alasan pria itu tidak suka kepadanya. Ah bukan tidak suka, tapi selalu menatapnya tajam. Padahal sepertinya dia tidak pernah berbuat salah kepada Wyno.
“Ayo makan siang,” ajak Wyno.
“Tapi ajak Zora sekalian ya.”
“Eh, nggak usah,”
“Oke, ayo!” potong Wyno cepat menghentikan apa yang akan Zora katakan.
Mereka makan dengan tenang kecuali Zora. Zora merasa tidak nyaman jika ditatap begitu tajamnya oleh seseorang membuat dia was-was seketika. Arin tidak menyadari tatapan tajam itu karena jika Arin akan mengetahui, Wyno akan dengan cepat merubah raut wajahnya. Dan Zora berjanji jika dia tidak akan mau lagi jika di ajak makan mereka. Dia akan menolak dengan berbagai alasan. Titik.
***