Saat itu, situasi di arena pertandingan, entah di area para penonton atau pun di lapangan tempat para peserta bertarung, semuanya ricuh dan berantakan. Banyak sekali suara jeritan dan teriakan yang dikeluarkan dari orang-orang yang tenggelam di dunia ilusi ciptaan Isabella, menyebabkan kepanikan yang menyebar ke segala penjuru.
Setiap orang yang kesadarannya masih normal, berusaha mati-matian untuk menenangkan dan menyelamatkan rekan mereka yang diduga telah tenggelam di dunia ilusi tersebut. Karena mayoritas dari para penonton adalah mentor dan para pahlawan dari berbagai negara, membuat mereka setidaknya dapat menggunakan kekuatan sakti mereka masing-masing untuk menstabilkan kondisi orang yang terkena ilusi, tapi di banyak kasus, orang-orang yang terkena ilusi kekuatannya malah lebih besar dari orang-orang yang tidak terkena.
Itu membuat ketimpangan jadi semakin besar, dan terpaksa mereka—orang-orang yang normal—harus mencari bantuan pada orang-orang yang memiliki kekuatan yang lebih besar, dan tentu saja, tidak ada orang yang seperti itu selain Sang Penguasa.
Beberapa dari para penonton bergegas mencari keberadaan Sang Penguasa demi menyelamatkan rekan dan teman mereka yang bertingkah seperti sedang ‘kerasukan’, tapi setelah mencari ke setiap sudut arena, sosok anak kecil yang merupakan perwujudan dari Sang Penguasa sama sekali tidak terlihat, membuat mereka jadi sangat kecewa.
Begitu juga dengan pahlawan-pahlawan bimbingannya Paul, yang merupakan orang-orang yang belum mendapatkan giliran bertanding, mereka saat ini secara berpasang-pasangan menelusuri setiap sudut arena untuk mencari keberadaan Sang Penguasa, tapi tidak ada yang dapat mereka temukan selain kericuhan.
Sosok Sang Penguasa benar-benar menghilang dan tidak ada sama sekali, mereka yakin sebelumnya anak kecil itu duduk di antara bangku penonton untuk ikut menyaksikan pertandingan yang tengah berlangsung, tapi kenyataannya, sosoknya tidak ada. Lantas, apa yang menyebabkan itu bisa terjadi?
Beragam pertanyaan berputar-putar di benak pahlawan-pahlawan bimbingannya Paul seperti; apakah Sang Penguasa mengaktifkan kekuatan saktinya saat menonton pertandingan, agar wujudnya tidak bisa dilihat oleh semua orang, untuk kenyamanan dirinya sendiri?
Sehingga mungkin saja saat ini pun dia masih ada di sekitar para penonton tanpa mau menunjukkan wujudnya sama sekali? Atau mungkin saja, Sang Penguasa tidak menyaksikan pertandingan sampai selesai, dia hanya menonton sebentar lalu pergi ke suatu tempat untuk menyelesaikan urusannya yang lain dan mempercayakan orang lain untuk mengamati jalannya pertandingan?
Tapi, bagaimana pun kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terwujud, mereka tetap butuh kepastian dalam setiap jawaban, seperti misalnya jika memang Sang Penguasa tidak memperlihatkan wujudnya dan makhluk itu masih ada di sekitar sini, apa alasannya dia melakukan itu, padahal jelas-jelas situasi sedang sangat heboh dan sangat membutuhkan pertolongan dari orang super sakti seperti dirinya?
Atau jika Sang Penguasa memang pergi dari arena, tidak menonton pertandingannya sampai habis, untuk melanjutkan atau menyelesaikan urusannya yang lain di luar arena, siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengurusi kericuhan ini? Apakah Sang Penguasa sengaja melakukan ini untuk melihat sejauh mana masyarakat yang terbentuk dari mentor dan pahlawan itu bertindak di situasi genting begini? Jika memang begitu, itu artinya tidak ada cara lain selain mengatasi kehebohan ini dengan cara masing-masing.
“Ah, sialan,” Nico memijit keningnya dengan mendengus sebal.
Saat ini, lelaki berambut putih dan berkaca mata itu sedang duduk di antara bangku penonton yang kosong, bersama Abbas yang duduk di bangku yang ada di depannya.
