“S-Siapa Anda!?” Dengan bibir yang gemetaran, Naomi berusaha memberanikan diri untuk bertanya pada sosok perempuan yang berdiri tepat di depannya.
Bukan hanya Naomi yang panik, semua orang yang ada di gondola sama-sama kaget dan bingung dengan kemunculan tiba-tiba dari perempuan asing tersebut, apalagi suasana sedang cukup gelap, sehingga mereka tidak bisa memperkirakannya dengan jelas bagaimana rupa wajah dari perempuan itu.
Di kala situasi jadi hening dan pergerakan gondola mulai mengendur dan melambat, akibat dari kekagetan para pahlawan yang membuat mereka secara serempak menghentikan aktivitas dayung-mendayung untuk berdiri memandangi sosok asing tersebut, mendadak perempuan misterius itu terbahak-bahak begitu nyaring, mengeluarkan suara wanitanya yang cukup merdu, ternyata jika didengar baik-baik, suara perempuan itu tidak begitu asing di telinga mereka.
Bahkan, Colin saja langsung refleks menyebut nama, “ISABELLA!?” Dengan muka tegang dan bola mata yang membulat, nyaris melompat dari kelopak matanya.
Namun, itu reaksi yang wajar, karena kembalinya sosok yang mereka kira telah menghilang ditelan lautan, membuat mereka terbelalak saking kagetnya.
Ombak masih menggoyang-goyangkan gondola, angin dan kilatan suara petir yang begitu kencang masih menggelegar-gelegar begitu hebohnya. Seharusnya mereka melanjutkan kegiatan mendayungnya seperti sebelumnya, tapi sayangnya saat ini mereka tidak bisa melakukannya untuk sementara, karena satu-persatu dari mereka berjalan mendekati Isabella yang sedang berdiri di dekat Naomi, mengerubungi perempuan berambut merah panjang itu dengan seruan dan juga tangisan.
"Saya kira Anda sosok malaikat yang hendak mencabut nyawa saya," sengguk Naomi sambil memeluk erat tubuh Isabella dengan dua tangannya yang melingkar di badan langsing perempuan itu. "Tapi ternyata dugaan saya salah! Saya sangat senang melihat Anda kembali kemari dengan kondisi yang baik-baik saja, Isabella."
"Ayolah, Naomi? Mana mungkin, kan? Perempuan jalang sepertiku menyerupai sesosok malaikat?" Isabella mengusap-usap punggung Naomi yang terasa hangat. "Ya ampun, kau ini ada-ada saja, ya."
"Isabella!" Tiba-tiba Lizzie berseru dengan berjalan gagah mendatangi Isabella, membuat sesi pelukannya dengan Naomi terlepas secara mendadak.
"Oh, hai, Lizzie? Apa kau juga merindukanku?" sahut Isabella dengan tersenyum jahil.
"Sebenarnya dari mana saja kau selama ini, b******n!" Bukannya menyambut kembalinya Isabella dengan kata-kata yang penuh tangis dan haru, Lizzie malah menyerang perempuan mantan p*****r itu dengan seruan-seruan bernada tegas dan keras, selayaknya polisi yang sedang menginterogasi seorang penjahat.
Bukan cuma itu, Lizzie juga menarik lengan kanan Isabella agar mereka berdua saling bertatap mata dalam jarak yang begitu dekat, membuat perempuan bertubuh seksi itu sedikit ngeri melihat amarah yang berkobar-kobar begitu besar di tiap bola mata gadis tomboi itu, selain itu ia juga agak terganggu dengan deru napas si gadis tomboi yang sangat nyaring, tampak terengah-engah menimbun segala amarahnya.
Tapi, Isabella mencoba mengubur kengerian dan ketakutannya dengan menyunggingkan senyuman tipis yang terkesan santai, perempuan berambut merah itu mengangkat jari telunjuknya di tangan kiri untuk menyentuh dan menekan hidung Lizzie secara lembut.
