Jasmine 3. Jasmine's Decision to Cairo

2920 Kata
“Kamu sedang apa, Nak?” tanya Eshe berjalan tertatih. Jasmine langsung melipat brosur itu dan menyelipkannya disela kain di sisi kiri. “Nenek?” ujarnya sambil tersenyum dan beranjak dari kursi. Dia menghampiri sang Nenek lalu memeluknya. “Dimana Kakek, Nek?” tanyanya lagi. Eshe mengulum senyum. Dia berjalan ke depan untuk duduk di kursi yang ada disana. “Kakek masih di rumah, Sayang. Tadi kamu sedang membaca apa, Nak?” tanya Eshe duduk di kursi kosong. Jasmine meneguk saliva dengan susah payah. Dia tidak pernah berbohong sedikitpun terhadap kakek dan neneknya. Tapi, jika hanya ini jalan satu-satunya maka dia tidak bisa mengelak lagi. Jasmine harus berbohong demi mewujudkan keinginan pergi ke Kairo. “Ah tadi … itu, Nek. Jasmine mendengar ada acara sosialisasi mengenai cara mengelola toko supaya toko bisa berkembang dan maju,” jawabnya tersenyum dan duduk di kursinya semula tepat di sisi kanan sang Nenek. Eshe mengangguk kecil sambil memperhatikan area depan toko mereka. “Sosialisasi? Apa itu, Nak?” tanyanya masih bingung. Dia menatap lekat sang cucu. Jasmine semakin sulit meneguk salivanya sendiri. Dia mendekatkan kursi ke arah sang Nenek, kemudian kembali membuka suara. “Sosialisasi itu artinya seperti … eumh, pertunjukan yang memberitahu bahwa ada pelajaran khusus mengenai bagaimana supaya toko yang kita kelola bisa sukses dan maju, Nek. Jadi ada cara khusus yang mau disampaikan oleh orang tersebut kepada kita sebagai penonton. Begitu, Nek. Jasmine … juga bingung bagaimana cara menjelaskannya,” ujar Jasmine tersenyum tipis. Eshe tersenyum dan mengangguk kecil. Dia sama sekali tidak berpikiran buruk atau menaruh curiga terhadap cucunya sendiri sebab dia juga tidak mengerti apapun. ‘Maafkan Jasmine, Nek. Jasmine terpaksa berbohong,’ bathinnya memejamkan mata sambil memeluk dan mengecup puncak kepala sang Nenek. “Kapan pertunjukan itu akan dimulai, Nak?” tanya Eshe lagi. Belum berniat mengendurkan pelukan di tubuh sang Nenek yang selama ini mengurusnya sejak kecil, Jasmine kembali membuka suara. “Jasmine juga tidak tahu, Nek. Tapi sepertinya beberapa hari lagi akan dimulai. Sepertinya,” ujar Jasmine menghela napas berat. “Dimana pertunjukan itu akan dilaksanakan, Nak?” sahut seorang pria lansia masuk ke dalam toko dari pintu belakang. Mereka berdua langsung menoleh ke sumber suara. Eshe dan Jasmine tersenyum. Secepat kilat, Jasmine berdiri dan menuntun sang Kakek untuk duduk di kursinya. “Duduk disini, Kek.” Tidak lupa, ia mengambil lipatan brosur yang ia selipkan disana. Jasmine segera menyimpannya di dalam saku celana bagian kiri. “Pelan-pelan, Kek. Sini, biar Jasmine letak disini tongkatnya,” ujarnya tersenyum. Abbu mengulum senyum melihat kasih sayang cucunya tidak pernah berkurang terhadap mereka. “Haahh … tadi, Kakek sempat mendengar pembahasan yang menarik,” ujar Abbu kembali mengulik topik pembicaraan yang ia dengar barusan. Eshe menatap sang cucu yang sudah duduk di kursi lain disisi kirinya. “Iya, Kek. Jasmine dan Nenek membahas … pertunjukan mengenai cara untuk mengelola toko. Tapi Jasmine tidak begitu paham,” ujarnya tidak mau berbohong lebih jauh. Abbu menatap lekat sang cucu sambil mengangguk kecil. “Di kota ini juga, Nak?” tanya Abbu. Jasmine menggelengkan kepala. “Tidak, Kek. Bukan di kota Port Said,” jawabnya. Eshe menyahut. “Lalu dimana, Nak?” tanya Eshe penasaran. Jasmine menarik napas panjang dan tersenyum tipis. “Sebenarnya tadi … ada seorang wanita yang mengatakan kalau pertunjukan itu hanya ada di … Kairo,” jawabnya lugas. Abbu dan Eshe saling menatap satu sama lain. “Di Kairo?” tanya Eshe lagi untuk memastikan kalau pendengarannya tidak salah. “Jauh sekali ya,” gumam Abbu. Jasmine tersenyum dan memegang tangan kanan sang Nenek. “Iya, Kek. Perjalanan dari Port Said ke Kairo sekitar 2 jam 30 menit. Mungkin bisa lebih dari itu jika ada kemacatan,” ujarnya lagi sambil mengecup tangan sang Nenek yang selalu menjaganya dulu. Abbu dan Eshe melirik satu sama lain. Terlihat keinginan ingin hadir di pancaran mata cucu mereka. Namun, perjalanan menuju Kairo lumayan jauh meskipun tidak memakan waktu sampai berhari-hari. Jika pergi kesana, pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi cucunya tidak hanya membutuhkan ongkos pulang dan pergi, tetapi juga ongkos makanan sampai acara selesai. “Acaranya diadakan hari apa, Nak?” tanya Abbu kembali membahas topik yang sama. Jasmine langsung melihat sang Kakek yang duduk di sebelah sana. Dia berpikir sejenak. Kenapa sang Kakek menanyakan hal itu padanya. Apa mungkin mereka akan memberi izin dirinya untuk pergi ke Kairo, pikirnya bertanya-tanya sekaligus berharap banyak. “Kau tidak tahu informasi lengkapnya, Nak?” tanya Eshe memperhatikan sang cucu yang terdiam dengan pertanyaan suaminya barusan. Dia tersenyum dan menarik napas panjang. “Jasmine juga tidak tahu kapan, Nek, Kek. Tapi mungkin … beberapa hari lagi. Jasmine hanya mendengar sekilas saja tadi,” jawabnya. “Tadi … siapa yang memberitahu informasi itu kepada kamu, Nak? Kamu tahu dari mana?” tanya Abbu semakin penasaran. Jasmine semakin sulit meneguk salivanya sendiri. Kenapa pertanyaan kakek dan neneknya semakin banyak. Dia tidak ingin menimbun banyak kebohongan dan merasa bersalah terlalu dalam terhadap dua orang yang sangat ia sayangi ini. “Tadi … Jasmine sedang duduk di depan, Kek. Kebetulan wanita itu berbincang dengan sekumpulan ibu-ibu di toko sebelah. Tapi Jasmine tidak terlalu mendengar pembicaraan mereka. Hanya itu saja yang Jasmine dengar tadi,” ujarnya tersenyum. Abbu dan Eshe mengangguk paham. Mereka bersama sang cucu memulai aktivitas pagi seperti biasa. Walaupun tidak pernah ada pembeli yang berkunjung ke toko mereka walau hanya sekedar melihat-lihat saja, tetapi Jasmine tetap ceria dan membuka topik pembicaraan ringan agar kakek dan neneknya tidak merasa bosan. Seperti itulah yang mereka lakukan selama ini. Jasmine tetap bersikap baik-baik saja walau hatinya masih dirundung perasaan sedih. Semua kepura-puraan yang ia lakukan hanya demi kakek dan neneknya semata. Hanya mereka yang ia punya selama ini. ..**.. Sejak membaca brosur sekolah tari pagi itu, Jasmine terus memikirkannya. Dia membaca brosurnya berulang kali, baik itu pagi, siang, malam. Ketika sedang sendirian, Jasmine pasti akan membaca brosur yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Jasmine tidak berani meninggalkan brosur itu di kamar atau menyimpannya di lemari. Dia takut bila saja sang Nenek mencari sesuatu di lemari kamarnya lalu mengetahui brosur sekolah tari yang ia simpan. Dia dilema. Sebagai seorang manusia biasa, Jasmine juga ingin seperti teman-teman seusianya yang bebas menentukan pilihannya sendiri dan merantau ke Kota lain. Namun, Jasmine tidak setega itu meninggalkan kakek dan neneknya hanya berdua saja di Port Said. Jika dia menelaah kembali apa-apa saja yang mereka butuhkan di hidup ini, seakan cahaya terang menyinari dirinya. Jasmine membulatkan tekad untuk pergi merantau ke kota Kairo. Sudah dua hari Jasmine tidak bosan membaca brosur sekolah tari yang masih ia simpan. Hatinya berbicara kalau dia tidak boleh melewatkan kesempatan emas ini. Apalagi sedang ada diskon untuk satu bulan pendidikan tari di sekolah tersebut. Sepertinya Jasmine harus benar-benar pergi. Tapi bagaimana caranya. Dia tidak bisa pergi hanya dengan tangan kosong. Setidaknya dia harus membawa uang saku yang cukup dan beberapa pakaian. Dia juga tidak bisa pulang hari dan kembali ke Kairo keesokan harinya. Karena itu sama saja dia membuang uang. Mungkin tidak ada salahnya jika dia pergi ke Kairo sampai beberapa hari. Selain untuk mencari informasi sekolah tari yang ia maksud, sekaligus mencari pekerjaan disana sebagai tambahan uang saku. Jasmine yakin bahwa Tuhan akan memberikan kemudahan baginya ketika sampai di Kairo nanti. Walau dia tidak pernah ke Kota yang dijuluki sebagai Kota Seribu Menara, tetapi Jasmine memantapkan hati bahwa keputusannya ini pasti akan membuahkan hasil yang baik. Semua keputusan yang ia ambil semata-mata demi memperbaiki kehidupan perekonomian mereka. Dia ingin membahagiakan kakek dan neneknya tercinta. ---**--- 2 hari kemudian., Jasmine House, Port Said, Egypt., Dapur., Pagi hari., Abbu dan Eshe saling menatap satu sama lain. “Jasmine janji, Jasmine akan pulang ke Port Said setelah acaranya selesai. Kakek dan Nenek jangan khawatir sama keadaan Jasmine disana. Jasmine pasti akan menjaga diri baik-baik,” ujarnya sembari memegang tangan sang Nenek lalu mengecupnya lama. Sejak dia mengatakan apa niat serta meminta izin kepada mereka beberapa menit lalu, dia terus bersimpuh di hadapan kakek dan neneknya. Jasmine mengutarakan apa yang ia inginkan. Eshe menitihkan air mata. Pasalnya, sejak cucu mereka berusia bayi hingga sebesar ini, mereka tidak pernah berpisah dalam keadaan apapun karena hari-hari mereka hanyalah rumah dan toko. Bahkan rumah mereka saja berada di area pasar utama di Port Said. “Jasmine minta maaf sama Kakek dan Nenek kalau … sebenarnya tadi malam Jasmine sudah menyiapkan beberapa pakaian untuk dibawa pergi,” ujarnya lagi. Abbu memperhatikan cucu mereka sejak tadi. Entah kenapa, dia merasa tidak perlu menghalangi cucu mereka dengan niat yang benar. “Nak, kamu yakin mau ke Kairo seorang diri?” tanya Abbu memastikan jika cucunya yakin dengan keputusan yang ia buat. Jasmine masih mendongakan wajahnya menatap kakek dan neneknya bergantian. “Iya, Kakek. Jasmine sudah sangat yakin bahkan sejak Jasmine mendengar … informasi itu beberapa hari lalu. Kita pernah membahasnya juga bukan?” ujarnya berusaha meyakinkan mereka. Eshe melirik sang suami yang duduk di sisi kirinya. “Bagaimana ini? Apa kau mengizinkannya pergi? Kairo itu kota besar. Kau tahu kenapa aku merasa cemas?” ujar Eshe memberi isyarat terhadap sang suami. Abbu membalas tatapan sang istri. Dia tahu, bahwa Kairo adalah kota penuh kenangan dan simbah darah sejak kejadian nahas masa itu. Masa yang tidak akan pernah terlupakan, masa yang masih terekam jelas dalam ingatan mereka. “Dengar, Eshe … cucu kita ke Kairo untuk menuntut ilmu. Mungkin, tidak ada salahnya kalau kita mengizinkan dia pergi sementara.” Abbu kembali menatap sang cucu yang masih bersimpuh di hadapan mereka. “Nak, berapa hari kau akan berada di Kairo? Setelah acara itu selesai, kau akan pulang kembali kesini?” tanya Abbu. Jasmine mengangguk cepat. Walau sebenarnya, ada niat lain di hati Jasmine. Dia memang ingin menetap di Kairo entah sampai kapan. Tapi yang jelas, dia ingin sekali menggeluti bakat tari yang menjadi cita-citanya sejak kecil. Dia juga ingin mencari penghasilan sampingan di Kairo seperti menjaga toko atau pekerjaan apapun yang penting halal. “Kakek, Nenek … Jasmine tidak tahu akan berapa hari berada disana. Tapi Jasmine ke Kairo ingin menuntut ilmu. Kalau saja ada hal baru yang Jasmine tahu, itu pasti bermanfaat untuk perkembangan toko kita. Jasmine tidak mau kehidupan kita seperti ini terus-menerus. Kakek dan Nenek jangan mengkhawatirkan Jasmine. Jasmine tidak akan melakukan hal yang dilarang. Dan … Jasmine akan tidur di area masjid untuk menghemat ongkos selama berada di Kairo,” ujar Jasmine dengan harapan penuh. Eshe menatap sang suami. “Kau akan bermalam di masjid, Nak?” tanya Abbu lagi. Jasmine mengangguk. “Kakek … tidak masalah. Lagi pula, Jasmine tidak akan selamanya berada di Kairo. Anggap saja, ini adalah pengalaman baru Jasmine. Jasmine mohon … izinkan Jasmine menuntut ilmu di Kairo sekali saja. Jasmine tidak akan berlama-lama disana dan Jasmine akan segera pulang nanti,” jelasnya. Abbu membalas tatapan sang istri. Dia tersenyum dan menarik napas panjang. “Dia akan pergi ke Kairo. Disana dia seorang diri. Kau yakin mau memberinya izin?” tanya Eshe masih dirundung perasaan khawatir. Jasmine menatap sang Nenek. Dia menggenggam erat kedua tangannya. “Nek, Jasmine hanya sebentar saja disana. Mungkin satu atau dua minggu. Nenek jangan mengkhawatirkan Jasmine. Kalau ada apa-apa, Jasmine akan segera pulang ke Port Said.” Eshe membelai wajah cucu semata wayang mereka. Tubuhnya cantik, tinggi, dan semampai. Dia hanya takut bila saja ada orang jahat yang menculiknya dan melakukan sesuatu terhadapnya. Eshe mengkhawatirkan hal itu. “Nak, Nenek hanya takut kalau kamu …” ujar Eshe menghentikan ucapan sebab dia tidak sanggup meneruskan apa yang sedang ia pikirkan sekarang ini. Jasmine menegakan kedua kakinya dan setengaj sujud. “Nek, ada Tuhan yang selalu melindungi Jasmine kapanpun dan dimanapun Jasmine berada. Bukankah itu yang selalu Nenek ucapkan pada Jasmine selama ini? Semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan??” ujar Jasmine menyeka buliran bening yang menetes di salah satu sudut mata sang Nenek. Abbu tersenyum tipis. Dia mengusap lengan kiri istrinya. “Kita harus beri dia kebebasan untuk menuntut ilmu. Pendidikannya selama ini sudah putus ditengah jalan. Apa kau tega menolak keinginannya yang satu ini??” tanya Abbu berusaha meyakinkan sang istri. Abbu berusaha meyakinkan istrinya begitu juga dengan Jasmine. Sebagai seorang Kakek, dia tidak mau bersikap keras lagi sebab cucunya sudah dewasa. Dia yakin cucu mereka pasti bisa menjaga diri dengan baik disana. Lagi pula, Jasmine tidak akan selamanya berada di Kairo. Jika hanya untuk satu atau minggu saja, itu tidak masalah, pikirnya. Sementara Eshe hanya bisa pasrah jika suaminya sudah memberi izin. Tidak ada pilihan lain selain memberi izin kepada cucu semata wayang mereka. Hanya doa yang bisa mereka panjatkan untuk keselamatan cucu mereka selama berada di Kairo nanti. Jasmine bahagia. Dia mengucapkan terima kasih sembari memeluk kakek dan neneknya bergantian. Tidak mau menunda waktu, Jasmine mengatakan kalau dia akan pergi pagi itu juga. Jam sudah menunjukan sekitar pukul 8 pagi waktu Port Said. Jasmine membawa tas berbentuk pergi panjang yang bisa ia gantung di salah satu pundaknya. Tidak banyak pakaian yang ia bawa, hanya beberapa saja termasuk pakaian yang sedang ia pakai. Sebelum Jasmine pergi ke Kairo, Abbu dan Eshe memberi uang saku yang dibutuhkan Jasmine selama berada di Kairo. Jasmine hanya meminta 500 Pound Mesir saja karena dia tidak mau mengurangi tabungan mereka hanya untuk mengejar cita-citanya. Sesampainya di Kairo nanti, Jasmine akan langsung mencari pekerjaan sembari mendatangi sekolah tari yang ia tuju. … Di depan toko mereka, Jasmine kembali memeluk kakek dan neneknya bergantian sebagai salam perpisahan sebelum dia berjalan menuju gang yang lumayan jauh dari rumahnya untuk mendapatkan bus di jalan besar utama. “Jasmine pergi ya, Nek. Nenek jangan khawatir, Jasmine akan kembali setelah semua urusan disana selesai. Dan … Jasmine akan kembali ke Port Said dengan membawa ilmu,” ujar Jasmine sambil menyeka buliran bening yang terus menetes di kedua sudut mata sang Nenek. “Nak, tetap ingat 5 waktumu ya? Doa Nenek akan selalu menyertaimu kapanpun dan dimanapun kamu berada,” ujar Eshe tersenyum dibalik air mata yang terus mengalir di wajahnya. Abbu tersenyum dan mengangguk membalas tatapan sang cucu kesayangan. “Pergilah, Nak. Kami mengizinkanmu pergi menuntut ilmu. Dan kembalilah jika urusanmu sudah selesai. Hati-hati disana dan tetap menjaga sikap,” ujar Abbu kembali memberi pesan. Jasmine mengangguk kecil. Dia berusaha memberikan senyuman terbaik untuk mereka. “Kakek dan Nenek harus sehat-sehat. Nenek jangan banyak bekerja di dapur ya? Jangan mencuci baju. Biar Jasmine yang mencuci semua baju setelah Jasmine kembali dari Kairo. Dan … kalau lelah, jangan buka toko kita.” Abbu dan Eshe mengangguk. Ini adalah kali pertama mereka akan berpisah, tapi Abbu tidak mau menunjukan air mata kepada cucunya. Takut saja jika air matanya nanti melemahkan niat sang cucu. “Iya, Nak. Jangan khawatirkan kami disini. Yang penting, kamu tetap dengan niat baikmu. Allah akan selalu melindungimu disana,” ujar Abbu lagi. Jasmine tersenyum dan kembali memeluk mereka, lalu mengecup punggung tangan kanan mereka untuk ke sekian kalinya. “Jasmine pergi. Jasmine janji akan cepat kembali. Kakek dan Nenek jaga diri baik-baik disini ya,” ujarnya. Abbu dan Eshe mengangguk paham. Mereka berpisah tepat di depan toko kecil mereka. Beberapa tetangga turut menyapa Jasmine dan bertanya mau kemana. Jasmine hanya mengatakan kalau dia hanya mau menghadiri acara sosialisasi biasa di Kairo. Mereka sudah berjarak, Jasmine melirik ke belakang dan tersenyum. Senyuman lebar untuk dua orang yang sangat ia sayangi. Dia berjanji tidak akan mengecewakan mereka. Dadanya merasa sesak. Setelah dia menjawab pertanyaan tetangga mengenai kepergiannya, Jasmine segera melangkah cepat menjauhi area perumahannya. Dia tidak mau lagi melihat ke belakang sebab air mata sudah terjatuh. Dia mengalungkan tali tas ke arah punggung. ‘Maafkan Jasmine. Maafkan Jasmine sudah membohongi kalian.’ Jasmine menatap lurus ke depan. Ini adalah kesempatan emasnya untuk meniti karir di Kairo. Dia berharap bisa menemukan pekerjaan secepatnya supaya dia bisa menabung untuk kehidupan kakek dan neneknya di Port Said. ‘Kakek dan Nenek jangan khawatir. Jasmine akan menjaga diri dengan baik disana. Jasmine akan menebus kebohongan ini. Jasmine akan selalu mengingat kalian,’ bathinnya sembari menyeka air mata yang sudah membasahi wajahnya. Dia terus berjalan menuju gang di ujung sana untuk sampai di jalan besar. Jasmine tidak mau menoleh ke belakang. Jika dia melakukannya, kemungkinan dia akan berbalik badan dan mengurungkan niatnya untuk pergi lalu meminta maaf atas kebohongan yang sudah ia lakukan terhadap kakek dan neneknya. Tidak, Jasmine sudah melangkah dengan tekad bulat. Apapun yang terjadi, dia harus mencari tahu sekolah tari itu dan menanyakan mengenai biaya yang harus ia siapkan. Siapa tahu dia bisa mendapatkan banyak diskon jika mendatangi sekolah tari tersebut secara langsung. … Dalam perjalanan., Akhirnya dia mendapatkan bus setelah menunggu hampir 20 menit lamanya. Tidak ada barang berharga yang ia miliki selain pakaian yang ia bawa dan uang 500 Pound Mesir. Jasmine duduk di kursi bus paling belakang, dimana ia duduk menyudut dan seorang diri. Buliran bening disana tidak berhenti mengalir hingga kedua matanya memerah. Dia memegang kopiah bundar berwarna putih s**u dan selendang berwarna hijau muda. Jasmine terus mencium dua barang milik kakek dan neneknya. Dua barang ini bisa menjadi pelepas rindu bila ia sudah berada di Kairo nanti. Jasmine sengaja membawa dua barang ini secara diam-diam. Sejujurnya, dia juga tidak sanggup bila meninggalkan kakek dan neneknya di Port Said tanpa ada yang menemani. Tapi dia juga tidak bisa berhenti sebab kakinya sudah melangkah. ‘Jasmine janji, kepergian Jasmine tidak akan sia-sia. Jasmine akan membuat kalian bangga. Maafkan Jasmine. Jasmine sayang kalian.” Belum sampai 1 jam dia pergi meninggalkan rumah, tapi dia sudah sangat rindu sekali. Jasmine terus meyakinkan diri dan berdoa dalam hati agar jalannya menuju Kairo dan segala niat baiknya dipermudah oleh sang Maha Kuasa. Tidak lupa ia berdoa agar Tuhan selalu menjaga kakek dan neneknya di Port Said sampai ia kembali dengan membawa kabar bahagia. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN