Dia Belum Pergi

1311 Kata
Clarissa bergegas keluar meninggalkan ibunya di kamar. Setelah melihat keadaan yang sunyi barulah gadis itu menerima panggilan dari Jack. “Halo?” “Bisa kita bertemu?” tanya Jack membuat perasaan Clarissa bercampur aduk. “Ini sudah malam bagaimana kita bisa bertemu? Aku sudah tidak tinggal di apartemen lagi,” sahutnya. Tidak ada jawaban dari seberang membuat Clarissa berpikir kalau Jack akan menutup sambungan teleponnya. “Aku … aku rindu kamu,” kata Jack membuat Clarissa terdiam. Perlahan air matanya kembali mengalir. Rasa sesak di dadanya membuat gadis itu berusaha menahan isakannya. “Aku akan menikah minggu depan,” sahut Clarissa. “Siapa pria itu?’ tanya Jack terselip nada cemburu dalam ucapannya. “Namanya Jefri, dia anak dari sahabat papa aku,” jawab Clarissa. “Apa dia pria yang baik?” tanya Jack. Sesak di d**a Clarissa membuat suara gadis itu tercekat. “Iya, dia baik. Dia juga berjanji akan jagain aku.” Clarissa menghapus air matanya. Tidak ada jawaban dari seberang sana dalam beberapa menit. “Kamu bahagia?” tanya Jack membuat air mata Clarissa membanjiri pipinya. Kenapa berat sekali melepas orang yang dicinta. Clarissa semakin menginginkan Jack-lah pria yang akan menikah dengannya. Rasa sesak di d**a Clarissa membuat gadis itu tidak bisa bicara. “Aku … aku bahagia,” jawabnya sembari meremas baju yang ia kenakan. Clarissa berusaha untuk tidak terisak. Lama mereka terdiam sampai tangis Clarissa mereda. Gadis itu mulai bisa menguasai emosinya kembali. “Selamat, ya,” kata Jack setelah lama membisu. “Jack, apa aku boleh jujur?” Clarissa menghela napas panjang mencoba meyakinkan dirinya untuk bicara pada Jack. “Kamu mau bicara apa?” tanya Jack. Clarissa mengatur napasnya sejenak sebelum berujar. “Dia masih hidup, dia belum pergi,” kata Clarissa. “Maksud kamu apa?” “Bayi yang ada di perutku … dia masih ada. Bayi itu masih hidup.” Seketika hening kembali. Clarissa menengadahkan kepalanya untuk menghalau air mata yang akan turun. Beberapa kali tarikan napas terdengar keluar dari mulutnya. Langit gelap di atas sana seakan menjadi saksi bisu kejujuran Clarissa. “Jack,” panggil Clarissa, tapi tidak ada jawaban dari seberang. Clarissa memutuskan sambungan telepon dari Jack. “Selamat tinggal, Pak Justin,” gumamnya lalu kembali ke kamar. *** Jack terduduk lemas bersandar pada pintu apartemen Clarissa. Air mata mengalir begitu saja di wajahnya tanpa ada niat sedikit pun untuk menghapusnya. “Anakku,” gumamnya lalu memukul pelan kedua pipinya berkali-kali. “Pria gak bertanggung jawab, pengecut. Pria jahat, gak punya hati,” ucapnya berulang kali sembari menampar pipinya sendiri. Jack berteriak meluapkan emosinya membuat beberapa orang yang ada di dalam apartemen keluar dan marah-marah. Jack tidak menghiraukan ucapan mereka. Ia menangis sambil memukul wajahnya tanpa henti. Beberapa orang akhirnya memegang tangan Jack hingga pria itu tenang. “Maaf,” ujarnya setelah lebih tenang. Beberapa orang ingin membantu mengantar pulang, tapi Jack menolak. Dengan langkah terseok Jack kembali ke mobilnya. Tiga puluh menit yang lalu ia tiba di apartemen Clarissa untuk bertemu gadis itu. Namun, pintu itu terkunci sehingga Jack memutuskan untuk menunggu beberapa saat sebelum menghubungi Clarissa. Jack termenung di dalam mobil. Ucapan Clarissa masih terngiang di telinganya. Jack tersenyum, tapi air matanya kembali runtuh. “Anakku,” gumamnya lagi. “Papa janji akan jemput kalian berdua. Kita akan hidup bersama. Papa gak mau kalian menderita.” Jack menghapus air matanya. “Papa janji, Nak. Tumbuh yang sehat,ya, jangan nyusahin mama kamu.” Jack menghela napas panjang lalu menurunkan jok mobil. Malam ini ia akan menginap di parkir apartemen sembari mengingat kenangan yang Jack dan Clarissa lalui selama beberapa bulan. *** Jefri tampak serius mempersiapkan pernikahannya dengan Clarissa. Dalam waktu lima hari hampir semua persiapan telah rampung. Clarissa bahkan dibuat tercengang dengan semuanya. Cincin polos dengan berlian kecil di jari manisnya kini tersemat. “Bagus gak?” tanya Jefri. “Bagus, aku suka.” Clarissa melepas cincin itu lalu meletakkan kembali pada tempatnya. Jefri memberikan cincin itu pada pegawai toko. “Tolong bungkus yang ini,” ujarnya. Pelayan toko itu pun pergi. “Kok cuma satu? Kamu gak beli cincin couple buat pernikahan kita?” tanya Clarissa. “Mama sudah siapin cincin pernikahan, itu cincin buat pacar aku,” kata Jefri tanpa rasa bersalah. “Oh, kenapa kamu gak ngajak pacar kamu beli cincinya? Kenapa harus sama aku?” tanya Clarissa kesal. “Ini kejutan buat dia. Lagian gak mungkin juga aku ngajak dia beli cincin. Kalau ada teman aku yang lihat bisa bahaya.” Pelayan datang memberikan paper bag pada Jefri. Pria itu pun segera mengeluarkan kartu dari dompetnya. Tidak butuh waktu lama transaksi mereka pun selesai. Jefri berjalan mendahului Clarissa. Gadis itu tampak cemberut mengikuti Jefri dari belakang. Perlahan langkah Clarissa melambat saat melewati toko perlengkapan bayi. Kedua sudut bibirnya terangkat naik membayangkan suatu hari ia akan mnggendong anaknya. Jefri yang merasa kalau Clarissa tidak berada di sisinya pun menoleh ke belakang. Pria itu menggeleng melihat Clarissa senyum-senyum sambil memegangi perutnya. Bergegas ia menghampiri gadis itu lalu menarik tangannya lembut. “Belum saatnya beli baju bayi,” kata Jefri lalu menarik tangan Clarissa menjauh dari toko itu. “Jef,” panggil Clarissa saat mereka berada di mobil. Jefri hanya bergumam sembari fokus untuk mengeluarkan mobilnya dari parkiran mall. “Aku mau makan soto dan rawon,” kata Clarissa. “Ngidam?” tanya Jefri. Clarissa mengangguk. Entah ngidam atau memang dirinya yang mau makana itu, Clarissa pun bingung. “Nanti aku suruh mama masakin, ya, soalnya aku mau pergi ketemu pacar aku,” ujar Jefri tanpa menatap Clarissa. “Gak perlu takut repotin mama kamu. Lebih baik kamu antar aku ke resto nusantara aku makan sendiri saja,” kata Clarissa. “Boleh, nanti pulangnya naik taksi saja,ya, aku gak bisa jemput kamu,” kata Jefri membuat Clarissa semakin jengkel. Ternyata tidak mudah mengendalikan emosi saat bersama calon suaminya. Clarissa merogoh tasnya mengeluarkan beberapa barang untuk mencari lipstik yang tertimbun di bawah. Diletakkannya dompet di atas dasboard sebelum ia mengeluarkan lispstik dan kaca. Jefri yang melihat Clarissa berdandan hanya menggeleng pelan. “Kenapa wanita suka sekali berdandan? Ke mana-mana pasti bawa lipstik dan kaca,” ujar Jefri. Clarissa menyudahi dandannya lalu memasukkan kemali lipstik dan kaca ke dalam tas. “Kamu mau tahu alasannya?” tanya Clarissa. “Apa alasannya?” “Karena pria suka sama wanita cantik. Jadi wanita harus tetap menjaga kecantikannya,” sahut Clarissa membuat Jefri berdecih. Sepertinya pria itu tidak menerima jawaban Clarissa, tapi jawaban itu pun tidak salah. Jefri menghentikan mobilnya di depan restaurant. Perdebatan mengenai wanita dan pria pun seketika berhenti. “Sudah sampai,” kata Jefri. Clarissa bergegas keluar lalu menutup pintu mobil. Belum sempat ia berpamitan mobil Jefri sudah melesat pergi. Clarissa menghela napas dalam merasa tidak dihargai. “Apa aku bisa hidup dengan pria seperti itu?” gumam Clarissa lalu masuk ke dalam restaurant. Baru saja Clarissa menapaki kakinya di anak tangga menuju restaurant Nusantara, tiba-tiba ia berhenti lalu memeriksa tasnya. Gadis itu menepuk kepalanya karena meninggalkan dompet di mobil Jefri. Ia lupa memasukkan dompetnya setelah berdandan. “Hei, berhenti!” teriak Clarissa sembari berlari ke jalan raya. Mobil Jefri sudah menghilang dari pandangannya. Clarissa segera menghubunginya, tapi Jefri menolak panggilan gadis itu. Clarissa mulai kesal lalu mengirim pesan pada Jefri agar menjemputnya. Namun pesannya tak kunjung dibalas. “Kenapa dia nyebelin sih,” gumam Clarissa. Mobil putih tiba-tiba berhenti di samping Clarissa. Pintu belakang terbuka dan keluarlah wanita cantik yang membuat Clarissa muak. Rok di atas lutut berwarna merah muda dipadukan kaos lengan panjang ketat berwarna putih membuat Hanum tampak cantik. Kaca mata hitam yang menutupi hasil eyelash extension itu membuat penampilannya tampak mewah. “Hanum?” gumam Clarissa membuat wanita itu menoleh. Hanum berjalan pelan menemui Clarissa. Suara heels beradu dengan jalan seperti alunan musik horor bagi Clarissa. Bisa-bisanya ia memanggil gadis itu. Terlebih perhiasan yang dikenakan Hanum membuktikan seberapa kayaknya gadis itu. “Hai, gak nyangka aku ketemu orang ketiga di sini,” kata Hanum membuat Clarissa mengernyit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN