“Itulah kenapa saat pertama kali saya melihat Azkia, saya seperti sudah pernah melihatnya,” cetus Fattan. Dia kemudian meneguk air putih dalam gelas kristalnya sampai hampir habis. Mengingat masa lalu membuat tenggorokannya mengering seperti padang tandus. Aleida memperhatikan wajah Fattan yang sarat akan rasa sesal dari seberang meja sambil bersedekap. “Itu bukan salah kamu, Tan.” “Itu semua salah saya, Le.” Fattan kekeh menyalahkan dirinya sendiri. “Kamu sebaiknya nanya sama si Ovid gimana kejadiannya. Peristiwa itu kan terjadi setelah pestanya si Ovid. Mungkin si botak itu tau sesuatu,” saran Aleida. “Iya. Mungkin sebaiknya begitu.” Diskusi mereka dipaksa berhenti beberapa detik kemudian setelah terdengar suara ketukan di pintu ruang kerja Fattan. Seorang pria berkemeja cokelat d