"Sudah kuduga, kau pasti sangaaaaaat merindukanku, kan?" Isabella terkikik-kikik tepat di hadapan Lizzie, menunjukkan ketenangannya meskipun saat ini dirinya sedang berhadapan sangat dekat dengan gadis pemarah tersebut. "Semua itu tertampak jelas dari raut wajahmu yang begitu kesal dan jengkel seperti seorang seorang gadis mungil yang marah karena ditinggalkan oleh orang tersayangnya begitu lama, menyebabkan kerinduannya jadi tak tertahankan, aku benar, kan, Lizzie?"
Sadar dirinya sedang dipermainkan oleh Isabella, muka Lizzie langsung memerah pekat saking malunya. Dia pun segera menarik kepalanya dari dekat wajah Isabella dan membalikkan badannya, berjalan pergi sambil mengepalkan tangannya.
"Inilah yang kubenci dari b******n seperti dia!" pekik Lizzie setelah kembali duduk ke posisi mendayungnya. "Tapi yang jelas! Kalau kau hilang lagi seperti tadi, kami akan meninggalkanmu, b******n!"
"Tenang saja, kau tidak perlu bersedih begitu, Lizzie. Aku tidak akan membuatmu tersiksa karena merindukanku lagi, kok. Jadi tenang saja, Lizzie~" timpal Isabella dengan tersenyum jahil sembari memeletkan lidahnya ke sosok Lizzie yang sedang menggeram kesal.
"Waw! Aku tidak percaya bisa melihatmu lagi, Isabella!" seru Jeddy dengan tersenyum lebar, menunjukkan kebahagiaannya dalam menyambut kemunculan Isabella.
Mendengar itu, dengan anggun Isabella memutar lehernya, mengalihkan pandangannya dari Lizzie ke sosok lelaki berwajah riang, berbadan kekar, dan berambut hijau jabrik.
"Aku juga tidak percaya bisa melihat senyumanmu lagi setelah sebelumnya kau sempat berdebat dan bertengkar dengan teman-teman kita, Jeddy," sindir Isabella dengan tertawa jahil, membuat Jeddy dan beberapa orang yang pernah terlibat pertengkaran dengan lelaki itu sedikit tersinggung dan terdiam. "Tapi apa pun itu, syukurlah aku bisa kembali bersama kalian lagi, ya." ucap Isabella yang kini perhatiannya diperlebar ke muka kawan-kawan sesama pahlawannya yang lain.
"Tidak!" Seketika Cherry berseru sedetik setelah suara petir yang bergemuruh berdentum sangat keras di langit, membuat semua orang yang mendengarnya terkejut secara bersamaan, mereka semua langsung menoleh ke posisi berdirinya si gadis mungil itu, begitu pula dengan Isabella. "Cherry tidak boleh bahagia dulu!" sambung Cherry dengan terisak-isak menahan tangisnya. "Cherry harus menahan kebahagiaan ini karena Abbas masih belum ditemukan! Cherry tidak berhak berbahagia hanya karena Isabella telah kembali! Kalau Cherry melakukan itu--hiks!--artinya Cherry telah melupakan dan mengabaikan kondisi Abbas yang belum ditemukan!"
Tersentuh dengan perkataan Cherry, Isabella menyembunyikan rasa harunya dengan terkikik-kikik ria seolah-olah menertawakan omongan gadis mungil berambut merah muda itu, itu pun membuat kesalahpahaman semakin membesar karena teman-temannya yang lain pun tidak suka melihat tingkah perempuan berambut merah itu yang terkesan meremehkan perasaan Cherry.
"Apa yang kau tertawakan, Isabella?" Tidak paham pada sikap perempuan itu, akhirnya Victor bersuara dengan menanyakan hal itu sembari memasang wajah bingungnya yang dihiasi alis mengkerut, bibir mengerucut, dan bulir keringat yang membasahi kening.
Memandangi Isabella, Koko juga merasa kalau reaksi yang ditunjukkan perempuan bertubuh seksi itu terlalu berlebihan dan tidak pantas, karena itu pasti bakal membuat hati Cherry terasa sakit sebab perasaan khawatirnya dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan malah ditertawakan.
Begitu pula dengan Nico dan Colin, mereka jadi saling pandang ketika Isabella mulai tertawa sebegitu renyahnya di hadapan mereka semua. Colin berpikir bahwa Isabella tidak bisa membaca situasi sedangkan Nico malah sebaliknya, dia mulai menyimpulkan mungkin saja Isabella melakukan itu hanya untuk menutupi rasa harunya, tapi ia masih meragukan pemikirannya sendiri.
Jeddy hanya memiringkan kepalanya sementara Naomi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lizzie tidak begitu peduli dengan semua itu karena dia sedang duduk santai di belakang teman-temannya yang tengah berdiri, sedangkan Cherry hanya terdiam saat segala perkataannya ditertawakan oleh Isabella, dia cuma mematung sambil menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Cherry. Itu terdengar sangat menyedihkan sampai aku jadi tertawa sendiri setelah mendengarnya," ucap Isabella disela-sela tawanya, sampai akhirnya ia menghentikkan dan menyudahi sesi ketawanya dan mulai menjawab dengan serius sambil matanya menatap fokus pada Cherry yang masih sedang menundukkan kepala. "Jangan khawatir, Cherry. Aku paham pada perasaanmu, pasti menyakitkan, kan? Saat salah satu dari teman kita pergi begitu saja dari sisi kita, aku sangat memahami itu. Tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya, karena berdirinya aku di sini pun, itu berkat pertolongan dari Abbas."
Sontak, jawaban yang dilontarkan oleh Isabella berhasil membuat semua teman-temannya terkesiap saking terkejutnya, bahkan Lizzie saja sampai kembali mengangkat kembali tubuhnya untuk berdiri dan Cherry pun mendongakkan kepalanya dengan mata yang membelalak, memperhatikan wajah Isabella yang tersenyum tenang di depannya.
"B-Benarkah!?" pekik Cherry dengan suara imutnya yang begitu nyaring, teman-temannya yang lain juga tampak ingin memastikan hal itu pada Isabella sebab mereka sama kagetnya seperti gadis mungil itu. "Kau tidak berbohong, kan, Isabella!? Kau tidak mungkin berbohong, kan, pada Cherry!?"
Menggelengkan kepalanya dengan santai, Isabella memandangi Cherry dengan sorotan mata yang hangat. "Untuk apa aku harus berbohong?"
"Itu tidak masuk akal!" Setelah dari tadi hanya diam dan menyimak, kini Nico kembali mengeluarkan argumennya, tidak peduli kalau teman-temannnya jadi tegang saat dirinya berbicara. "Mana mungkin dia masih hidup setelah menenggelamkan diri di air laut mati! Kau pasti tidak serius mengatakannya! Kau pasti cuma berbohong, Isabella!"
"Sebetulnya, aku sendiri juga bingung, tapi jika kau memang membutuhkan bukti yang akurat, maka lihatlah diriku. Apakah kau berpikir aku datang kemari sendirian? Dengan berenang di permukaan air yang sangat berbahaya? Bukankah itu terlalu mustahil? Aku benar, kan? Nico?"
Isabella mengambil langkah dan mendatangi sosok Nico yang sedang berdiri di samping Colin.
"Kau mau apa mendekati kami!?" Colin agak panik, tapi Isabella segera mengedipkan mata sebelah kanannya pada si pelayan kedai agar diam.
"Apa yang mau kau lakukan di dekatku, Isabella?" tanya Nico dengan keringat yang membasahi wajahnya. Ia sedikit cemas karena Isabella adalah satu-satunya sosok di antara para pahlawan bimbingan Paul yang ia anggap sebagai rival, sebab kecerdasan perempuan itu nyaris sebanding dengannya, dan itulah yang membuatnya jadi khawatir saat perempuan itu mendekatinya.
"Aku cuma penasaran," bisik Isabella tepat di telinga Nico, dengan sengaja mendesah-desahkan suaranya. "Sebenarnya jalan pikiranmu itu tertuju ke arah mana, ya?"
Sesaat mendengar pertanyaan itu, Nico dengan tergesa-gesa, memundurkan posisinya, menghindari sosok Isabella yang ada di dekatnya, membuat Colin dan juga pahlawan-pahlawan yang lain keheranan.
"Atas dasar apa kau menanyakan soal itu padaku!?"
"Hmmm?" Isabella melirik wajah Nico dengan kelopak mata yang sendu. "Aku pikir aku bakal menemukan sesuatu yang menarik jika