Mereka baru saja berlari-lari mencari sosok Sang Penguasa dan sekarang mereka tengah beristirahat sejenak. Namun, waktu istirahat malah membuat pikiran Nico jadi kemana-mana dan tidak bisa diam sedikit pun, rasanya seperti bibirmu terus berbicara tanpa henti dan tidak dapat dikendalikan sama sekali bahkan oleh dirimu sendiri.
Itulah sebabnya Nico jadi memijit-mijit keningnya karena dia kesal pada otaknya yang tidak bisa diam dan terus saja memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Sosok Sang Penguasa. Sangat-sangat mengganggu karena sekarang Nico membutuhkan waktu istirahat dan ia ingin menenangkan pikirannya sebentar, tapi sepertinya terlalu sulit untuk mengistirahatkan pemikirannya.
“Kenapa?” Abbas yang duduk di bangku di depan, memandangi Nico yang kelihatan seperti orang yang sangat frustasi akan sesuatu dan itu membuatnya penasaran ingin tahu apa yang terjadi pada orang tersebut.
Melirikkan matanya sejenak, Nico menggelengkan kepalanya sambil bilang, “Tidak, aku baik-baik saja.” Seraya tersenyum tipis lalu kembali menormalkan mulutnya yang bahkan jadi mirip seperti lengkungan bibir cemberut.
Tapi, jika dilihat baik-baik, Abbas dan Nico sangat berlawanan, yang kita bicarakan di sini adalah pemikiran mereka. Ketika Nico tidak bisa menenangkan pikirannya karena otaknya selalu bekerja dengan sangat berisik seolah-olah suara hatinya terus berbicara tanpa henti, Abbas sama sekali tidak demikian, pemikirannya malah lebih sepi dan sunyi dan bahkan nyaris kosong, sebab dia juga tidak bisa mengendalikan otaknya, dan terkadang dia selalu melamun dan termenung di saat yang tidak tepat. Dan sama seperti Nico, itu juga mengganggu diri Abbas yang ingin lebih fokus dalam melakukan segala hal.
Saat Abbas hendak bertanya suatu hal lagi pada Nico, mendadak Roswel berbicara dengan menggunakan mikrofonnya, suaranya sangat keras dan terdengar di seluruh lokasi arena sehingga tiap-tiap orang yang mendengarnya secara refleks melihat ke arahnya, atau bisa dikatakan terfokus ke sosok Roswel yang berdiri di tiang tinggi, tempat pembawa acara melakukan tugasnya.
“MAAF, NONA GISSEL, TAPI ANDA DI SINI TIDAK DIPERKENANKAN UNTUK MENGGANGGU PERTANDINGAN YANG SEDANG BERLANGSUNG,” kata Roswel dengan suaranya yang cukup tegas dan memerintah. “KARENA ANDA ADALAH BAGIAN DARI PENONTON, MAKA ANDA HARUS KEMBALI DUDUK DI BANGKU ANDA. JIKA ANDA KERAS KEPALA, MAKA TIDAK ADA YANG BISA SAYA LAKUKAN SELAIN MENGUSIR ANDA SECARA PAKSA DARI LAPANGAN.”
Setelah mendengar itu, tentu saja semua penonton bertanya-tanya, siapa ‘Gissel' yang dimaksud oleh Roswel, ketika ingin memastikan itu, dan Nico serta Abbas mengikuti arah sesuatu yang dilihat pelayan pendampingnya, mereka berdua terkejut saat menemukan dinding es yang berdiri memisahkan Isabella Melvana, yang kini sedang memangku kepala Jeddy di paha-paha mulusnya, dengan seorang gadis asing berambut perak keriting yang sedang jatuh terduduk di permukaan tanah lapangan.
Abbas dan juga Nico sama sekali tidak mengenali siapa gadis itu, tapi dia sadar kalau sosok perempuan berambut keriting itu hanyalah bagian dari penonton yang sepertinya ingin mendekati Isabella untuk menenangkan kegelisahannya.
Namun, Roswel tidak mengizinkan itu dan menciptakan sebuah dinding yang terbentuk dari balok es beku untuk memisahkan dan melarang gadis itu menyentuh Isabella Melvana.
“Apa kau mengenalinya?” tanya Nico pada Abbas, hanya sekedar ingin berbasa-basi, karena dia juga tahu kalau temannya pun tidak mengetahui sosok dari gadis asing tersebut yang kini sedang ada di tengah arena.
Menggelengkan kepalanya, Abbas menjawab, “Tidak, tapi aku merasa dia bukan orang jahat.”
“Ya, aku juga berpikiran begitu,” kata Nico, sepaham dan sepemikiran dengan Abbas. “Malah yang membuatku kesal adalah sikap Roswel yang tidak paham pada situasi, sungguh, aku benar-benar kesal melihat perbuatannya pada gadis yang hendak menemani dan menyelamatkan Isabella dari kesendirian dan ketakutannya. Apakah Roswel memang semenjengkelkan ini, ya?”
Beralih ke posisi Gissel. Sekarang gadis itu benar-benar kaget dengan keadaan yang sedang dihadapinya ini, dia tidak menyangka akan jadi seperti ini, padahal di sini dia sama sekali tidak berniat untuk melukai siapa pun atau pun mengganggu jalannya pertandingan, tidak, dia tidak punya niat seperti itu.
Malah sebaliknya, Gissel datang ke tengah lapangan ingin menolong dan membantu Isabella yang sedang berada dalam posisi merasa bersalah dan ketakutan. Tapi dia sama sekali tidak tahu kalau tindakannya ini ternyata sangat terlarang oleh Sang Pembawa Acara yang merupakan Roswel.
Bukankah itu terlalu jahat? Padahal jelas-jelas peserta sedang merasa kesulitan karena kondisinya yang sedang tidak memungkinkan, lalu kenapa Roswel melarang Gissel untuk membantu kegelisahan yang dialami oleh Isabella? Apa yang salah dari itu? Apakah itu benar-benar mengganggu jalannya sebuah pertandingan yang sedang berlangsung? Gissel kira tidak, karena tindakannya justru mendukung pertandingan yang sedang berlangsung agar tetap berjalan kondusif dan sebagaimana seharusnya.
Jika seseorang terus membiarkan kericuhan terjadi, dan seolah-olah menganggap semua itu adalah bagian dari sebuah pertandingan, maka sudah dipastikan orang itu tidak bisa mengelola sebuah pertandingan dengan baik.
Dan orang tersebut adalah Roswel, tentu saja.
“Eh!? K-Kenapa!?” Gissel memekik secara refleks saat melihat sebuah dinding es tiba-tiba keluar dari dalam tanah dan menghalangi dirinya yang hendak mendekati sosok Isabella yang tengah terduduk di permukaan tanah, memangku pasangannya yang terlelap ke dalam dunia ilusi.
Bukan hanya Gissel yang terkaget, Isabella pun sama kagetnya dengan gadis itu saat melihat kemunculan dari tembok es yang rata, menghalangi pandangannya ke area tersebut, membuat gadis berambut merah panjang itu yang merupakan mantan dari seorang p*****r jadi bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sini, apalagi setelah mendengar omongan dari Roswel, ia jadi menebak-nebak, mungkinkah ada seorang gadis bernama ‘Gissel’ yang ada di balik tembok es ini, yang sepertinya hendak mendekatinya?
“Roswel, bisakah kau singkirkan ini dari hadapanku? Tembok es-mu mengganggu pandanganku.” Pinta Isabella pada Roswel, yang suaranya pun terdengar ke sepenjuru arena, hingga Gissel pun juga mendengarnya karena perempuan itu masih menggunakkan mikrofon saat berbicara.
“NONA ISABELLA, SAYA SARANKAN ANDA TIDAK MENGAMBIL KEPUTUSAN YANG MEMBUAT PERTANDINGAN JADI TERGANGGU, KARENA SAAT INI ANDA MASIH BERADA DI DALAM SEBUAH PERTARUNGAN, DAN—“
“Apanya yang pertandingan? Apanya yang pertarungan? Kau melihat kekacauan ini sebagai sebuah pertandingan yang masih sedang berlangsung? Katakan padaku, siapa yang sedang bertarung di sini? Kau bisa melihatnya sendiri, Paul dan Jeddy sedang terlelap dan aku sendirian hanya terduduk di tanah, lalu di sekitarku, para penonton menjerit-jerit dan berteriak-teriak, lalu pertandingan dan pertarungan apa yang kau maksud, Roswel!?”
Sungguh, saat mengatakan itu semua, Isabella benar-benar geram dan marah pada sosok pelayan pendampingnya yang sama sekali tidak bisa memikirkan keadaan di sekitarnya, bahkan dengan santainya dia masih menganggap ini sebuah pertandingan di saat semua orang sedang kacau seperti itu. Isabella menggeleng-gelengkan kepala dengan menghela napas, tidak tahu lagi harus bagaimana untuk meyakinkan Roswel agar memahami situasi.
Setuju pada perkataan Isabella, Gissel tersenyum dan mulailah gadis itu berlari dan meloncat dari dinding itu untuk mendarat di hadapan perempuan berambut merah itu. Melihat kedatangannya, Isabella terkesiap, tidak menyangka kalau orang yang tiba di depannya adalah sesosok gadis ramping berambut perak keriting yang kelihatannya sedikit tenang.
“Maaf, kalau aku mengganggu pertandinganmu,” kata Gissel sebagai salam perkenalan pertamanya pada Isabella, dia berdiri tegak di depan perempuan itu dan tersenyum layaknya seorang dewi yang melindungi manusia dari bahaya. “Aku Gissel, seorang mentor dari Marigold, aku datang kemari hanya ingin memeriksa keadaanmu, apakah kau baik-baik saja?”
Tersenyum senang, tersentuh dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Gissel, Isabella segera meresponnya dengan santai, “Tidak, sama sekali tidak. Aku sangat membutuhkan orang lain untuk menemaniku. Aku tidak mampu sendirian di tengah lapangan yang sedang kacau dan ricuh seperti ini. Aku butuh pertolonganmu.”
Tentu saja, saat Isabella berkata demikian, semua orang juga mendengarnya karena dia masih memakai mikrofon ketika berbicara sehingga Nico, Abbas, dan pahlawan-pahawan bimbingan Paul lainnya, serta Roswel, ikut mendengarnya dengan detail. “Aku sangat senang mendengar kau datang kemari untuk memeriksa keadaanku, terima kasih, Gissel, sebagai seorang mentor, kau baik sekali.”
Rasanya Gissel tidak sia-sia mendatangi Isabella Melvana, sebab perempuan berambut merah dan bertubuh seksi itu ternyata punya sikap dan etika yang baik saat berbicara dengan orang lain. Meski sebenarnya tidak sepenuhnya baik, karena Isabella memilih telanjang bersama pasangannya saat bertarung dengan Paul.
“Apakah kau haus, aku akan mencarikan minuman untukmu.” tawar Gissel dengan ramah pada Isabella, mencemaskan kalau perempuan itu sedang dehidrasi, apalagi duduk di tengah lapangan yang lumayan panas seperti ini.
Sayangnya, Isabella menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, aku tidak sedang haus,” jawab Isabella, menolak kebaikan hati Gissel yang hendak mengambilkannya minuman. “Aku hanya butuh seseorang di sampingku, untuk menemaniku di sini, apa kau keberatan jika aku menginginkanmu duduk di sini?”
“Aku senang jika kau menginginkanku untuk menemanimu di sini,” ujar Gissel yang kelihatannya dengan senang hati mau duduk bersama Isabella, sebelum akhirnya ia pun mendaratkan pantatnya di samping perempuan itu, untuk duduk bersama di tengah lapangan. “Terima kasih karena telah mengizinkanku duduk di sini bersamamu, Isabella Melvana.”
Menganggukkan kepalanya, Isabella tampak bahagia melihat kehadiran Gissel di sisinya, rasanya seperti duduk mengobrol bersama saudara kandungmu sendiri dan itu sangat menyenangkan dan juga menyejukkan, mengingat kondisi arena saat ini sedang sangat gaduh dan kacau.
Memandangi itu, Roswel hanya terdiam, tidak mampu untuk memisahkan mereka jika Isabella yang merupakan peserta pertandingan saja, tidak mempermasalahkan kehadiran Gissel, yang artinya, ia tidak punya hak untuk melarang gadis berambut keriting itu duduk bersama salah satu pahlawan bimbingan mentornya.
“Jadi, mengapa kau mengaktifkan kemampuanmu jika kau sendiri saja tidak dapat mengendalikannya, Isabella?” tanya Gissel, ingin mengetahui lebih lanjut alasan dari Isabella menggunakan kekuatannya yang jelas-jelas belum begitu mahir untuk dikendalikannya. “Apakah kemampuanmu berasal dari roh kunang-kunang atau memang itu bakat yang kau pelajari sendiri dari seseorang?”
“Seingatku, kemampuan hipnotisku bukan berasal dari kekuatan roh kunang-kunang atau semacamnya, aku sering menggunakan kemampuan ini bahkan ketika aku belum terpilih menjadi seorang pahlawan,” jawab Isabella, menjelaskan apa yang belum dipahami oleh Gissel.